“Bukan Demokrasi Benar Menusuk Kalbu”
Pengantar Redaksi Maiyah:
Seluruh isi CAKNUN.COM dan aktivitas rutin Maiyah di berbagai tempat pada prinsipnya adalah pengolahan ilmu kehidupan di dan oleh kalangan masyarakat Maiyah sendiri. Karena mungkin memang tidak diperlukan oleh kalangan yang lebih luas, apalagi bangsa dan masyarakat Indonesia, Cak Nun meniatinya “untuk anak cucu dan Jamaah Maiyah”.
Akan tetapi ada tiga hal yang akhirnya melahirkan rubrik “Wong-wongan” ini. Pertama, seluruh kegiatan Maiyah tetaplah berada di wilayah Indonesia, sehingga tidak mungkin tidak mengalami persentuhan dengan masalah-masalah Indonesia. Resikonya Jamaah Maiyah memerlukan proses pengilmuan yang setepat-tepatnya atas segala perkembangankeadaan Indonesia. Kedua, mayoritas Jamaah Maiyah adalah bangsa Indonesia, sehingga berposisi sunnah untuk berempati kepada segala sisi kebangunan Indonesia, di luar kemungkinan untuk menjadi wajib karena dimandati untuk mengurusinya. Ketiga, Cak Nun tidak pernah mau ‘usil’ untuk ikut campur atas setiap perkembangan Indonesia, sehingga Redaktur Maiyah menempatkannya sebagai pihak yang ditanyai atau diwawancarai tentang sejumlah hal aktual Indonesia, untuk pembekalan ilmu Jamaah Maiyah.
(Redaktur Maiyah).
Di tengah riuh rendah proses menuju Pemilukada DKI Jaya, apa pendapat Cak Nun tentang ucapan Nusron di forum ILC “Sesudah Ahok Minta Maaf”?
Saya yakin akurasi masalahnya tidak pada apa yang diucapkan oleh Nusron. Apapun yang dia ucapkan, itu akibat. Yang perlu kita temukan adalah sebab-nya. Nusron, juga Ahok, bahkan Presiden dan Pemerintah secara keseluruhan, tidaklah benar-benar ada dan hadir sebagai dirinya sendiri, melainkan merupakan representasi dari semacam sindikasi kekuatan dan niat kekuasaan serta modal sangat besar di belakangnya. Dengan idiom lain: Nusron hanya peluru, bukan bedilnya. Dia hanya mercon, ada tangan yang melemparkan dan membantingnya.
Kalau ada mercon yang tampak dan ada pembantingnya yang tidak tampak, apa tidak berarti bertentangan dengan azas transparansi?
Ini bagian yang tidak bisa kita tolak dari dialektika dan romantika proses berdemokrasi. Perjuangan untuk mencapai transparansi dalam berdemokrasi sangat kita puji, tetapi yang bisa dicapai hanyalah sebatas maksimalisasi transparansi. Tetapi secara alamiah kehidupan ini terdiri atas ketidak-seimbangan yang sangat timpang dan curam, di mana faktor yang tersembunyi jauh lebih banyak dibanding yang transparan. Musuh utama manusia adalah ketidaktahuan, musuh yang paling menakutkan dalam peperangan adalah pasukan siluman.
Apakah hakekat alamiah kehidupan semacam itu membolehkan Negara dikuasai dan dikelola oleh siluman-siluman?
Berdemokrasi adalah pilihan yang kita ambil untuk penyelenggaraan dunia politik. Bobot utama politik yang bisa dicapai sampai saat ini adalah kekuasaan yang dipertarungkan. Perangkat utama pertarungan itu adalah kekuatan modal, massa atau publik, dan nilai. Kemudian karena hilir persaingan politik adalah kemenangan dan kekuasaan, bukan kebenaran dan keadilan, maka banyak output sosial demokrasi yang sangat menyakitkan rakyat. Masih pada ‘semester’ itulah demokrasi kita. Ada puisi Chairil Anwar “bukan kematian benar yang menusuk kalbu, keridlaanmu menerima segala tiba“. Bukan demokrasi benar yang menusuk kalbu, sehingga susah menerima segala tiba….
Kembali ke Pemilukada DKI, apakah bunyi letusan mercon dipandu oleh pembanting mercon?
Memang si pembanting mercon tidak memberi panduan persis sampai detail ucapan-ucapan, tapi si Mercon memiliki kecerdasan yang terbatas untuk menerjemahkan peta kemauan si pembanting mercon.
Apa yang sebaiknya dilakukan oleh mereka yang gerah oleh bunyi mercon?
