Darurat Aurat (2)
Engkau dan aku terseret-seret penuh siksa dan derita antara kuburan ke Barzakh karena ternyata tak terkira hamparan dan tumpukan dosa-dosa kita selama hidup di dunia. Masih pula ditambah penderitaan tanpa penyelesaian menyaksikan keluarga kita bertengkar berperang tak habis-habisnya di permukaan bumi. Dendam dan kebencian membara di dalam dada semua golongan anak turun kita.
Anak-anak cucu kita saling lempar melempar caci maki, fitnah, dhonn, klaim dan segala macam jenis api kebodohan. Mereka bermusuhan dengan merasa saling mempertahankan kebenaran. Padahal kebenaran yang mereka maksud adalah kebenaran jadi-jadian yang direkayasa dan dicuciotakkan ke pikiran mereka. Kita merasa sangat sengsara rohani, melebihi nenek moyang anjing-anjing yang meratapi anak cucunya berebut tulang.
Anak cucumu yang inti justru tidak menjadi pengikutmu, karena mereka yakin bahwa sangat banyak pengikutmu yang sebenarnya mengibarkan bendera, ajaran dan nilai yang dulu bukan itu yang engkau kibarkan. Demikian juga anak turun intiku menyendiri dan menjauh dari gegap gempita orang-orang yang mengenal dirinya dan dikenal umum sebagai pengikutku. Karena anak turun intiku itu mengerti dan setia kepada warisan-warisan orisinal dariku.
Namamu dan namaku disebut-sebut, dikibar-kibarkan, dijadikan pangkal segala gerakan, program, penghimpunan dana dan apa saja yang mungkin mereka lakukan. Padahal gerakan yang mereka kerjakan bukanlah kontinuasi bukan resonansi bukan alur lanjutan dari nilai-nilai yang dulu kita tuturkan dan sebarkan.
Engkau yang melakukan perjalanan pendamaian di pelosok-pelosok, kini malah dikibarkan di altar sejarah sebagai tokoh eksklusivisme dan radikalisme, bahkan rasisme. Sementara aku yang tak pernah mendamaikan siapa-siapa, bahkan seringkali lingkungan yang kudatangi justru kemudian menjadi pecah dan bertengkar, kini diumumkan sebagai figur utama perdamaian antar ummat manusia.
Itu baru engkau dan aku. Sekali lagi, baru engkau dan aku. Engkau dan aku yang bukan siapa-siapa. Yang dunia tidak merasa kehilangan ketika kita mati, dan tidak merasa kita ada tatkala kita hidup. Baru engkau dan aku. Belum ribuan silang sengkarut lainnya yang skalanya besar, yang nasional dan global.
Siapkah keluarga kita yang hidup di dunia apabila disebutkan siapa namaku dan siapa namamu sebenarnya? Jelaskah di pandanganmu apa yang mungkin akan terjadi jika lembaran sejarah menyebut nama kita dengan fakta-fakta riil yang menyertainya?
Sekedar auratmu dan auratku, sudah menyimpan bara darurat yang kita ngeri membayangkannya. Belum lagi Indonesia dan NKRI, belum lagi Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur dan Megawati. Bahkan apa yang ada dan sedang bergulir di lingkup kecil Istana hari ini saja pun engkau harus mengauratinya. Sebab kebanyakan rakyat Indonesia lebih siap menyangga ketidaktahuan daripada pengetahuan.
Yang darurat aurat bukan hanya orang, tokoh atau figur. Juga fakta peristiwanya, substansi kejadiannya, hakekat peta masalahnya, lapisan-lapisan fakta samar di belakangnya.
Maka engkau kukasih pelok, bukan mangga.
Sebab aku tidak sedang berbicara kepadamu tentang orang, tentang tokoh, tentang pejabat, tentang pemimpin dan apapun yang dari atas sana banyak menyebarkan kegelapan dan penggelapan ke atap-atap rumah pengetahuanmu.
Pelok yang jangan dimakan tapi harus engkau tanam adalah hakekat persoalan dalam kehidupan. Lika-liku kenyataan. Lapisan-lapisan nilai. Jarak sangat jauh antara yang engkau ketahui dengan realitas yang sebenarnya. Suatu hakiki ilmu dan pengetahuan tentang probabilitas tak terbatas dalam perikehidupan manusia, yang kreativitasnya di abad ini sedang meningkat naik ke puncak kemunafikan, hipokrisi dan pemalsuan.
Kemunafikan yang kumaksud itu bukan sekedar peristiwa di dalam psikologi individu per manusia. Kemunafikan sudah diterjemahkan ke dalam sesuatu yang disebut dan kemudian dipercaya sebagai ideologi, visi missi, landasan pemikiran, program masa depan, bahkan Undang-undang, Surat Keputusan, Peraturan, bahkanpun sudah dieksplorasi ke dalam Buku-buku Pelajaran, informasi Media, kemudian melebar hingga obrolan di warung kopi, bengkel-bengkel motor dan tepian perempatan jalan.
Anak cucuku dan para jm untuk sementara tambahkan kata “pseudo” di depan setiap kata yang kau ingat. Pseudo-demokrasi, pseudo-Indonesia, pseudo-kepemimpinan, pseudo-halal dan banyak lagi. Bahkan ada kata, idiom dan nama-nama sosial yang engkau tandai semacam “X” dengan kata “bukan”. Misalnya bukan-negara, bukan-liberalisme, bukan-terorisme, bukan-madzhab dan lain sebagainya.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
19 Pebruari 2016