CakNun.com
Republika, Senin 27 November 1995

Bincang-Bincang Kenegarawanan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Photo by diana kereselidze on Unsplash

Istilah ‘bangsawaan’, dipakai untuk menyebut padanan dari pengertian priyagung atau priyayi atau aristokrat. Ini agak merepotkan. Kalau mendengar pejabat-pejabat pidato, kalau membaca berita tentang lahirnya ormas-ormas baru, atau kalau menyaksikan segala kiprah politik – ekonomi – budaya dari wilayah manapun, naluri saya ‘mengincar’.

“Coba, apakah ia seorang bangsawan. Kalu tidak, kalau yang di panggung kepemimpinan nasional selalu politisi dan ‘manusia karier’ melulu, sampai Indonesia 50 tahun merdeka sekarang ini pun sebagai rakyat kecil saya akan belajar untuk tidak usah optimistis….”

Yang saya maksud, dalam bahasa umum, bukan lah ‘seorang bangsawan’, melainkan ‘seorang negarawan’. Kata subjek ‘bangsawan’ serta kata benda abstrak ‘kebangsawanan’ hendak saya pakai untuk menjelaskan tentang orang atau kumpulan manusia yang fokus utama kegiatan berpikirnya adalah bangsa. Orang itu boleh Sukarto, tapi ia selalu berpikir bangsa Indonesia, bukan berpikir golongan atau kepentingan Jawa. Orang itu boleh Nur Muhammad atau Belo, tapi berpikirnya bukan kelompok Islam atau komunitas Katolik, melainkan perspektif kepentingan bangsa Indonesia.

Kumpulan itu boleh Golkar, tapi bukan yang habis tenaganya memikirkan bagaimana Golkar menang dan kuning merajalela, melainkan yang berpikir tentang kesejahteraan nan adil bagi seluruh rakyat negeri ini, meskipun antara lain dengan mendayagunakan warna kuning. Atau kumpulan apa saja deh: NU, Persatuan Karapan Sapi, PCPP, Koperasi Ojek, YKPK, Sindikat tukang Ngasak (pemulung), ICMI, Gramedia Fun’s Club, Konsorsium Cendekiawan Abangan, atau apa pun saja. Saya bayangkan nafas dan atmosfir pemikiran mereka bukan kekelompokan, melainkan kebangsawanan.

Nah di sini, kesulitannya. Berdasarkan khasanah Bahasa Indonesia yang baik dan benar (yang belum tentu enak dan kebanyakan tidak indah), saya harus mengganti kata kebangsawanan itu menjadi kenegarawanan. Entah bagaimana asal usul perkaranya dulu: negarawan dipakai untuk menjelaskan pengertian ‘empu’ pada konteks kehidupan bernegara. Gampangnya dibedakan dengan politisi: yang ini pekerja kepentingan kelompok atau kepentingan dirinya sendiri dalam peta pergulatan kekuasaan. Sedangkan negarawan, sebagai empu atau resi, adalah manusia pasca kepentingan pribadi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan kekuasaan dalam negara. Bahkan ‘ketiadaan pamrihnya’ lebih luas dari itu.

Negarawan itu semacam filosof keadilan rakyat, ‘orang tua’ yang kepala dan dadanya hanya terdiri atas kecerdasan dan kearifan terhadap kepentingan rakyat dalam arti menyeluruh dan mengatasi semua friksi dan perbedaan.

Maka ia lebih cocok disebut bangsawan. Sebab pengertian negarawan diganggu oleh konotasi egoisme negara dalam konteks hubungan negara-rakyat. Tapi biarlah, melalui kata apapun, yang penting bukanlah kata itu sendiri, melainkan substansi makna yang kita komunikasikan.

Negara sebagai Primordialitas

Negarawan bukanlah benih nilai yang gampang menemukan ladang dan kimia tanah di negeri ini untuk ditanam. Tidak gampang kebudayaan politik kita melahirkan negarawan, kalau tidak boleh disebut kurang cenderung mau melahirkannya.

Kalau ‘kebangsawanan’, dalam konotasi ‘mental priyayi’, malah sangat mudah untuk tumbuh, bahkan pun pada orang atau kelompok yang sebenarnya hampir sama sekali tidak memiliki peringkat budaya, politik atau ekonomi untuk itu. Cukup tamat SMA, seorang anak muda bisa mengubah gaya hidupnya menjadi ‘aristokrat’ dengan memasuki dan memakai simbol-simbol priyayi modern. Kenaikan pendapatan ekonomi akan cenderung digunakan untuk mengkonsumsi lambang-lambang kebangsawanan modern. Rakyat Jawa di kampung-kampung tidak memasang pipih wayang Bagong atau Petruk di dinding rumahnya, melainkan Yudhistira, Bima atau Kreshna – artinya, aspirasi dan mimpi mereka adalah menjadi priyayi.