Kalau kamu tidak setuju pada bunyi mercon itu, mungkin tak apa lantas banting mercon ke mercon, tetapi sesungguhnya sasaran primernya adalah pembanting mercon. Bangsa Indonesia, terutama Ummat Islam perlu mulai berpikir strategis, dan jangan terjebak pada cara-cara pandang simbolis. Perlu mengenali pola-pola ekspressi yang tidak hanya linier, mempelajari yang zigzag, lipatan, siklikal, lalulintas bola bilyard dan macam-macam lagi. Istilah lain: jangan hanya berpedoman pada penampakan wajhiyah (yang tampak di permukaan) atau wujudiyah (yang tampil di panggung). Melainkan perlu meneliti secara siyasiyah (lipatan dan tikungan strategis di belakang panggung).
Atas pernyataan Nusron itu, Kaum Muslimin sebaiknya marah, bersabar, atau bersyukur Cak?
Itu hak setiap makhluk, tetapi benar tidaknya tindakan yang diambil selalu berposisi relatif. Nabi Ibrahim dibakar oleh Namrud, sejumlah Malaikat, lautan dan gunung marah dan menawarkan tindakan radikal. Tetapi Nabi Ibrahim memilih bersikap arif: “Kalau gagasan menghancurkan Istana Namrud itu perintah Allah, laksanakan. Tapi kalau itu gagasan kalian, mohon jangan lakukan”.
Orang Islam berhak menafsirkan nilai AlQur`an dan menyimpulkan bahwa atas hal itu mereka berada pada posisi wajib marah terhadap tamparan semacam itu. Yang yakin sedang dinista, berhak memanifestasikan pendapat dan sikapnya. Yang tidak merasa menista, juga berhak melaksanakan anggapannya.
Apakah itu berarti demokrasi membuka peluang demokratis untuk kemungkinan perbenturan?
Demokrasi bukan nilai tunggal kehidupan. Dalam kehidupan manusia ada dimensi nilai yang lain: moral, kasih sayang, pembelajaran terus menerus, kebutuhan terhadap keutuhan dan kesatuan. Juga ada yang bernama kearifan. Misalnya, ada kemungkinan di mana rasa marah diekspressikan dengan menahan diri dari atau terhadap amarah.
Apa pemikiran setingkat itu tidak terlalu ruwet untuk alam pikiran manusia di zaman ini?
Begini. Kalau pakai akal sehat, atas kasus peninstaan itu logisnya Allah dan Rasulullah Muhammad pun marah. Tetapi marah bisa diperlakukan misalnya sebagai metode sosial, semacam cara untuk mendidik, bukan terutama peristiwa pelampiasan mental. Rasulullah mendoakan cucu panglima pasukan yang memusuhinya agar memperoleh hidayah dari Allah. Maka kalau panglima musuh itu dibunuh, doa beliau tidak kabul, karena matinya dalam keadaan belum punya cucu. Allah juga tidak mengadzab kita semua dengan banjir besar seperti zaman Nabi Nuh, badai es seperti kepada kaum Nabi Hud atau gempa dahsyat untuk masyarakatnya Nabi Luth. Padahal tidak ada yang bisa memastikan apakah kegilaan dan kedhaliman manusia di zaman sekarang ini belum layak diadzab oleh Allah. Kita semua juga bisa belajar mengelola amarah, dengan menghitung hulu-hilirnya, ada sebab akibatnya, ada konteks dan nuansanya, ada taktik dan strategi, primer-sekundernya, kedalaman dan kedangkalannya, termasuk pengelolaan waktu: misalnya tergesa atau terukur iramanya.
Bagaimana dengan pernyataan bahwa hanya Allah yang mengerti AlQuran?
Allah bukan temannya setan. Artinya tidak mungkin melakukan sesuatu yang mubadzir. Kalau firman Allah tidak untuk dipahami oleh manusia, untuk apa Allah mewahyukannya. Allah simpan sendiri saja di Lauhil Mahfudh dan dibaca-baca sendiri. Kalau manusia yang ahsanu taqwim saja tidak mungkin mengerti Al-Quran, apalagi Malaikat atau Jin.
Jadi tegasnya, Quran diturunkan tidak untuk dimengerti oleh Allah sendiri?
Kan kata pertama: “Bacalah“. Artinya Allah sudah membekali manusia untuk punya kemampuan membaca. Bahwa ada tingkat membaca, tahu, paham, mengerti, bisa, mau, ikhlas dst — itu soal eskalasi kualitas. Dan di situ letak asyiknya kehidupan manusia.
Apakah ributnya Pilkada DKI ini termasuk disebabkan oleh tingkat-tingkat pemahaman itu?
