Bukan Ratu Elizabeth Bukan Ratu Bilqis
Jarak antara Yogyakarta dengan Bumi Mandar kurang lebih 1300 kilometer. Naik pesawat dari Yogyakarta — Makassar memerlukan waktu kurang lebih 1 jam 45 menit. Kemudian perjalanan darat dari Makassar ke Mandar ditempuh antara 7-8 jam nonstop. Hampir sama dengan naik bus Yogyakarta — Jombang.
Antara Surabaya dan Madura saja yang hanya terpisahkan oleh Selat Madura kurang lebih 3 mil, bisa ditempuh dalam waktu 15 menit naik kapal atau perahu (sebelum ada Jembatan Suramadu), sudah melahirkan masyarakat yang benar-benar berbeda secara budaya, bahasa, dan karakter yang sering tidak bisa ditemukan titik temunya. Apalagi antara Yogyakarta — Mandar, yang seandainya ditempuh dengan perjalanan laut dari Surabaya — Makassar bisa memakan waktu kurang lebih 24 jam lamanya.
Coba Anda bayangkan, seorang Cak Nun yang lahir di Menturo Jombang kemudian hijrah dan sedang menghabiskan separuh lebih hidupnya di Kota Budaya dan Pendidikan Yogyakarta Hadiningrat yang dikenal dengan pusat budaya Jawa yang lembut, halus, dan tidak suka berterus terang, kemudian bisa bersaudara dengan masyarakat Mandar yang keras, lugas, dan suka tampil apa adanya atau berterus-terang, sehingga mereka sendiri menyebut Mandar itu sebuah akronim dari ‘mandi darah’.
Dalam perjalanan terbaru, antara 29 April-2 Mei 2016 yang lalu, saya menyaksikan langsung bagaimana hubungan persaudaraan antara Beliau dengan masyarakat Mandar, dengan petinggi-petingginya, kelas menengah (menengah ekonomi-politik dan agama) dan terutama dengan masyarakat bawah. Mereka tidak menganggap Cak Nun sebagai tamu, tapi saudara yang pergi merantau ke tanah Jawa dan juga guru dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Cak Nun juga dianggap sebagai mursyid kehidupan bahkan waliyullah yang bisa mendoakan semua kesulitan yang sedang mereka hadapi. Semuanya ingin dihampiri oleh Cak Nun dan setiap kali Cak Nun mampir, pasti sudah disiapakan aneka masakan khas Mandar dan sekaligus berbotol-botol air mineral yang telah dibuka tutupnya untuk di“sebul”in doa oleh beliau.
Dalam kehidupan sehari-hari, Cak Nun bukanlah seorang pimpinan pondok pesantren, imam masjid, pimpinan tarekat formal, atau pengurus ormas Islam. Cak Nun juga tidak berpenampilan sebagai seorang al-syaikh yang berjubah, berkalung surban hijau dan memegang tasbih panjang di tangannya. Beliau suka mengenakan celana jeans, baju lengan pendek dan kepala terbuka tanpa peci, bahkan berambut gondrong. Tapi kenapa kok orang Mandar meng-kiayi-kan bahkan menge-syaikh-kan Beliau. Laki-perempuan semua cium tangan bahkan tidak sedikit yang memeluknya.
***
Bunda Cammana. Ya, Bunda Cammana. Sebelum bertemu, saya kira Beliau ini Ratu Elizabeth-nya Mandar yang kaya raya, bermahkota emas di kepala dan tinggal di sebuah istana megah dan perkasa, karena Cak Nun beberapa kali berkata kepada saya bahwa yang paling penting dari perjalanannya kali ini ke Mandar adalah bertemu Bunda Cammana sehingga temanya juga Cammanallah. Ternyata, setelah tiba di kediaman Beliau, sungguh berbalik 360 derajat. Beliau bukan Ratu Elizabeth juga bukan Ratu Bilqis yang tinggal di istana bertahtakan emas berlian dan permata. Tapi lebih dari itu, Beliau Ratu sejati. Ratu sejati tidak membutuhkan gelar, tidak membutuhkan mahkota emas di kepala dan tidak membutuhkan bangunan istana yang megah bersulamkan emas permata. Tidak, polesan-polesan duniawi hanyalah dibutuhkan oleh mereka yang tidak sejati. Yang sejati tidak butuh dibesar-besarkan, diagung-agungkan dan diindah-indahkan karena dia sudah indah, besar dan agung.
Bunda Cammana langsung memegang tangan Cak Nun dan memeluknya erat-erat, kemudian menuntun dan bergandengan menuju istana sejati yang terbuat dari kayu-kayu sederhana sebagaimana umumnya rumah orang bawah Mandar sambil diiringi lantunan shalawat kepada kekasih bersamanya, yaitu Kanjeng Rasul Muhammad Saw. Suguhannya shalawat dan bershalawat karena mereka terikat cinta yang sama, yaitu kepada Kanjeng Rasulullah dan Allah Swt. Sambil berpegangan, shalawat terus dilantunkan bersama dan saya pun jadi teringat kepada tangisan langit yang mengadukan nasibnya kepada Gusti Allah karena merasa kalah beruntung dari bumi yang menjadi tempat tinggalnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw, sehingga akhirnya beliau dimikrajkan ke langit sebagai pelipur laranya langit.
Bunda Cammana, sudah berumur 90 tahun, tapi wajahnya cerah bercahaya, senyumnya indah merekah, jauh di atas senyumnya Ratu Elizabeth dan seluruh ratu di muka bumi. Senyum cinta kekasihnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Cahaya di atas cahaya. Rupanya itulah yang paling berarti bagi Cak Nun dan dia pun tak tahan menahan rasa gembira bershalawat dengan seorang yang tulus, ikhlas dan murni yang tinggal beberapa orang saja di muka bumi ini, salah satunya berada di pelosok bumi Mandar Mala’bi. Air matanya tak terasa bercucuran membasahi pipi dan waktu 4 jam terasa beberapa detik saja.
Satu lagi, saya tidak paham betul latar belakangnya karena baru berjumpa satu kali. Tapi kalau dilihat sepintas, mereka ini bisa dikatakan preman atau mantan premanlah kalo di Jawa. Mereka itu seperti TammaLele, Eppo dan lain-lain. Kalo Pak Amru dan Hamzah saya kira seorang kiai. Meskipun mereka ini seperti preman (entah beneran atau bukan?) tapi begitu cinta kepada Cak Nun sehingga mereka sangat patuh dan hormat. Seandainya Cak Nun menyuruh menikam orang, maka mereka pasti akan langsung menikamnya tanpa pikir panjang. Mereka ini sosok orang Mandar genuine. Polos, lugas dan pemeberani. Jangan berani macam-macam dengan TammaLele dan Eppo. Makanya ketika saya mau ziarah ke Imam Lapeo jam 03.00 dini hari, mereka berdualah yang mengawal saya.
***
Terlalu singkat waktu saya untuk mengulas semuanya. Semoga lain waktu kita bisa bercerita kembali. Yang jelas, sesampai di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, sebelum terbang kembali ke Yogyakarta, saya berbisik kepada Mas Helmi Mustofa: banyak kiai yang ingin seperti Sunan Ampel, hampir semua rebutan ingin menjadi atau seperti Sunan Ampel, hampir tidak ada yang mau menjadi Sunan Kalijogo. Dan Cak Nun-lah Sunan Kalijogo abad ke-21. Semoga Gusti Allah senantiasa menjaga Beliau dan kita semua.
PP Rohmatul Umam, Kretek Parangtritis Yogyakarta, 10 Mei 2016