Dekat dengan Allah dan Hidup Bebrayan yang Baik
Nawaitu-nya hanya menghadiri undangan tahlilan saja, tetapi ternyata didapuk untuk memberikan ceramah. Itulah yang berlangsung tadi malam saat Cak Nun memenuhi undangan tahlilan empat puluh hari wafatnya istri Mas Kuncoro. Acara tahlilan diadakan di rumah keluarga istri Mas Kuncoro di Cupuwatu Purwomartani Kalasan Yogyakarta. Mas Kuncoro adalah satu di antara orang di Indonesia yang nyantri kepada Cak Nun.
Tampaknya hanya Cak Nun yang datang dari tempat yang jauh. Selebihnya kebanyakan tamu adalah para tetangga. Suasana laiknya acara di desa. Bapak-bapak warga dusun Cupuwatu itu mengenakan sarung, berpeci, dan berjalan kaki menuju rumah shohibul hajat. Ada pula tentunya yang mengendara motor.
Usai rangkaian tahlilan dan doa, menyadari kehadiran Cak Nun, pembawa acara memohon Cak Nun untuk berkenan menyampaikan ceramah. Semula diminta pula memimpin doa, tapi Cak Nun tak mau. “Kulo mboten wantun dungo, kalah tuwo kalih Mbah Kaum (Saya nggak berani memimpin doa, karena kalah tua dengan Mbah Kaum),” ujar Cak Nun. Alasan Cak Nun ini serangkai dengan satu penjelasan beliau di dalam ceramah itu mengenai kiai. Kiai yang ada di desa atau di dusun dan hidup bersama masyarakat sehari-hari dalam rentang wilayah yang memungkinkan mereka saling mengenal dan dekat adalah kiai yang otentik.
Cak Nun lantas mengenalkan kepada hadirin beberapa perbedaan antara pengajian, pengkajian, mauidhoh hasanah, dan tausiyah. Juga tentang beda antara kiai ceret, kiai talang, dan kiai gentong. “Saya bukan kiai gentong, wong saya tak punya apa-apa sehingga tak bisa diciduk isinya. Saya juga bukan kiai ceret. Saya suguhi Anda kopi, ternyata bisa saja yang Anda butuhkan adalah air putih. Ketika naik ke panggung, yang saya bawa hanyalah cinta saya kepada jamaah atau masyarakat, yang nanti akan memancing hidayah Allah entah berupa apa, dan itulah yang akan saya sampaikan.”
Semua yang dikemukakan Cak Nun itu bersifat membukakan saja kepada hadirin hal-hal sederhana yang mungkin tak dirumuskan atau dipelajari orang. Karena tahlilan di dusun, pemandangan yang tampak berbeda dengan Maiyahan di lapangan atau alun-alun. Ini hanya di teras dan halaman rumah, dengan jumlah orang tak lebih dari seratus lima puluh orang. Sangat kecil tapi enak dan ngempel (padat) meskipun hadirin duduk di kursi. Cak Nun pun terlihat lebih ringan beban pelayanannya.
Warga dusun Cupuwatu itu tergelak tersenyum setiap kali Cak Nun memberikan contoh yang lucu dan membuat mereka tersadar akan hal-hal yang barusan diulas dengan view yang lain. Walaupun tak lama, sebenarnya banyak poin yang dikemukakan beliau.Tentu saja ada pengaitan atau pengambilan contoh dari situasi-situasi politik nasional hari-hari ini.
Di antara muatan-muatan ini mulai dari pentingnya sikap waspada (jangan-jangan yang kita benci itu justru baik buat kita, atau sebaliknya yang kita suka malah tidak baik buat kita), empan papan, tentang keterbatasan sebagai sesuatu yang perlu disyukuri (telinga tak bisa mendengar isi hati tetangga), ketidaktahuan sebagai landasan iman, sikap ilmu modern terhadap ketidaktahuan yang menganggap tak ada apa yang tidak atau belum diketahui, tentang tak perlu tahu apa sebaiknya tak perlu tahu, tak perlu ngotot tahu detail-detail pada sejarah yang sudah sangat lampau dan tak mungkin ada cara untuk sampai ke sana, dan mengenai kenyataan Allah sendiri yang memberi tahu sedikit mengenai diri-Nya.
Dalam situasi ketidaktahuan dan pengetahuan yang menjadi batas manusia, Cak Nun berpesan kepada bapak-bapak yang hadir, “Yang penting kita cedak (dekat) dengan Allah, sayang sama anak-istri, dan hidup bebrayan dengan tetangga dengan baik.” Sempat pula Cak Nun mengurai sedikit tafsir atau tadabbur baru mengenai ayat “Ya ayyuhal muddatsir….” (Wahai orang-orang yang berselimut). Bagi beliau itu bukan orang yang tidur yang Allah seru, melainkan orang yang hidupnya seperti selimut, yaitu tidak punya anatomi dan konstruksi.
Usai menyampaikan ceramah ringkas itu, Cak Nun turut menikmati hidangan makan. Nasi opor ayam. Tak seperti acara di kota-kota, suguhan makan diantar satu per satu oleh beberapa pemuda. Baki atau nampan kayu berkapasitas empat piring, mereka bawa ke para tamu yang duduk, dan diberikan dari satu ujung dan diulurkan ke sampingnya sampai merata. “Kalau nglihat seperti ini saya optimis. Nanti pasti ada remaja-remaja yang kembali di desa, yang mau menyuguhkan makan seperti itu,” kata Cak Nun kepada satu dua orang di depannya yang asik berbincang dengan beliau sembari menikmati suasana makan bersama.
Yang paling membedakan dari apa yang selama ini beliau alami adalah tak ada yang meminta foto bersama beliau. Hanya satu orang saja sepertinya. Jadi, agak enteng. Bapak-bapak yang ikut tahlilan itu tampaknya memang tidak membawa gadget, karena niatnya tahlilan. Gadget-nya ditinggal di rumah. Mereka tahu kapan perlu bawa, dan kapan tidak. Saat pembawa acara menutup acara, bapak-bapak itu segera pulang serentak (tak ada yang pulang di tengah acara), dan di tangannya sudah tertenteng satu plastik kresek putih berisi satu kardus jajanan sebagai oleh-oleh bagi keluarga di rumah. Mereka juga membawa pulang pesan-pesan bersahaja dari Cak Nun. (hm/asm/jj)