Cara yang Lain dalam Shalawatan
Sama seperti saat mencari dan menemukan wirid yang cocok dengan kebutuhan masyarakat atau jamaah tadi, untuk shalawatan pun demikian. Cak Nun menanyakan kepada mereka mau shalawatan apa. Shalawat Badar, jawab mereka. Cara seperti ini tak lazim bagi kebanyakan orang-orang yang memimpin shalawatan di mana biasanya sudah punya paket shalawatan. Tidak masalah tentunya, tetapi apa yang dilakukan Cak Nun adalah ikhtiar dan pesan agar apa yang kita lakukan benar-benar otentik dan lahir dari kenyataan hidup yang nyata.
Dan rupanya cara seperti itu sangat cocok dengan masyarakat yang hadir. Dengan shalawatan yang mereka pilih, tersentuh pula segenap hajat, harapan, dan pengangen-angen mereka dalam hidup ini. Masyarakat yang hadir ini sebagian besar adalah warga Nahdhiyyin, masyarakat desa Trangsan dan sekitarnya. Bahkan pendukung utama acara ini adalah Anshor dan Banser. Cara yang dilakukan Cak Nun berbeda dengan kebanyakan cara pada majelis shalawatan pada umumnya, dan ini sekaligus suatu contoh baru dari Beliau dalam hal bershalawatan.
KiaiKanjeng pun kemudian mengiringi lantunan shalawat Badar yang dilanjut dengan shalawat Nariyah berbarengan dengan hujan lembut yang turun beberapa saat. Cak Nun mengantarkan jamaah untuk luas hati menerima hujan yang turun sebagai amtsal dari Allah. Hujan tak sekadar rahmat Allah, melainkan kedatangannya malam ini membawa rahasia yang ada hubungannya dengan masa depan masyarakat dan bangsa. Juga seperti bahasan dari kehadiran makhluk-makhluk di langit. Para jamaah tetap setia berada di tempat, kecuali sebagian kecil yang mampu menjangkau panggung, utamanya untuk memprioritaskan anak-anak.
Saat hujan turun dan masih dalam rangkaian shalawat Nariyah tadi, jamaah diajak melantunkan Robbi Anzilni Munzalan Mubarokan wa Anta Khoirul Munzilin dan Robbi La tadzarni fardan wa Anta Khoirul Waritsin. Shalawatan dan doa bersatu dengan keterbukaan kepekaan jamaah kepada alam dan apa-apa yang berlangsung dan terjadi padanya. Semua diterima dengan jiwa yang luas. Jamaah khusyuk melantunkan shalawat, mengamini doa Cak Nun saat shalawat Badar dipadu dengan Ilir-ilir, dan yang tak kalah pentingnya mereka menyerap ilmu (dan pengalaman) yang disampaikan Cak Nun tentang detail berbagai hal menyangkut sikap batin dan tujuan dalam bershalawat. Cak Nun sendiri selalu mengingat siapa-siapa sesepuh masyarakat yang ahli shalawat dan mencintai Rasulullah di manapun beliau berada. Di Banjarmasin beliau tak lupa Tuan Guru Zaini. Di Sukoharjo Surakarta ini, Cak Nun tak lupa menyebut nama Almaghfurllah Habib Anis Pasar Kliwon Solo. (hm/adn)