CakNun.com

Cammanallah, Cammanarrasul

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit
201605-cammmana-01

Maha suci Allah yang telah menancapkan cinta di hati para kekasihnya. Dan betapa maha menggoda Allah yang selalu memanasi hati orang-orang di sekitar kekasih-Nya itu dengan sesekali diizinkan mengintip agung dan mulianya singgasana Rasulullah karena melihat bagaimana singgasana itu tak henti-hentinya bertabur ungkapan-ungkapan cinta dari para kekasihnya manakala para kekasih itu bertemu.

Betapa bahagia dan tersenyum hati Rasulullah tatkala menyaksikan dua orang yang hati mereka telah terikat oleh cinta kepadanya bertemu di suatu titik di mana titik itu tiba-tiba menjelma berlaksa terang cahaya. Satuan -satuan detik pun terasa adanya ketika digunakan untuk memandang keduanya  bertemu setelah lama berpisah raganya, memandang keduanya saling memandang, memandang keduanya berangkulan, memandang kedua busananya yang sederhana tetapi memancarkan kerbersahajaan. Waktu berhenti karena diizinkan orang-orang itu untuk menggenggam butir-butir satuannya dan menggunakanya untuk turut merasakan keagungan cinta.

Anak-anak kecil berhias, memainkan alat bebunyian, menari dan berjalan mengiringi kedua kekasih itu melangkahkan kaki menuju rumah salah satunya. Di depan tangga menuju lantai dua rumah mahabbah itu, seorang bocah lelaki dari rombongan anak-anak itu melayangkan kata-kata dalam bahasa daerahnya sebagai kalimat sambutan, sanjungan, dan rasa gembira atas kedatangan tamu agung. Keduanya tersenyum mendengarkannya.

Di dalam rumah, sanak-familinya telah menanti. Pun ibu-ibu yang berseragam sudah siap dengan segala sesuatunya. Mereka siap membantu kekasih-tuan-rumah untuk mekakukan apa-apa yang dimintanya demi menjamu kekasih-yang-mendatangi itu. Mereka, para anggota keluarga, anak-cucu, semua menyalaminya, mencium tangan kekasih yang datang nun jauh dari pulau seberang. Tak ada awalan yang indah dan patut dilakukan selain memanjatkan doa kepada Allah. Tetapi kekasih itu tak sanggup berkata-kata dengan jelas saat hendak memulai mengantarkan doa, karena dari dalam tenggorokannya mengalir arus air mata yang ditahannya. Sejenak suaranya tersengguk. Tak mampu kata-kata seutuhnya terucap sebab kelembutan telah mengambil-alihnya.

Para kekasih senantiasa berharap Allah meridhoi, sebab mereka ini adalah orang-orang yang ridlo kepada Allah, ridlo kepada ketentuan-ketentuan-Nya, ridlo kepada perintah dan amanah-Nya. Dari mereka pula orang-orang belajar bahwa Allah sangat mudah menurunkan ridlo-Nya sebab yang terpenting adalah mereka ridlo terlebih dahulu. Rumah panggung itu pun lalu terliputi lantunan Ya Allah Ridlo, Ya Allah Ridlo. Sang pelantun bergetar suaranya, hatinya bermuatan ketidakberdayaan menyangga keagungan cinta kepada Allah sehingga tak punya pilihan lain selain justru ikut hanyut di dalamnya. Memasuki semesta ridlo-Nya.

Pun dengan orang-orang yang lain. Haru mereka memandang para kekasih itu. Haru mereka merasakan pendaran-pendaran halus yang berasal-usul dari kesucian. Hari itu, sudut-sudut kelopak mata mereka adalah tempat terhormat karena dilewati oleh butir-butir airmata cinta kepada Allah dan Rasulullah yang dirangsang oleh pertemuan dua kekasih iu. Sapu tangan atau tisu yang dipakai mengusapnya juga berterima kasih karena diperkenankan bersentuhan dengan bulir-bulir ungkapan cinta.

Lalu mereka diam. Semuanya segera duduk rapi, bersila. Dimulailah ayat-ayat Allah diperdengarkan agar hati dan pikiran senantiasa ingat akan Allah yang maha mutlak dan berkuasa atas segala sesuatu, tetapi juga maha mudah menyentuh dada-dada manusia untuk lapang dan rela melapangkan sesuatu. Shalawat dan salam, shalawat dan salam, shalawat dan salam terus-menurus disampaikan kepada Baginda Rasulullah. Kedua kekasih itu mencoba mengaruskan diri pada bekerjanya cinta segitiga: Allah, Rasulullah, dan manusia. Keduanya memuji Rasulullah agar Allah berkenan menurunkan cinta-Nya juga kepada mereka, kepada sesama mereka, kepada siapa saja. Betapa luhur Rasulullah yang pujian dan cinta kepadanya bertembus pada cinta, kemurahan, dan kedermawanan Allah.

