CakNun.com

Catatan Majelis Ilmu Padhangmbulan 24 Januari 2016

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 8 menit

Suara tadarus al-Qur’an itu khas mengalun dari bibir Bapak Abdullah Qayyim mewarnai suasana menjelang dimulainya majelis ilmu Padhangmbulan malam ini di kompleks rumah orangtua Cak Nun dan keluarga di desa Menturo Sumobito Jombang. Pak Qayyim adalah salah satu paman Cak Nun yang turut aktif bertadarus setiap kali Padhangmbulan tiba.

Malam ini Padhangmbulan cukup spesial karena dihadiri Syaikh Nursamad Kamba, Mas Sabrang MDP (Noe Letto), dan KiaiKanjeng. Selain itu, beramai-ramai pula datang teman-teman simpul Jamaah Maiyah dari berbagai wilayah di Jawa Timur, seperti Bangbang Wetan Surabaya, ReLegi Malang dan Waro’ Kaprawiran Madiun. Padhangmbulan malam ini juga khusus karena merupakan titik ketiga di mana Wirid Wabal dihaturkan dan disampaikan, setelah sebelumnya di Kenduri Cinta Jakarta dan Mocopat Syafaat Yogyakarta (lihat reportase Kenduri Cinta dan Mocopat Syafaat Januari 2016).

Tata lokasi di malam ini pun dibuat berbeda dengan Padhangmbulan sebelumnya. Panggung mengambil tempat di depan rumah, bersanding dengan pendopo Sentono Arum, dan menghadap ke selatan. Wajah-wajah salikinal Maiyah mulai berdatangan dan menempati tempat yang sudah tersedia. Suasana kekhusyukan segera memancar tatkala sudah banyak jamaah yang hadir. Mereka bersiap mengikuti muatan utama Padhangmbulan malam ini yaitu wirid, dzikir, dan doa Wabal.

Syaikh Nursamad Kamba.
Syaikh Nursamad Kamba

Tak lama berselang dari Pak Qayyim bertadarus, Mas Islamiyanto didampingi Lek Hammad dan Mas Lutfi maju ke depan dan membuka perjumpaan malam ini. Pembukaan yang bukan dengan kata-kata sapaan kepada audiens, melainkan langsung mengajak para salikinal Maiyah ini melantunkan kalimat tauhid, La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Berulang-ulang mereka mengucapkannya, sementara itu Mas Islamiyanto membaca ayat-ayat al-Quran yang ada di dalam dua Tahlukah bergantian dengan Mas Lutfi. Pun kalimat-kalimat thayyibah Subhanalli Allahu Akbar terlantun menghiasi. Seluruh jamaah khusyuk mewiridkan kalimat Tahlil hingga selesai Mas Islam membacakan rangkaian ayat-ayat Al-Quran.

Cak Nun dan Syaikh Kamba telah berada di tengah-tengah jamaah. KiaiKanjeng pun sedari awal telah berada di posisi masing-masing. Cak Nun meneruskan situasi kekhusyukan dengan menyampaikan pernyataan khususnya kepada diri Maiyah, pernyataan yang hendaknya menjadi dasar, kesadaran, dan pemahaman mengenai do’a Wabal ini.

“Allah yang Maha Besar yang mengetahui isi hati manusia, Allah yang Maha Besar yang mengetahui apakah perjuangan yang telah dirintis keluarga Pak Muhammad dan Ibunda Halimah dan perjuangan Maiyah perlu diketahui dan dicatat ataukah tidak, kita hanya bisa mengeluh kepada Allah…. Malam ini kita memasrahkan kepada Allah hal-hal yang apabila kita melakukannya malah menjadi madhorot. Kita telah sampai pada zaman di mana arah angin tidak menentu, gelombang silang sengkarut. Kita sampai pada zaman di mana orang yang punya niat suci malah terjengkang. Zaman di mana pokok-pokok problemanya hanya bisa diatasi oleh keadilan dan ridho Allah. Kita tak punya pamrih perjuangan itu dicatat siapapun, tetapi kalau Jamaah Maiyah, keluarga anda, dan saya disakiti, waw-llahi itu tidak akan melahirkan dendam kepada yang menyakiti, tetapi Allah yang memiliki keadilan-Nya,” tegas Cak Nun.

