Beratnya Menang Lillah
Tahqiq“...Fakta berapa abad pun, peradaban bangsa manapun, prestasi sejarah sebesar apapun, tidak bisa membatalkan desain awal mula yang sudah diletakkan oleh kehendak Tuhan....”
“Yakin begitu?”, Ndusin mengulang pertanyaannya.
“Tentu, Pakde”, jawab Toling.
“Jadi ada kemungkinan Kaum Muslimin akan bisa kalah, hancur atau bahkan musnah di dunia ini?”
Toling tersenyum.
“Dengan sangat berat merasakannya di hati, tetapi memang demikian. Kan Mbah Sot pernah mengemukakan bahwa dunia bukan tempat membangun. Dunia adalah beberapa hari perjuangan menghimpun bahan-bahan untuk membangun kehidupan yang sejati dan abadi nanti di Akhirat”
“Tetapi apakah itu berarti Kaum Muslimin pasti kalah dalam pertarungan hidup di dunia?”
“Kepastian untuk menang atau kalah ada di genggaman tangan kehendak Allah. Kepastian yang berada di tangan manusia adalah bahwa ia memillih nilai Allah di segala petak ruang dan di sepanjang waktu. Dan itukah sebabnya maka ratusan ribu orang mengorbankan waktunya, harta benda dan kemungkinan hilang nyawanya, berduyun-duyun menyatakan perjuangannya?”
“Kalau pedomannya adalah al-a’malu binniyah maka semoga Allah menerima pengorbanan dan keikhlasan mereka, Pakde. Mudah-mudahan tidak masalah niat suci itu dilandasi oleh pengetahuan yang tepat atau tidak….”
“Bagaimana maksudmu? Bukankah Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengurungkan tindakannya untuk membunuh lawan duelnya, menarik kembali pedangnya, karena khawatir ia akan masuk neraka gara-gara ketika ia menusukkan pedang itu ada dorongan kebencian dari dalam hatinya, sekecil apapun. Itu artinya Baginda Ali memiliki ilmu yang penuh kewaspadaan dan kelembutan pengetahuan. Tidak hanya terhadap peta perang dan tentang musuh-musuhnya, tetapi juga ilmu atas dirinya sendiri, atas muatan kalbu dan jiwanya sendiri”
“Jadi niat yang suci tetap harus berjodoh dengan ilmu yang sejati ya Pakde”
“Terserah mau pakai istilah suci, sejati, tulus, ikhlas atau apapun. Tetapi yang harus kita waspadai adalah semua skala yang tadi kita sebut — benar salah atau menang kalah, atau baik buruk, kaya atau miskin, mulia apa hina, indah atau jorok, sorga atau neraka – tidak bisa serta merta berdiri sendiri-sendiri. Kita rajin merenung bersama ini salah satu tujuannya adalah untuk menemukan kepekaan terhadap keseimbangan antara semua polarisasi nilai-nilai itu”
Jitul tertawa.
“Kayaknya itu mustahil, Pakde”, katanya, “satu satuan saja, misalnya benar atau salah saja, ummat manusia sudah tidak pernah bisa berdiri bersama dalam kebersamaan dan keseimbangan. Perang Dunia terjadi karena ketidakseimbangan dan egosentrisme tentang mana benar mana salah. Apalagi kalau harus diukur dalam komprehensi dengan menang kalah, atau baik buruk, kaya atau miskin, mulia apa hina, indah atau jorok, sorga atau neraka. Mana kuat ummat manusia berpikir sampai selengkap itu, Pakde”
“Kuat”, jawab Sundusin tegas, “Allah sudah mempersiapkan mesin akal kita semua, dilambari tenaga hidup dan pencahayaan yang terus-menerus dari Allah sendiri kepada setiap hamba-Nya. Oleh karena itu Allah sangat menjunjung tinggi hamba-hamba yang menggunakan akalnya, selalu memperingatkan kenapa kita tidak menggunakan akal, tidak berpikir, tidak menalar….”
“Tapi faktanya sudah berabad-abad tidak demikian Pakde”, bantah Jitul.
“Fakta berapa abad pun, peradaban bangsa manapun, prestasi sejarah sebesar apapun, tidak bisa membatalkan desain awal mula yang sudah diletakkan oleh kehendak Tuhan”
“Tapi kita akan hancur kalau melangsungkan kehidupan dengan menabrak fakta-fakta historis yang sudah baku, membeku, dan kronis itu, Pakde”
“Bukan akan hancur”, jawab Ndusin, “sudah hancur. Kita berkumpul ini karena kehancuran. Kita hancur sebagai penduduk Bumi. Kita hancur sebagai Khalifah Tuhan. Kita hancur sebagai manusia. Kita hancur sebagai makhluk berakal. Kita hancur dalam ilmu dan pengetahuan tentang kenapa Tuhan menciptakan kehidupan ini. Kita bukan akan hancur, kita sudah dan sedang hancur….”
Tarmihim tertawa keras.
“Jangan tertawa dulu, Him. Saya belum selesai…”, sahut Sundusin, “kita hancur dalam ukuran-ukuran yang berlaku pada kehidupan manusia di dunia. Tapi kita tidak hancur, minimal belum tentu hancur, kalau ukurannya adalah mata pandang Tuhan. Benar salah baik buruk menang kalah dan semua itu gravitasi imanennya adalah Allah sendiri. Memang berat menang lillah itu….”.