Adapun negarawan dan kenegarawanan (kalau saya lebih cenderung menyebutnya kebangsawanan) tidak ada kaitannya dengan perlambang dan konsumtivisme feodal semacam itu. Persemayaman kaum negarawan adalah di atas singgasana kepemimpinan moral. Kaum negarawan adalah penyangga nilai-nilai kesantunan, kepengasuhan, kasih sayang kebangsaan atau bahkan kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Ia bagaikan mewakili Tuhan langsung yang sifat utama-Nya adalah rabb (pengasuh), ilah (eksistensi transendental dengan kecerahan spiritual), Rahman dan Rahim (kasih dan sayang), ‘Alimul Ghaib (maha pakar).

Negarawan bukan lelaki-karier atau wanita-karier, jenis manusia yang mendayagunakan apa saja di muka bumi ini untuk pencapaian sukses pribadinya. Kalau seorang negarawan diukur dengan tolok ukur pencarian eksistensi, kepentingan pribadi, perolehan dan pamrih, akan pasti meleset. Seorang negarawan tidak memiliki ‘pribadi’ karena pribadinya atau dirinya adalah seluruh bangsa ini sendiri. Arah identifikasi diri seorang negarawan adalah realitas bangsanya sebagai sebuah keseluruhan. Kalau ia menyelam di dalam air, jangan sebut ia ikan. Kalau ia melayang di udara, jangan sangka ia burung. Kalau ia melata di tanah, jangan disimpulkan ia satu spesies dengan ular piton. Ia adalah diri seluruh bangsa ini sendiri, di manapun berada.

Di negara kita belum ada tradisi pendidikan kebudayaan, pendidikan politik atau pendidikan pemikiran yang sanggup bersentuhan dengan fenomena kenegarawanan semacam itu. Pemerintah kita sendiri tidak mengembangkan kepekaan dan kecerdasan bahwa di dalam kehidupan manusia bikinan Tuhan ini ada kemungkinan seperti itu. Pemerintah kita tidak percaya bahwa ada kacamata lain selain kacamata yang tiap saat dipakainya: kacamata yang frame-nya begitu sempit serta warnanya gelap dan subyektif, di mana rakyat berjejal-jejal, berdesak-desakan, dalam posisi dan ‘pose’ yang diharuskan oleh kacamata itu.

Tiap hari pemerintah meneriakkan persatuan dan kesatuan, tapi pada saat yang sama ditolaknya fenomena-fenomena yang berbeda dengan yang mereka rancang dan bayangkan, sehingga yang terjadi bukan persatuan dan kesatuan, melainkan keterkepingan keterpecahan. Adapun persatuan dan kesatuan adalah sungguh-sungguh sebuah kearifan nasional yang memerlukan keluasan pikir, kelapangan jiwa serta kematangan dan kedewasaan untuk kaget menjumpai pernik-pernik tak terduga yang dihasilkan oleh kemerdekaan kemanusiaan seluruh bangsa Indonesia.

Persatuan dan kesatuan adalah lingkaran tali kemesraan dan beribu hal yang berbeda satu sama lain. Persatuan dan kesatuan adalah titik temu antar berbagai garis dan bidang. Sedangkan yang umumnya dipahami oleh pemerintah bukanlah keragaman, melainkan satu dan seragam. Padahal, kalau realitasnya adalah satu seragam, tidaklah diperlukan proses menuju persatuan dan kesatuan.

‘Agama‘ Negara dengan ‘Halal-Haram’nya Sendiri

Itu semua lahir dari miskinnya aspirasi dan pengertian kenegarawanan atau kebangsawanan di kalangan pemerintah sendiri. Pemerintah malah semakin berkembang menjadi ‘kelompok’, sedemikian rupa sehingga yang mereka pahami adalah juga hanya fenomena ‘kelompok lain’ yang dikasih kostum macam-macam: sempalan, OTB, GPK, dll. Negara tumbuh menajam aksentuasi kelompoknya. Negara sangat mengkhawatirkan agama dan sejumlah faktor lain menjadi primordialitas yang membahayakan persatuan, sampai-sampai negara itu sendiri akhirnya menjadi sebuah primordialitas tersendiri yang sangat menggumpal.

‘Negara Primordial’ dan ‘Pemerintah Kelompok’ semacam ini tidak bisa lebih kaya produk politik dan kebudayaannya kecuali berkutat pada bermunculannya kelompok kami terus-menerus.

Subyek negara bahkan akhirnya menjadi semacam ‘agama’ tunggal yang kreteria ‘halal-haram’nya lebih dominan dan berkuasa dibanding halal-haramnya agama. Orang Islam bingung terhadap ayat “wa la tamuutunna illa wa antum muslimun” — jangan mati kecuali dalam keadaan Islam. Bingung karena sukar memilih apakah subyek utamanya dalam kehidupan di muka bumi ini sebagai Muslim ataukah sebagai orang Indonesia, sehingga terpaksa ayatnya berbunyi “jangan mati kecuali sebagai orang Indonesia”.

Itupun Indonesianya relatif. Indonesia yang mana dan yang apa dulu? Kalau saya mengundang seorang birokrat tingkat tinggi — dari lini yang manapun — ke dusun untuk bersilaturrahmi kebangsaan dengan masyarakat di sana, jawabnya — “Ah, nanti disangka bersekongkol, membina basis politik dan merancang gerakan-gerakan tertentu.”