Kemudian jamaah diajak untuk mengingat-ingat apa yang mereka lakukan, seberapa banyak itu semua mendekatkan pada atau menjauhkan dari Ridho-Nya. Mereka diajak bermuhasabah, mulai dari skala diri, keluarga, umat Islam, bangsa Indonesia, dan umat manusia. Ditegaskan kepada jamaah, bahwa Maiyah yang dititipkan oleh Allah kepada mereka itu ibarat benih-benih, yang apabila ditanam di Indonesia tak akan cukup tanah Indonesia ini. Karena Maiyah lebih besar dari negeri ini. Sebab Maiyah adalah revolusi berpikir, revolusi pemahaman, dengan dimensi-dimensinya yang seperti hujan deras. Revolusi tata nilai yang mampu memberikan cermin terhadap peradaban-peradaban yang ada. “Baik maiyah itu dalam bentuk jernih di dalam diri Anda, maupun yang dipotong-potong di media dan dimanipulasi, mulai 2016 Jamaah Maiyah jangan pernah coba-coba melakukan kejahatan,” pesan Cak Nun.

Seraya mengingatkan bahwa yang Maiyah mohonkan kepada Allah adalah keadilan-Nya, Cak mengatakan, “Kita tidak mengatakan hukuman-Nya, sebab itu hak mutlak Allah.” Lalu jamaah pun didoakan agar Allah berkenan menjadi mata yang menjadi penglihatan mereka, menjadi kesucian yang mendiami hati mereka, dan menjadi telinga yang menjadi pendengaran mereka.

Serempak semua jamaah melantunkan surat Al-Fatihah yang dituntunkan Cak Nun, dan mengawali do’a Wabal dilantunkan. Musik KiaiKanjeng pun mengiringinya dengan tekanan nada dan irama yang kuat. Jamaah perlahan-perlahan memasuki kekhusyukan yang lebih dalam lagi.

Doa wabal mengandung moralitas yang sangat serius. Walaupun berisi permohonan akan keadilan-Nya, jangan dikira keadilan itu hanya untuk penganiaya, penipu daya, dan pemanipulasi (pihak di luar yang membaca doa Wabal), melainkan juga bagi dirinya. Tidak boleh meminta keadilan yang hanya berlaku untuk orang lain. Dia pun harus siap. Itulah keadilan. Itulah sebabnya Cak Nun mengatakan siapapun saja. Modal jamaah Maiyah adalah keteraniayaan, ketertimpaan oleh tipu daya, dan keterasingan.

Selama hampir satu jam, jamaah diajak melantukan wirid Wabal. Berbagai nada dan irama, semua melantunkan Ya Dzal Wabal Ya Dzal Wabal. Banyak wajah menunduk khusyuk. Tak hanya yang berada di depan panggung, tapi juga yang berada di belakang atau di sisi timur Sentono Arum. Sebagian lain duduk di selasar pondok Padhangmbulan.

Suasana majelis ilmu Padhangmbulan.
Suasana majelis ilmu Padhangmbulan.

Syaikh Kamba diminta Cak Nun untuk menyampaikan perspektifnya atas doa Wabal dan apa-apa yang telah berlangsung di Padhangmbulan malam ini. Syaikh Kamba lalu bercerita tentang bagaimana kasih sayang Allah dicurahkan kepada kekasih-kekasih-Nya dan bagaimana kekasih-kekasih-Nya mempersembahkan doa. Syaikh universitas  al-Azhar Mesir, Syaikh Abdul Qadir Mahmud, memiliki kekayaan yang cukup banyak dan telah diwakafkan untuk perjuangan. Ketika itu Mesir kemudian dilanda kebangkrutan ekonomi. Presiden Gamal Abdun Nasser mengambil keputusan untuk menasionalisasi aset-aset yang sudah diwakafkan. Syaikh Abdul Qadir mempertahankan wakaf-wakaf itu, sehingga terjadilah perselisihan dengan Presiden, dan itu berarti ancaman demi ancaman mengintainya.

