Darurat Aurat (1)
Tahukah engkau kenapa dalam tulisan-tulisan pribadiku kepada anak cucuku dan para jm tak kusebut nama, lembaga, pihak, atau identitas-identitas resmi lainnya?
Kenapa tak kujelaskan peta teknis permasalahannya, momentum, waktu dan wilayah kejadiannya? Kenapa kupakai kata atau idiom yang umum, universal, steril dan terkait seolah-olah hanya dengan sesuatu dan makhluk yang antah berantah?
Kenapa kupakai idiom si Brutal, si Pendamai, si Perusak, Saudara, serta kosakata-kosakata yang berlaku abstrak? Kenapa ketika misalnya aku tuturkan tentang ketidaklayakan atau ketidakpantasan, tidak kuproyeksikan secara kongkret ke suatu dataran realitas? Apa maksudnya itu? Ekspertasi kah? Kredibilitas pejabat kah? Keahlian dalam kepemimpinan kah?
Kenapa tidak kubeberkan fakta sebagaimana adanya? Bukankah “ungkapkan kebenaran, meskipun pahit”? Betapa gagah dan indahnya ungkapan itu. Bagaimana kalau kepahitan itu membuahkan amarah, dendam dan pertengkaran? Akibatnya kebenaran tak sampai, malah bertambah kemudlaratan? Bagaimana kalau pertengkaran itu bukan antar orang seorang, bahkan tak cukup antar kelompok, tetapi antar golongan yang besar, antar jumlah puluhan juta masyarakat?
Dari satu juta orang, berapa orangkah yang memilih pahit di antara rasa-rasa yang lain. Kalau engkau ambil keputusan minum jamu yang sangat pahit untuk dirimu sendiri, tak ada persoalan dengan siapapun saja. Tetapi kalau jamu pahit itu engkau cekokkan ke mulut orang, dan kalau jumlah orang yang dicekoki jamu itu berpuluh-puluh juta, menurutmu apa yang bisa terjadi?
Kakiku boleh pincang dan jidatmu boleh nonong, dan kita terima kepahitan itu dengan legowo dan ikhlas. Akan tetapi bolehkah orang-orang yang berpapasan dengan kita menyapa kita dengan si Pincang dan si Nonong? Bolehkah mereka menyebarkan berita bahwa kakiku pincang dan jidatmu nonong?
Suatu saat engkau dan aku mungkin terpeleset mencuri sesuatu dari tetangga. Kemudian setengah mati kita minta maaf dan mengembalikan barang yang kita curi. Pun kita rela kita dipecat dari jabatan kita karena mencuri, bahkan juga kita jalani hukuman. Lantas kita mati. Siapkah keluarga kita mendengar pergunjingan orang-orang di gardu-gardu di warung-warung bahwa almarhum itu dulu pencuri. Bahwa almarhum dulu itu melakukan sejumlah perusakan. Bahwa almarhum dulu merintis pembiasaan pada masyarakat untuk menerima ketidaklayakan dan ketidakpantasan?
Apa pula katamu jika ternyata keluarga kita dan semua pendukung kita tidak tahu bahwa kita pencuri. Atau hanya tahu sebagian dari kasus pencurian yang kita lakukan. Atau keluarga kita menjaga semacam pertahanan psikologis dan pagar martabat keluarga, sehingga sengaja atau tak sengaja selalu tidak mengakui bahwa kita dulu melakukan kesalahan-kesalahan.
Pertahanan psikologis dan martabat itu bahkan membuahkan inisiatif untuk membengkakkan upaya-upaya pencitraan tentang nama baik kita, namun sebagian besar bertentangan dengan fakta yang kita jalani ketika hidup dulu. Bahkan keluarga kita memonumenkan jasa-jasa kita yang sebenarnya mengandung manipulasi sejarah. Keluarga kita membangun arca wajah dan badan kita untuk mengabadikan kepahlawanan kita dalam sejarah yang sebenarnya mengandung kepalsuan dan pemalsuan.
Itu baru masalah engkau dan aku. Sekedar di antara engkau dan aku saja sudah penuh Darurat Aurat. Buah simalakama. Kalau kebenaran tidak dibuka, berdosa karena membuka aib aurat. Sementara kalau kebenaran harus diaurati, ditutupi, keluarga kita dan masyarakat akan buta selama-lamanya.
Padahal sejarah memuat ratusan bahkan ribuan kepalsuan dan pemalsuan, yang disembunyikan atau justru diresmikan secara kelembagaan. Buku Sejarah terdiri atas ribuan lembaran yang bertuliskan pembiasan fakta, pembalikan, distorsi, pengurangan dan penambahan, pengadaan yang tidak ada dan pentiadaan yang ada. Tak usah 700 atau 400 tahun yang lalu. Tak usah 100 atau 50 tahun silam. Bahkan tak usah 10 tahun kemarin: hari ini pun, dan besok pagi, berita-berita sudah diolah dan harus melewati mesin-mesin pemalsuan, pengkufuran dan kemunafikan.
Tidak usah merambah skala-skala besar rekayasa Kapitalisme, Sosialisme dan Islam musuh baru. Tak usah dakwah demokrasi penguasaan kilang-kilang minyak di negeri-negeri kelas dua dan tiga. Tidak usah sampai ke Illuminati dan Freemason. Tidak usah sampai perjudian dan perbotohan pemilihan Kepala Pemerintahan, dengan segala domino-domino rahasia di balik program-program pembangunan.
Cukup yang kecil saja, misalnya Bedug dan ziarah kubur. Engkau mempertengkariku karena tak setuju pada dua hal itu. Padahal pangkal mulanya dulu terbalik, justru Kiai panutanmu yang menganjurkannya, sementara Kiaiku tidak mencenderunginya. Dan setiap hari kita bertengkar seolah-olah kita sedang mempertahankan nyawa dari maut, seolah kita saling mempertahankan kekayaan sebuah benua.
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
18 Pebruari 2016