Memang ada gradasi pemahaman dan pengertian. Al-Quran tidak sama dengan Tafsir Quran. Ayat Allah tidak sama dengan interpretasi kita atas ayat Allah. Ayat Allah itu mutlak kebenarannya, sedangkan tafsir kita relatif. Bukankah seluruh kehidupan kita ini juga relatif? Tetapi apakah karena relatif maka hidup ini kita stop saja, tidak kita pakai atau jalani? Negara, kebudayaan, nilai-nilai apapun saja yang kita bangun dan jalani ini pun relatif. Tapi harus kita jalani. Setiap tafsir punya hak hidup. Tafsir siapapun, dari sudut pandang, sisi pandang, resolusi pandang serta jarak pandang seberapapun, terus lakukan, hidupkan, laksanakan dan tegakkan.
Bagaimana kalau berbenturan Cak?
Bisa benturan, bisa berjodoh. Listrik bisa konslet, bisa menerbitkan bolam cahaya. Bergantung ilmu dan sistem pengelolaannya. Bermacam-macam tafsir dan ragam fenomena itu disebut “syu’uban wa qabail“, semua boleh dilaksanakan. Tuhan sangat membuka pintu demokrasi sejak awal: “faman sya`a falyu`min, wa man sya`a falyakfur”. Yang mau berpihak kepada-Nya, berpihaklah. Yang milih ingkar kepada-Nya, ingkarlah. Dengan sebab-akibat masing-masing.
Apakah itu berarti kita masih belum berhasil mengelola demokrasi?
Formula Allah untuk mengelola keragaman “syu’uban wa qabail” itu adalah “lita’arafu“: saling mengapresiasi, saling mengenali dan memberi empati, mencari titik kesepakatan melalui perundingan, penghormatan dan sanksi.
Memang ketentuan Allah atas kehidupan ini adalah prinsip “azwaj“, perjodohan. Positif-negatif, timur-barat, terang-gelap dst. Maka policy-nya adalah “lita’arafu” itu. Kehidupan akan menghasilkan benturan, permusuhan dan destruksi, kalau yang dilangsungkan bukan “lita’arafu” melainkan penjajahan, penguasaan, perampokan, kecurangan, tikam dari belakang, hipokrisi, kemunafikan.
Bagaimana kalau ada yang berpendapat bahwa Tuhan, Agama, Nabi dan Kitab Suci ternyata adalah sumber permusuhan?
Sebatang pisau bisa kita pakai menguliti mangga dan merajang bawang, atau untuk menikam orang yang kita benci. Jadi sumber destruksinya bukan pisau. Apapun saja bisa kita manipulasikan dan eksploitasi, kalau hilirnya adalah penguasaan atas orang lain serta perampokan atas milik orang lain itu.
Kita sedang mengalami kenyataan bahwa tafsir atas Kitab Suci menjadi pemantik pertengkaran. Apakah ada dimensi lain dari Al-Quran untuk menawar kenyataan itu Cak?
Ada. Allah merekomendasikan “tadabbur” untuk bersilaturahmi dengan Al-Quran. Banyak anjuran mentadabburi, bahkan tidak ada rekomendasi untuk menafsirkan. Tafsir diperlukan pada tahap dan konteks tertentu dalam proses tadabbur. Kalau Tafsir memerlukan persyaratan yang tidak awam, misalnya penguasaan Bahasa Arab Al-Quran, pengetahuan sejarah turunnya firman, kredibilitas ilmiah dan metodologis. Sedangkan Tadabbur bisa untuk awam: yang penting mencari dan mendapatkan kemashlahatan hidup dari persentuhannya dengan Al-Quran. Tadabbur itu sefamili kata dengan “dubur”, artinya tidak mengerti Quran tak apa, asal “keluaran” atau yang keluar dari “dubur” itu sehat bagi dirinya dan menyehatkan bagi sesamanya.
Paremeter tadabbur adalah goal kemashlahatan dan manfaat bersama. Mestinya ada disiplin semacam itu juga pada tafsir.
Bukankah tradisi tafsir yang melahirkan madzhab-madzhab, aliran-aliran paham, kemudian menjadi golongan-golongan, yang salah satu effek negatifnya dalam sejarah Islam adalah perselisihan, pertentangan, bahkan kebencian dan permusuhan?