Kekasih-tuan-rumah yang tak lain seorang perempuan sepuh yang telah berusia sembilan puluh tahun lebih terus bersenandung. Ia dibantu enam orang perempuan, seluruhnya memegang rebana. Kekasih-tuan-rumah sendiri juga memegang. Tidak mudah dan tak semua orang mampu bersuara sembari memainkan alat musik. Bahkan tak hanya itu, dalam mengeluarkan suara pun tak tampak ekspresi ngotot atau susah payah mengerahkan tenaga. Padahal suaranya keras dan lantang. Walaupun, dalam lantunan pepujian cinta kepada Rasulullah vibrasi yang muncul adalah getara suara yang sublim, menep, aransemen yang damai, dan enak didengar. Pada bagian-bagian terentu akan muncul tarikan suaranya yang membuat segera diketahui bahwa jenis lekukan suara itu hanya dia yang dianugerahi untuk punya.

Enam perempuan memukul rebana, bunyinya berformasi, mengiringi kekasih-tuan-rumah menyatakan cinta dan kerinduan kepada Rasulullah. Dan ketahuilah, Lagu-lagu cinta itu sekaligus adalah jamuan utama untuk kekasih-yang-mendatangi serta untuk siapa saja yang hadir siang itu. Manakah ada jamuan yang lezat melebihi jamuan seperti itu. Walaupun dihidangakan juga oleh tuan rumah makanan-makanan terbaik yang mampu disuguhkannya. Makanan itu makin lezat terasa justru karena terkena gelombang dan cahaya cinta itu. Makanan itu menjadi rahmat dan barokah dari Allah. Dan piring-piring yang mewadahinya seakan adalah piring-piring dari Rasulullah yang dihadiahkannya untuk menyatakan kebahagiaanya menyaksikan para kekasihnya bertemu, bersaudara erat, walaupun keduanya tak ada hubungan darah. Persaudaraan yang menurutnya akan menjadikan mereka sebagai penghuni surga kelas utama.

Perempuan-perempuan pemukul rebana, dan perempuan-perempuan lain yang turut bersama menyampaikan salam serta membacakan al-Barzanji dalam bahasa lokal mereka, alangkah beruntung dan bahagia karena dipercaya oleh bunda mereka yang tak lain adalah kekasih-tuan-rumah itu untuk menyatakan cinta kepada Rasulullah, untuk menghidangkan apa saja yang terbaik bagi tamu-tamunya. Bahkan perempuan-perempuan kecil yang masih berusia sekolah dasar diajak serta. Mereka kenakan rukuh putih bersih, dan di depan dua kekasih itu mereka diminta mengaji dan belajar membaca Kitab Suci dan berdoa.

Cinta para kekasih itu begitu tulus, penuh sanjungan, dan penghormatan. Kekasih-yang-mendatangi dengan penuh rendah hati mengatakan bahwa ia bersama teman-temannya sengaja dan harus datang ke sini karena kekasih-tuan-rumah maqammnya lebih tinggi. Kekasih-tuan-rumah pun tak mau kalah. Walau mendapatkan pemuliaan yang sedemikiann itu, setiap kali kekasih-yang-mendatangi itu datang ke rumahnya, berbotol-botol air putih disediakan olehnya, oleh sanak famili, atau para tetangga, dan dimintakannya kekasih-tamu itu untuk mendoakan. Padahal sehari-hari kekasih-tuan-rumah itu salah satu ‘pekerjaan’-nya adalah dimintai doa oleh masyarakatnya.

Cinta sakral di siang hari itu sangat menenteramkam, bahkan empat burung dalam sangkar yang bertemgger di teras rumah pangung kayu itu, tak sedikit pun berisik bercuit-cuit. Sepertinya mereka damai dan menikmati tebaran cinta itu. Binatang satu dua yang lewat atau melintas pun seperti sengaja bergerak ke situ untuk mencicipi aroma pertemuan agung para kekasih. Pohon-pohon di pekarangan belakang rumah serasa turut meneduhkan alam di situ. Jalan kecil menuju rumah itu terlihat sangat bersih seperti memang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan sang kekasih. Menyambut tergelarnya orkestra cinta. Sebuah cinta suci yang merambah dan menyentuh apa saja dengan sentuhan yang menggerakkan, memanggil, mengajak serta, dan menghidupkan.

Di sela-sela kekasih-tuan-rumah melantunkan puja-puji kepada Rasulullah, tak henti-hentinya ia merangkul, memeluk, dan melingkarkan tangannya ke tubuh kekasih-yang-mendatangi itu. Seakan hendak dikatakannya betapa maha agung Allah dan betapa mulia Rasulullah sehingga para kekasih diperkenankan turut merasakan cinta yang amat agung pula. Orang-orang yang hadir di situ juga kecipratan anugerah nan indah itu. Shalawat, doa, madah, pepujian, suara murni, tiang kayu, tikar, kipas angin, atap seng, semuanya berpadu menuju cinta kepada Allah.

Kekasih-tuan-rumah itu menamai salah satu rumah pelayanannya kepada Masyarakat dengan Rumah Seni Sohibu Baity. Allah tuan rumahku, Rasulullah penjaga pintunya. Para kekasih pantul-memantulkan cinta, ke langit ke bumi, ke kanan ke kiri. Cinta yang suci kepada Allah dan Rasulullah. Para kekasih memiliki dan dimiliki. Para kekasih memiliki Allah sebagai pelindungnya, dimiliki Allah sehingga dicintai pula, memiliki Rasulullah untuk digondeli jubahnya, dimiliki Rasulullah sehingga diberi syafaatnya. Cammanallah, cammanarrasul….

Tinambung-Makassar 1-2 Mei 2016

Lainnya