Atmosfir prejudis kelompok sudah sangat merambah dan hampir merupakan satu-satunya kemungkinan. Kalau anda membantu haul Bung Karno, langsung anda dianggap orang PDI. Kalau ada pegawai negeri, orang hanya punya satu kesimpulan bahwa anda pro-Golkar. Saya keluar dari ICMI dan disimpulkan sebagai anti-ICMI. Kalau anda masuk rumah PPP, tampil di acara PPP, meskipun fungsinya mengkritik PPP, anda disebut telah direkrut PPP. Kalau anda kebetulan ketemu seorang konglomerat dan ditraktir makan malam, orang curiga anda sedang mendapatkan proyek darinya. Kalau anda diboncengkan oleh Pak Lurah, para tetangga menyimpulkan anda sedang menyusun strategi kekuasaan tertentu untuk menguasai harta rakyat dan jatah bandes.

Psikologi politik masih belepotan oleh alam berpikir kekanak-kanakan. Kita hanya kenal ‘menguasai dan dikuasai’, ‘melakukan dan ditaklukan’. Kita tidak mengenal kemerdekaan manusia, independensi hubungan sosial, kekayaan dimensi hubungan kultural antar manusia. Semakin sempit ruang kemungkinan untuk melakukan pergaulan-pergaulan universal, perhubungan kemanusiaan atau persambungan kultural. Setiap kelompok ingin kita menjadi bagaian dari mereka, dan kalau tidak, kita akan menjadi ‘mereka’, dan diam-diam itu berarti musuh. Orang Golkar ingin saya memusuhi PDI dan PPP, orang PDI dan PPP ingin saya memusuhi Golkar.

Celakanya, iklim prejudis dan permusuhan antar kelompok semacam ini justru dipelopori oleh kekanak-kanakannya pemerintah sendiri. Siapa saja yang tidak omong sama, tidak sependapat dan tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah, cenderung dianggap melawan pemerintah, merongrong kekuasaan atau menghina pejabat.

Bukan Pemenang dan Penguasa, tapi Pemimpin

Atmosfir semacam inilah yang saya yakin dewasa ini merupakan tajaman gejala yang paling menggelisahkan. Apalagi karena prjudis dan iklim permusuhan antar kelompok itu berlangsung tidak hanya dalam konteks politik, tapi juga sudah melebar ke wilayah-wilayah pergaulan yang lain, misalnya kebudayaan.

Itulah paralel dengan prediksi bahwa peralihan kepemimpinan negeri ini akan tidak ke Islam (‘A’) atau ke ‘Kom’ melainkan ke ‘Nas’ — yang saya maksud bukan hanya berkaitan dengan kalangan masyarakat yang selama ini diketahui sebagai pengikut aliran (‘ideologi’) Nasional, yang secara khusus indikatif ke Sukarnois atau Marhaenis. Terbuangnya jaringan ‘Kaum Nasionalis’ itu juga berarti bertemunya orang dari berbagai kalangan dan aliran dalam kesamaan aspirasi: yakni kecemasan terhadap membengkaknya politik aliran, primordialisme, prejudis dan permusuhan antar kelompok. Bertemunya kalangan-kalangan yang cemas terhadap kuningisasi, ijo royo-royo atau sekam warna merah, serta berbagai variabel dan kepingan-kepingan lainnya yang semakin dahsyat hari-hari ini — sehingga mereka menyepakati suatu kemungkinan yang paling rasional dan damai: yakni ‘merah-putih’, renasionalisasi, lingkaran-lingkaran kebangsaan dalam komitmen yang sungguh-sungguh.

Dalam pandangan saya, jika itu murni — umpamanya kelahiran berbagai Ormas baru – kini kita mulai menyaksikan lahirnya persemaian kenegarawanan, meskipun pada gilirannya kelak ia kembali bisa diselewengkan. Ritme alam berlaku, sesudah keterkepingan, muncul proses pengutuhan kembali, sesudah keterpecahan, timbul penyatuan kembali, sesudah keterpecahan, timbul penyatuan kembali, meskipun baru pada tahap reaktif intuitif.

Dalam hal ini, Umat Islam bisa ‘mementaskan salah satu lakon’, misalnya untuk menunjukkan bahwa nasionalis bukanlah identik dengan non-Islam. Nasionalisme bukan monopoli kaum nasional. Salah satu pelopor dan perawat utama nasionalisme di negeri ini justru umat Islam, mayoritas yang akomodatif dan bahkan sering ‘mengalah’. Tetapi kalau iklim prejudis kelompok memperlakukannya hanya dengan bahasa kecurigaan kelompok, ia kan bisa akhirnya terdorong benar-benar menjadi sekedar kelompok. Yang juga amat saya khawatirkan adalah bahwa pusat dari semua yang saya uraikan itu adalah perlagaan politik, yang suku cadang utamanya adalah taktik, strategi dan kertidakpercayaan.

Lainnya

Maiyah untuk Pembebasan

Maiyah untuk Pembebasan

Perubahan sosial dan budaya menuju keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kemakmuran bangsa, bisa dimulai dari penggalangan jamaah.

Toto Rahardjo
Toto Rahardjo