Bloko Sutho tentang Kerukunan
Acara ini dilatarbelakangi oleh harapan akan terwujud dan terpeliharanya kerukunan. Di penghujung Tadabburan, usai kalimat penutup dari Pak Lurah, Cak Nun merespons dan mengatakan dengan bloko sutho alias apa adanya. Bahwa Beliau dan KiaiKanjeng sudah sedari dulu, hingga acara di mana-mana, telah melakukan perjuangan merukunkan masyarakat yang bertikai.
Menarik ke tingkat nasional dan global, Cak Nun memohon, “Tolong apresiasi dan hormati semua itu. Janganlah idiom toleransi dan kerukunan dipakai untuk memunafiki kita. Ojo kok teruske (Jangan kalian teruskan). Jangan menikam di balik kata-kata toleransi, di mana masyarakat tulus memeganginya. Saya tidak masalah siapa pemimpinnya, tetapi jangan memperdayai cara berpikir kita. Betapa tidak. Kalau yang menjadi pemimpin adalah orang Islam yang notebene dari mayoritas lalu dikatakan kediktatoran mayoritas, dan kalau yang jadi pemimpin adalah orang di luar orang Islam dan minoritas lantas dipandang sebagai puncak dan lengkapnya demokrasi.”
Kepada warga dan anak-anak muda Pelem Dodol, Cak Nun kemudian berpesan agar dalam konteks lokal di sini kerukunan dirumuskan secara adil dan proporsional. Beliau berpesan agar cara berpikir kita hendaknya tidak terkena tipu daya. Jangan mendholimi siapa saja, tetapi juga jangan mau didhalimi.
Acara berlangsung hingga pukul 01.00 dan membuat Pak Camat tertegun serta terkesima, bahwa jika pukul 01.00 itu jamaah dan masyarakatnya masih bertahan dan setia mengikuti Ngaji atau Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Kini mereka semua diajak untuk melantunkan Lir-Ilir memuncaki pertemuan pada malam ini di pelataran Masjid Walisongo Pelem Dodol. Para muda itu sekarang berdiri rapi bersiap menengadahkan kedua telapak tangan untuk mengamini doa Cak Nun dan serempak meneriakkan Innama Amruhu Idza ArodabSyai’an an-Yaquula lahu Kun Fayakun. (hm/adn)