CakNun.com

Belajar Seperti Petani

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 2 menit

Sejak tanggal 3 Februari 2016 CAKNUN.COM secara berturut-turut menghadirkan tulisan di Rubrik Daur, Asepi dan menghidupkan kembali rubrik Khasanah sebagai media “pasinaon” Jamaah Maiyah dalam bentuk tulisan untuk melengkapi pembelajaran yang telah ada berupa majelis ilmu Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan, Padhangmbulan, Kenduri Cinta, dll maupun melalui sarana semisal Youtube.

Ini merupakan ikhtiar agar para jamaah terus-menerus melatih cara berpikir dengan selalu mencermati persoalan dirinya maupun melihat realitas di sekelilingnya sehingga jamaah semakin lebih akurat mengenali dirinya dengan jalan mempelajari ke dalam dan ke belakang.

Ini merupakan upaya pembelajaran yang mengajak jamaah untuk memahami asal-usul pengetahuan yang didapatnya. Ketika jamaah membaca dan berusaha menganalisis, maka implikasinya “aksi mengagumi” akan dituntut secara mendalam terhadap “apa” yang dikagumi. Sehingga, tidak berhenti pada mengagumi, tidak berhenti pada menikmati, tidak berhenti pada mendapatkan mangga siap santap.

Artinya Jamaah Maiyah melihat ke dan dari dalam; inilah yang menjadikan jamaah akan memahami secara luas, tidak hanya sekadar menatap namun tidak melihat, karena tidak mengetahui apa yang ditatap secara dekat, hanya mengetahui sebatas permukaan belaka.

Di zaman dahulu, kaum sekolahan sinis kepada petani, bahwa pengetahuan petani hanya seluas tanah yang digarapnya. Jangan membayangkan setiap petani di Jawa memiliki lahan garapan puluhan hektar. Ambil contoh, data BPS 2004 mencatat rata-rata kepemilikan lahan petani semakin turun dari 0,58 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,47 hektar pada tahun 1993.

Mengikuti logika sinisme kaum sekolahan itu, maka itu berarti pengetahuan petani semakin sempit sepadan dengan makin sempitnya lahan yang mereka garap. Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah lalu apa salahnya petani dengan pengetahuan seluas tanah yang digarapnya?

Sudah pasti saya tidak sedang ingin mengatakan kepada Jamaah Maiyah dalam nada seperti kaum sekolahan kepada petani. Justru sebaliknya melalui CAKNUN.COM kita ingin mengajak Jamaah Maiyah agar memiliki jiwa petani yang mengenali tanahnya, mengenali benihnya serta mengolah dan mengelola serta mencintai sepenuh hati benih-benih yang telah disemai.

Tentu Jamaah Maiyah memahami apa arti (dan menjalani) keluasaan sebagaimana selama ini sudah didapatkan melalui pengembaraan dan siklikalitas pembelajaraan di dalam Maiyah. Namun, untuk lebih memperkuat lagi pembelajaraan itu diperlukan olah kedalaman, menarik garis ke belakang. Seperti petani tadi, tak soal berapa luas tanahnya, ia melakukan apa pun di seluasan tanah itu, untuk mencapai hasil tanaman atau tanduran yang baik.

Untuk memahami tulisan Daur misalnya yang memang dikhususkan untuk Jamaah Maiyah tidak cukup hanya dengan membaca kata-katanya, karena di balik kata-kata itu selalu saja ada yang tersembunyi, yakni makna terdalam yang merupakan intisari secara keseluruhan. Maka seperti petani yang mencangkul tanahnya, mengolahnya, menyiraminya, memupuknya, dengan kesetiaan yang mendalam, pada fase berikutnya setelah membaca hanya ada satu cara: meneliti secara saksama.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Mensyukuri Seratus Daur

Tidak terasa, sejak edisi pertama #Daur pada tanggal 3 Februari 2016, pendaran ilmu dari Cak Nun melalui tulisan-tulisan anyar di website ini tidak terasa sudah berlangsung tiga bulan lebih.

Redaksi
Redaksi
Exit mobile version