Tiba-tiba pada suatu malam dalam suasana penuh kegelapan, ia terbangun di ruangan kerja di rumahnya. Tiba-tiba masuklah sebuah cahaya berbentuk tulisan: shalawat. Shalawat ini lalu dibacanya, dan di kemudian hari juga diabadikan di dalam salah satu kitabnya. Shalawat itu adalah shalawat yang awalannya Allahumma sholli sholata jalalin….

Kalimat shalawat ini intinya adalah shalawat kepada Rasulullah dan ada satu potong ayat al-Quran di mana termuat keterangan bahwa Allah menjamin mengabulkan permintaan orang-orang yang terpaksa. Syaikh Abdul Qodir terus membaca dan memohon jalan keluar kepada Allah. Tiba-tiba Presiden Gamal Abdun Nasser yang terkenal otoriter itu membatalkan keputusannya dan tak berani menasionalisasi wakaf-wakaf di dalam masyarakat Mesir.

Syaikh Kamba lalu menuturkan, “Banyak peristiwa spiritual. Termasuk wirid Wabal ini. Saya tak pernah membayangkan wirid ini, yang ternyata kemudian muncul dari Cak Nun. Kalau diamalkan akan memberikan efek positif bagi kehidupan sebagaimana wirid, doa, atau hizib dari para syaikh-syaikh yang lain seperti Syaikh as-Sadzili atau Syaikh Al-Kurdi. Semuanya adalah wirid dengan efek positif kepada kehidupan pengamalnya. Dan dalam tradisi tasawuf ada dikenal yang namanya ijazah. Walaupun Cak Nun mengatakan Maiyah ini adalah amanat dari Allah, tapi secara etika kita harus menyadari dan memahami itu adalah ijazah juga, walaupun Cak Nun sangat berendah hati.”

Syaikh Kamba sempat memberi contoh sedikit membaca doa Wabal ini, dan sekilas terasa indah rasa yang timbul dari balik suaranya.

Syaikh Kamba lebih lanjut menyatakan bahwa wirid ini dapat dilantunkan kapan saja dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat-saat tertentu misalnya dalam kondisi terancam. Wirid ini adalah wirid Maiyah yang merupakan tanda cinta kepada umat manusia, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wirid Maiyah ini bersifat menyerap, bukan mendendam. Wirid ini merintihkan kepada Allah sehingga Allah mau mendengarkan dan memberikan petunjuk kepada orang-orang dholim. Meskipun di dalam al-Qur’an Allah juga menegaskan bahwa jangan dikira orang-orang yang dholim itu lepas dari hukuman-Nya, walaupun saat ini yang terjadi adalah masih ditundanya hukuman atau keadilan itu.

Syaikh Kamba kemudian mengajak jamaah menutup doa Wabal ini dengan doa Syaikh al-Kurdi, yaitu doa memohon kasih sayang Allah agar berkenan mempersatukan keterceraiberaian dan menyehatkan semua yang sakit-sakit.

Para salikinal Maiyah Padhangmbulan adalah orang-orang yang sangat khusyuk dengan stamina mengagumkan. Mereka penuh penyerapan mengikuti rangkaian doa wabal dan Tahlukah dan pemaparan dari Syaikh Kamba. Juga penjelasan Cak Nun untuk bagaimana jamaah membaca doa ini yang prinsipnya adalah kemudahan. Tahun 2016 ini diharapkan simpul-simpul Maiyah membaca doa ini dalam Maiyahan mereka atau pertemuan-pertemuan lainnya.

