Bukan Allahu Kabir
Ta’qid“Karena tradisi materialisme yang berkepanjangan seperti itu, termasuk ketika manusia sedang beribadat, mengaji, atau sedang menyelenggarakan pendidikan rohani, maka dalam memandang dan memperlakukan apapun cenderung berhenti pada materi”
Tidak bisa orang membaca Qur`an, lantas memahaminya, menghayatinya, mengimajinasikannya, mengembangkan pengertiannya, dan menuliskan hasil penghayatan dan pengembangannya itu dengan label “Oleh: Allah Swt”. Markesot sangat bodoh untuk tidak bisa menghindar dari rasa prihatin dan kesedihan yang melankolik bahwa manusia sekarang ini banyak yang tidak bisa menemukan jarak antara Qur`an dengan Tafsir Qur`an. Antara ayat dengan pemahaman atas ayat.
Orang meyakini kalimatnya “Ini Qur`an dan Hadits”. Padahal yang ia maksud adalah penafsirannya atas Qur`an dan Hadits. Ia tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan aslinya suara kokok ayam dengan hasil pendengaran telinganya atas suara kokok ayam itu. Bahwa suara kokok ayam yang dirumuskan oleh telinga dan otaknya bisa sangat berbeda dengan rumusan telinga dan otak orang lain atas sumber suara yang sama.
Markesot menemukan berbagai retak sosial semakin parah terjadi karena kasus seperti itu. Orang tidak mampu memilah antara data dengan pemahamannya atas data. Antara kata dengan interpretasinya atas kata. Orang menyangka, bahkan banyak yang meyakini, bahwa asosiasinya tentang Tuhan adalah (sama dengan) Tuhan itu sendiri. Bahwa kalau ia berpikir atau membayangkan Tuhan, maka ya itulah Tuhan, bukan yang ia pikir Tuhan atau yang ia bayangkan sebagai Tuhan.
Mungkin karena kekhilafan massal itu maka kata “Allahu Akbar” diterjemahkan menjadi “Allah Yang Maha Besar”.
Padahal sudah jelas dan sangat elementer bahwa bahasa Arabnya “besar” adalah “kabir”, dengan “bir” panjang untuk Allah dan “ka” panjang untuk selain Allah. “Akbar” adalah “lebih besar”. “Allahu Akbar” adalah “Allah Yang Maha Lebih Besar”. Allah itu selalu maha lebih besar dan terus maha lebih besar seirama dengan dinamika penghayatan manusia. Hamba Allah selalu memuai pengalaman hidupnya, sehingga ia menemukan tanpa henti bahwa Allah selalu maha lebih besar dibanding yang ia rasakan sebelumnya, dan begitu seterusnya.
Allah memang “baqa”. Immanen. Senantiasa demikian Awal hingga Akhirnya. Tidak berubah oleh apapun selain diri-Nya sendiri. Tetapi “baqa”-nya Allah hanya bisa dipahami dan dikonfirmasi oleh diri Allah sendiri. Manusia tidak punya perangkat untuk memahami dan merumuskan Allah secara statis dan ajeg. Bahkan bayangan-Nya, nama-Nya, sifat-sifat-Nya, yang sesungguhnya juga tiada batasnya, misalnya Rahman atau Rahim: pun bukan sebuah pengertian yang statis. Manusia terus mengembara, berjuang, menelusuri perjalanan kesadaran dan kewaskitaan, sedemikian rupa sehingga makna Rahman tak pernah berhenti dan arti Rahim tak pernah selesai.
Bahkan mungkin tak pernah berhenti dan selesai itu tetap akan terjadi kelak di sorga tatkala manusia mengalami dan menyadari ia sedang menjalani kehidupan yang abadi. Tetap saja berkembang, memuai, dinamis, mengalir, sebagaimana tekanan makna “di bawahnya mengalir sungai-sungai” ada pada “mengalirnya”, tidak pada tanah berlubang panjangnya atau pada airnya.
Tampaknya berabad-abad ummat manusia membiasakan diri menjalani budaya materi dan berpikir materialistik, sampai-sampai Tuhan pun dimaterikan, dipahami secara statis sebagai seakan-akan materi. Padahal yang paling rohani pun tak sanggup menjangkau hakikat dan wujud-Nya.
Karena tradisi materialisme yang berkepanjangan seperti itu, termasuk ketika manusia sedang beribadat, mengaji, atau sedang menyelenggarakan pendidikan rohani, maka dalam memandang dan memperlakukan apapun cenderung berhenti pada materi.
Bahwa kalau diperdengarkan satu kata, misalnya “langit”, maka seribu orang yang mendengarkannya memiliki seribu imaji yang berbeda-beda pula. Kebanyakan manusia diam-diam menyimpulkan bahwa langit adalah seserpih “materi” sebagaimana yang ada di benaknya.
Semakin banyak jumlah manusia yang mengira ada kebenaran objektif yang benar-benar objektif. Tidak ada ruang cadangan dalam pikiran mereka bahwa yang mereka alami dan pahami sesungguhnya adalah kebenaran subjektif mereka sendiri atas objek tertentu. Mereka memenggal jarak antara objektivitas dengan subjektivitas. Mereka tidak sanggup menemukan rentang jarak antara fakta objektif di luar diri mereka dengan fakta subjektif di dalam diri mereka.
Akhirnya mereka menjadi otoriter dan diktator keluar dirinya. Memaksakan apa yang ada di dalam dirinya harus berlaku di luar dirinya. Dan ketika kemudian otoritarianisme subjektif itu, yang semula berlangsung hanya pada individu seseorang, tapi kemudian ditransfer ke institusi, kelompok, golongan, aliran, madzhab, dan disempurnakan oleh kekuatan massa, persenjataan dan fasilitas-fasilitas lain — maka sekam-sekam permusuhan, kebencian dan peperangan bertebaran di berbagai tempat di muka bumi.