Masalahnya kembali ke “lita’arafu” atau tidak. Sebenarnya itu problem universal yang dialami oleh semua manusia dalam sejarahnya. Makanya dulu ada “madzhab” besar Sosialisme dan Kapitalisme, Kanan dan Kiri, Barat dan Timur. Kemudian sampai ke variabel-variabel Liberalisme, Konservatisme, Radikalisme, dll, yang bahkan Ummat Islam dilabeli dan melabeli dirinya menjadi Islam Liberal, Islam Radikal dll. Bahkan ada NU Garis Lurus, NU Ahwa, NU Gusdurian dll. Semuanya kembali ke proses pencarian “lita’arafu“.
Bunyi ayam ditafsirkan sebagai “kukuruyuk” di Jawa, “kongkorongkong” di Sunda dan “kukurunuk” di Madura. Yang mutlak benar adalah kokok ayam itu sendiri. Dunia ribut atau tenang berbanding lurus dengan kadar kemampuan “lita’arafu” di antara ketiga penafsir kokok ayam. Ada sejumlah kelompok yang mungkin berpikir dia yang berkokok, kemudian semua yang mendengarkannya salah paham atau pahamnya salah terhadap suara kokoknya.
Apa pendapat Cak Nun sendiri tentang ayat 51 Surah Al-Maidah?
Pertama, tafsir dan pemahaman itu dinamis sejalan dengan proses pendewasaan dan pematangan manusinya.
Kedua, kalau Allah yang menginformasikan, saya langsung percaya dan mematuhinya tanpa menawar-nawar. Kalau ada yang belum saya pahami, yang saya salahkan adalah kebelum-matangan saya. Serta yakin ada rahasia Allah yang suatu hari kita semoga dihidayahi untuk mengetahuinya.
Ketiga, mungkin nilai keyahudian, kenasranian dan keislaman memproduksi suatu entitas atau satuan atau kekentalan nilai sedemikian rupa pada pemeluknya. Menjadi bersifat seperti kimia. Maka setiap formulasi hubungan antar manusia, termasuk dalam bernegara dan berpolitik — harus memperhatikan sifat-sifat, logika-logika atau hukum-hukum persenyawaan kimiawinya. Dan karena kasus formula persenyawaan pada komunitas manusia bisa berbeda-beda kadarnya, maka kimia DKI Jakarta bisa saja berbeda dengan kimia Papua atau Kalteng.
DKI Jakarta sedang memproses probabilitas-probabilitas kimiawinya. Perlu dipastikan bahwa hasilnya bukan racun yang merusak. Ibarat makanan, belum pernah terjadi sebanyak itu orang-orang muntah-muntah karena keracunan sebagaimana di DKI. Tentu yang kita tolong adalah orang-orang yang keracunan, bukan membela makanan beracun untuk terus disuguhkan.
Apakah Cak Nun punya pesan khusus tentang pemilukada DKI Jaya serta daerah-daerah lainnya?
Banyak sekali, tapi saya ambil satu saja. Di Al-Fatihah, Tuhan menyebut manusia dengan tiga kategori: 1- Yang diberi kenikmatan 2- Yang dimurkai 3- Yang sesat.
Mungkin kita sedang dipilah oleh proses zaman. Kata orang Jawa “gabah den interi“. Dan cara kita memahami harus dinamis. Yang diberi kenikmatan belum tentu yang sedang menguasai modal dan kekuasaan politik. Yang dimurkai belum tentu bukan saya dan kamu. Yang sesat mungkin semuanya. Sangat dinamis dan sangat lebar cakrawala kemungkinannya. Maka mental “lita’arafu” harus menjadi modal utama. Kalau ada yang curang, menikam dari belakang, memperdaya diam-diam, wajahnya bertopeng dst — mohon jangan mentang-mentang menguasai modal dan pegang lis kuda politik lantas merasa benar-benar berkuasa, sejajar dengan Tuhan.
Sampai di ranah itu, memang hanya Allah yang mengerti. Serta Ahok dan Nusron tentunya.
Kita kembali ke rumus dasar kehidupan menurut Allah: “Apa yang kau benci mungkin itu baik bagimu, dan apa yang kau cintai mungkin itu buruk bagimu“. Ayat ini “bergetar”, tidak berhenti di salah satu kutub. Sebagus apapun demokrasi sebagai nilai, tapi kalau dipakai untuk alat penguasaan dan penjajahan, batal kebaikannya. Lebih celaka dan bencana lagi ketika Demokrasi dipertentangkan atau dipolarisasikan dengan Islam secara kuantitatif, dan tidak mencari puzzling-nya, peluang harmoni dan kerjasama parsial maupun komprehensifnya dengan metoda “lita’arufu”. Orang Demokrasi secara ilmu boleh menemukan Islam sebagai bagian dari Demokrasi, sebagaimana orang Islam berhak menemukan Demokrasi sebagai bagian dari Islam pada konteks tertentu yang terukur.