Muatan utama Padhangmbulan malam ini, wirid, dzikir, dan doa Wabal.
Muatan utama Padhangmbulan malam ini, wirid, dzikir, dan doa Wabal.

Jamaah terus bertambah. Pendopo sentono Arum pun mereka tempati. Pun teras ruang-ruang kelas di sisi timur. Mereka duduk dengan sungguh-sungguh untuk menimba ilmu kehidupan. Selepas sublim dengan muatan-muatan “langit”, Cak Nun lalu menggeser suasana ke “bumi”, lebih rileks, tetapi tetap terkait ke “langit”. KiaiKanjeng diminta membawakan tiga buah nomor persembahan. Hasbunallah, Lir-Ilir dan Padhangmbulan meneruskan pergerakan nuansa di malam ini.

Matematika al-Ahad

Waktu terus beranjak. Setelah beberapa nomor KiaiKanjeng, Sabrang mendapatkan giliran untuk berbagi. Ia berbicara mengenai matematika dan kebenaran. “Manusia tak bisa memanipulasi murninya matematika. Kebenarannya terjaga, dan matematika juga satu-satunya disiplin ilmu yang bisa menembus dimensi-dimensi lain. Dalam dunia matematika, ada yang namanya pola, cara berpikir, dan simbol-simbol. Intinya, melalui matematika ini bagaimana Anda melihat pola-pola di alam semesta”. Sabrang menyodorkan satu contoh mengenai perpangkatan. Berapapun angka dipangkatkan dengan nol, maka ketemunya adalah satu. Itu berarti kalau kita melangkahkan kaki dengan nol atau ketiadaan (melepaskan diri dari beban pangkat-pangkat dunia), maka dia akan ketemu dengan Allah al-Ahad, yang terlambangkan pada angka satu hasil perpangkatan nol tadi.

Satu lagi pelajaran dari matematika dicontohkan oleh Mas Sabrang. Prinsipnya adalah kalau kita tak berhenti berjalan, kita akan ketemu Tuhan. Operasinya, kalau ketemu genap bagilah dua. Kalau ketemu ganjil, rasakanlah dan tingkatlah paling tidak kali lipat (kali tiga) dan tak cukup itu, tapi tambahlah satu. Dan kalau ketemu genap bagilah dua, dan ketemu ganjil operasikan lagi rumus tadi. Contoh angka ganjil tujuh. (7 x 3) + 1 = 22. Lalu 22 / 2 = 11. Kemudian (11 x 3) + 1 = 34 dan seterusnya.

Selanjutnya Mas Sabrang memperkenalkan satu indikator peningkatan. Kita disebut meningkat manakala sudah mampu memiliki konsep yang mempertemukan dua paradoks. Sebagai contoh seorang anak yang bingung memilih antara ayah atau ibu. Kebingungannya teratasi ketika dia punya konsep tentang orangtua. Plus minus pada baterai bertemu oleh konsep bahwa semua dibutuhkan baik yang plus maupun yang minus. Atau paradoks iblis dan malaikat, yang bertemu pada konsep pengabdian.

Mas Sabrang yang sangat mendalam memaparkan matematika dan filsafat melanjutkan paparan dengan tembang Sebelum Cahaya yang tak lain adalah lirik dan lagu yang diciptakannya sendiri. Salah satu lagu Letto yang mendapat tempat tersendiri di hati penikmatnya dikarenakan keindahan liriknya.

Terus bergerak, meningkat, dan intens Padhangmbulan malam ini. Bergiliran ilmu, musik, keindahan dan kedinamisan. Syaikh Kamba merespons paparan Mas Sabrang, juga ustadz Muzammil telah menyumbangkan analisis-analisis fiqhiyahnya atau berbagai perkembangan di masyarakat. Mbak Nia mempersembahkan qashidah In Jabartum Kasro Qolbi, Mbak Yuli bawakan pepujian Allah Wujud Qidam Baqa dan bergeser lagi ke One More Night Maroon 5 oleh Mas Doni. Dan KiaiKanjeng sangat setia mengawal hadirnya lagu-lagu yang membikin hati jamaah tak kaku. Rombongan KiaiKanjeng yang berangkat dari Yogyakarta ini baru tiba di Menturo pukul 20.00 WIB tadi dan istirahat sejenak, lalu sudah harus bersiap di panggung.

