Berenang-renang, Menyelam-nyelam
Tahqiq“...akhirnya menjadi karakter dasar perilaku antar manusia, yang di antara mereka ada sosialitas, pengelompokan, kelembagaan, institusionalisasi, formalisme, Negara, organisasi, dan jenis berbagai-bagai padatan yang mempertengkarkan manusia dengan manusia....”
Ke mana sebenarnya arah titik tuju informasi Mbah Sot dengan kalimat “Kita tidak berposisi gagah dan pandai untuk mempelajari kehidupan. Kita belajar kepada kehidupan, bukan mempelajarinya”. Apalagi kemudian ditelikung lagi: “Karena mungkin sesungguhnya kehidupan itu tidak ada. Yang ada hanya kita dengan kesadaran kita”. Ini pelajaran logika, senirupa, filsafat atau tasawuf?
Maka kemudian berlangsung diskusi, bahkan sedikit perdebatan antara para keponakan dengan Pakde Paklik, maupun di antara mereka yang segenerasi. Pembicaraan melebar sampai sangat luas, menukik sampai sangat mendalam, terbang muluk sampai sangat tinggi.
Sampai ke teori sangkan paran, cahaya awal penciptaan, Allah memanifestasikan getaran rindu jiwa-Nya, merenggangkan Diri menjadi atau mewujudkan sebagai bagian dari anasir-Nya sendiri menjadi jagat raya dan makhluk-makhluk. Kemudian perubahan atau pengembangan policy dan strategi, dari positivitas dan positivisme yang ternyata monoton dan kurang menggetarkan, hingga pentakdiran dialektika positivitas dan negativitas. Sehingga kemudian diniscayakan sampai hari ini prinsip “azwaj”, perjodohan, loro-loroning atunggil, Al-Ahad Al-Wahid, yang untuk itu tarikat dan syariat dasarnya adalah prinsip “nyawiji” atau tauhid.
Bahkan sampai pada denyut hakiki kehidupan yang mewujud setiap kali di-tahqiq-i. Apakah kehidupan melahirkan manusia, ataukah manusia melahirkan kehidupan? Karena kehidupan hanya dinding kegelapan sebelum manusia dibekali oleh Allah berupa penglihatan, kesadaran, akal, ruh, dan makrifat. Apakah 18 miliar tahun hanyalah sebuah orchestra instrumentalia, atau gambar animasi cinta karya Al-Mushawwir Allah Swt, kemudian baru muncul kesempurnaan musikal ‘asyiq ma’syuq-nya Allah sesudah Adam dihadirkan sebagai aktor perintis. Hibrida baru manusia Adam yang lahir sesudah keputusan tentang getaran hidup, getaran dan aliran, getaran yang mengalir, aliran yang bergetar.
Aliran cinta Allah Swt yang menggetarkan cahaya dan kegelapan. Kesetiaan dan pengkhianatan. Siang dan malam. Kebahagiaan dan derita. Pergantian musim yang peristiwa getarannya terletak pada dinamika ketidakmenentuannya sesuai dengan irama kerinduan Allah itu sendiri kepada diri-Nya yang di-tajalli-kan. Antara kebenaran dan penggelapan. Kebaikan dan kebusukan. Kemuliaan dan kehinaan.
Yang dirumuskan secara sangat awam oleh peradaban ummat manusia sebagai getaran antara Bumi dengan Langit. Antara Dunia dengan Akhirat. Sehingga pola pengkutuban-kutuban atau dikotomi produk tabir kebutaan akal manusia itu akhirnya menjadi karakter dasar perilaku antar manusia, yang di antara mereka ada sosialitas, pengelompokan, kelembagaan, institusionalisasi, formalisme, Negara, organisasi, dan jenis berbagai-bagai padatan yang mempertengkarkan manusia dengan manusia.
Apakah manusia adalah warga Negara-Negara, ataukah Negara-Negara hanyalah salah satu penduduk dari kemanusiaan? Apakah manusia terkurung di dalam ruangan yang mereka sangka Agama, ataukah Agama adalah pusat saraf dan jantung mereka sendiri yang terletak di kandungan misykah jasadnya? Manusia dengan kegiatan pendidikannya, Pesantren dan Sekolah, Padepokan dan Universitas, Rumah tangga Keluarga, kemasyarakatan dan kebangsaan — tidak mencari itu semua. Tidak mendidik diri untuk menghimpun kemampuan untuk mencarinya. Kemudian tidak tersisa ingatan atau kesadaran untuk mencarinya. Dan akhirnya tersingkir dari kebutuhan untuk menemukannya.
Ummat manusia bergerak membekukan dirinya menjadi bebatuan. Makhluk paling mulia yang sepanjang hidupnya bersambungan dengan getaran cinta Allah, dengan gelombang listrik kerinduan Allah melalui ubun-ubun di mahkota akalnya, merasa sedang menjalani kemajuan dan kecanggihan untuk menjadi makhluk terendah: materi bebatuan, kerikil, kerakal, pasir, dan debu.
Komunitas sekian generasi Patangpuluhan menyentuh dan mendalami perspektif itu karena kecemasannya sejak puluhan tahun silam terhadap pembekuan kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa. Sejak dulu mereka sudah terbiasa menyelami jagat pengetahuan semacam itu, bahkan anak-anak turun mereka memperoleh transformasi penghayatan itu.
Maka Jitul memotong diskusi mereka.
“Sepertinya saat ini Mbah Sot mengingatkan bahwa kita tidak perlu berenang-renang dan menyelam sampai sedalam dan sejauh itu lagi”, katanya, “sebab keadaan semakin darurat….”.