Waktu sudah melewati pukul 01.00 dinihari, dan Padhangmbulan semakin mendalam. Meminjam logika matematika yang dipaparkan Mas Sabrang, Cak Nun menggambarkan bahwa hidup itu meluas-menyempit, memanjang-memendek, dan tetap kembali ke 1, ke Allah, tak bisa mengelak. “Tak ada yang bisa mengalahkan Allah. Maka sesungguhnya apapun yang terjadi di dunia ini tak ada yang mencemaskan. Tetapi masalahnya tidak di situ, melainkan seberapa manfaat saya. Maka saya memikirkan Anda dengan berbagai konteksnya. Maka saya selalu random memikirkan, dan oleh Allah diberi do’a Wabal ini, supaya Anda punya pegangan.”

Suasana di berbagai sudut sekitar Sentono Arum.
Suasana di berbagai sudut sekitar Sentono Arum.

Pendalaman dilanjutkan dengan simulasi. Dengan dibantu Mas Sabrang, Cak Nun mengajak para salikinal Maiyah menganalisis kondisi bangsa kita saat ini. Ibarat rumah yang sudah rusak berat ini, manakah unsur atau bagian dari rumah itu yang paling berat rusaknya, manakah yang paling mendasar harus diganti. Jamaah diajak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu supaya mereka tidak kehilangan kekonstanan atas ketepatan dan akurasi dalam melihat persoalan.

Dalam tanya-jawab yang kemudian dibuka, Cak Nun mengingatkan, atas semua beban dan kompleksitas persoalan yang kita hadapi, kita jangan mengatur-ngatur Allah harus menjawab begini atau begitu. “Apakah melalui jalan yang berliku, ataukah dalam sekejapan mata (kalamhin bil bashar), itu sepenuhnya Allah punya hak. Yang bisa dilakukan ya sebisa-bisanya, sama seperti dalam membaca Tahlukah dan doa Wabal ini. Bisa seleuruhnya, atau setahap-tahap, atau diambil sebagian saja, karena semua sudah merupakan resonansi dari yang sudah kita lakukan/baca sebelumnya yakni di Kenduri Cinta dan Mocopat Syafaat. Kalau tak tercapai, sudah langsung terpantul kepada keluarga dan anak-anak Anda”, papar Cak Nun.

Dialog terus berlanjut. Beberapa jamaah dengan semangat mengedepankan pertanyaan. Syaikh Kamba, Mas Sabrang, dan Kiai Muzammil diminta merespons. Sementara itu, Cak Fuad, marja Maiyah dan pengampu Padhangmbulan, malam ini tak bisa hadir dikarenakan sedang berada dalam perjalanan menuju Jeddah/Riyadh dan akan kembali ke tanah air pada 28 Januari. “Doakan sehat, selamat dan manfaat”, pesan Cak Fuad menjelang berangkat.

Tepat pukul tiga dinihari, majelis ilmu Padhangmbulan segera sampai di puncaknya. Cak Nun melantunkan Hubbu Ahmadin dengan suara tingginya, dan kemudian bergantian dengan vokalis KiaiKanjeng. Sebuah nomor yang mengungkapkan cinta kepada Kanjeng Nabi dan dengan cinta itu hati menjadi mapan, semeleh, dan tenteram. Syaikh Nursamad Kamba lalu memimpin do’a penutup, dan para jamaah yang semua berdiri mengamini, memohon keterkabulan atas doa-doa yang terlantun sejak awal hingga akhir acara.

Foto: Adin

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta