Belajar Otentisitas Kepada Anak-Anak
Perjalanan Cak Nun dan Gamelan KiaiKanjeng yang sudah mencapai angka lebih dari 3600 di berbagai tempat, mulai dari alun-alun di kota besar, hingga pelataran Masjid di sebuah kampung menjamah berbagai lapisan masyarakat. Maiyah merupakan sebuah laboratorium pembelajaran yang sangat cair, tidak ada sekat di Maiyah, laki-laki dan perempuan tidak merasa risih satu sama lain untuk duduk bersama, karena semua menyadari bahwa di Maiyah yang paling utama adalah semua yang hadir menyadari bahwa dirinya adalah manusia.
Cairnya Maiyah sebagai sebuah forum pembelajaran bersama ini juga terasa hangat bagi anak-anak kecil sekalipun, tidak jarang Cak Nun mengajak anak-anak kecil yang hadir untuk naik keatas panggung. Di Maiyah, kita belajar kepada siapa saja, tanpa harus memandang bahwa dia adalah seorang Ulama, Profesor, Pejabat Pemerintahan atau orang yang merasa terpandang tinggi oleh masyarakat mainstream saat ini. Di Maiyah, bahkan dari anak-anak kecil pun kita bisa belajar.
Dalam sebuah Maiyahan di Salaman, Magelang misalnya. Cak Nun saat itu mengajak beberapa anak-anak kecil untuk naik keatas panggung, dan seperti biasa, Cak Nun mengeksplorasi hal-hal yang mungkin bagi kebanyakan orang sangat sederhana, mulai dari bertanya siapa namanya, siapa nama bapak dan ibunya, kelas berapa. Pada tahap berikutnya, Cak Nun mulai mengekplorasi hal-hal yang lebih detail. Di Salaman, Cak Nun mengajak anak-anak bermain dengan pertanyaan sederhana, anak-anak diminta untuk melengkapi sebuah kalimat seperti; Orang baik adalah…., Yang tidak boleh dilakukan adalah…, dll. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat wajar dan mungkin biasa ditanyakan kepada anak-anak kecil. Tetapi yang kita pelajari di Maiyah adalah bahwa anak-anak tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban yang sangat otentik, polos, jujur.
Kita melihat bahwa ditengah pesatnya kemajuan zaman saat ini, ditengah bobroknya kondisi bangsa Indonesia saat ini sebenarnya masih tersimpan generasi-generasi penerus yang akan membawa masa depan yang cerah bagi Indonesia. Apa yang terlihat di Maiyahan di Salaman itu hanyalah satu contoh dan masih banyak lagi anak-anak kecil yang sangat otentik, yang belum terkontaminasi virus-virus modern. Jika kita melihat dunia modern saat ini, banyak anak-anak kecil yang sudah meninggalkan permainan tradisional, lagu-lagu anak-anak sudah tidak familiar bagi mereka, sudah semakin jarang anak-anak kecil yang bermain sepakbola di lapangan setelah pulang sekolah. Mereka lebih menyukai bermain sepakbola di rental-rental console game Play Station, bermain adu strategi perang di gadget yang dibelikan oleh orang tua mereka. Bukan berarti hal tersebut merupakan hal yang harus dihindari, bahwa kemajuan teknologi memang tidak bisa kita bendung, yang bisa kita lakukan adalah bagaimana mengatur porsi yang tepat bagi mereka.
Ketika peran pendampingan yang seharusnya dilakukan oleh Ayah dan Ibu mereka tergantikan oleh teknologi, maka jangan kaget jika yang terjadi adalah justru kita melihat anak-anak yang membangkang kepada orang tua mereka, anak-anak yang tidak mendengar nasihat orang tua, anak-anak yang pada akhirnya tidak bisa diharapkan untuk masa depan Indonesia. Sehingga yang seharusnya dilakukan oleh para orang tua adalah untuk tetap mendampingi anak-anak mereka ditengah kemajuan teknologi dan informasi saat ini. Para orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan kepengasuhan anak-anak mereka kepada sekolah, peran orang tua tetap merupakan peran yang utama dalam pendidikan anak-anak.
Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi saat ini, ketika kita mendapati anak-anak yang nakal di sekolah, orang tua kemudian sepenuhnya menyalahkan fihak guru dan sekolah, karena orang tua merasa sudah membayar biaya bulanan untuk pendidikan anak-anak mereka. Mereka menyangka bahwa tugas untuk mendidik anak-anak sudah mereka limpahkan kepada sekolah, para orang tua saat ini seakan lupa bahwa anak-anak adalah titipan Allah yang kelak juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Yang dilakukan oleh Maiyah pada hakikatnya adalah mengasuh siapapun saja, tidak terkecuali kepada anak-anak kecil yang hadir di setiap Maiyahan. Tidak jarang, bahkan di Maiyahan rutin sekalipun, banyak orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk ikut serta menyimak diskusi di forum Maiyahan yang seringkali berakhir menjelang subuh. Anak-anak tersebut sudah “melanggar” tradisi anak-anak kebanyakan saat ini, memilih untuk menunda istirahat mereka sejenak. Mungkin apa yang dibahas di Maiyahan itu belum mereka fahami saat itu, tetapi apa yang mereka dengar bisa jadi menjadi sebuah file yang tersimpan di alam bawah sadar mereka, dan suatu saat nanti nilai-nilai yang mereka dapatkan itu berguna bagi kehidupan mereka.
Pendidikan bukan sekedar memindah pengetahuan. Pendidikan pertama-tama adalah menghidupkan jiwa anak-anak yang selama ini tanpa disadari banyak “dimatikan” justru oleh obsesi selfish lembaga pendidikan atau oleh kehendak orangtua. Pendidikan sebenarnya hanya upaya membaca dan mengikuti kehendak Allah atas diri anak-anak itu. Di situlah Maiyah coba meletakkan diri. Di situlah anak-anak bergembira.
Begitu juga ketika Maiyahan yang berlangsung atas undangan masyarakat, anak-anak kecil yang hadir secara tidak langsung sudah mengalahkan egoisme mereka untuk menonton televisi di rumah, untuk bersenda gurau bersama teman-teman mereka dan memilih untuk ikut ngaji di Maiyah. Kehadiran anak-anak kecil tidak pernah luput dari perhatian Cak Nun, sehingga seringkali beberapa dari mereka diajak oleh Cak Nun untuk naik keatas panggung, dan secara spontan Cak Nun melakukan workshop yang sebenarnya bukan hanya untuk anak-anak kecil yang hadir saja, melainkan untuk semua jama’ah yang hadir di acara tersebut. Ada banyak acara Maiyahan yang melibatkan peran anak-anak, selain di Salaman, beberapa minggu yang lalu juga di Kampung Jagalan, kemudian tahun 2014 di Kampung Tamanan, tahun lalu di Philadelpia. Di Padang mBulan sendiri, setiap bulan dilaksanakan Ta’dib Padang mBulan yang melibatkan siswa-siswa SMK Global. Kita melihat, Maiyah mampu menembus semua elemen masyarakat, tidak hanya lintas suku, ras, agama, strata sosial, tetapi juga lintas usia.
Jika kita melihat situasi Indonesia saat ini dan kita merasa putus asa seakan sudah tidak ada harapan lagi bagi generasi kita untuk melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik, maka tanamkan dalam hati kita bahwa apa yang kita rasakan saat ini jangan sampai dirasakan kembali oleh anak-anak kecil di sekitar kita. Dan jika kita melihat peradaban saat ini adalah peradaban yang sudah sangat rusak, hingga kita sudah merasa tidak mungkin mampu untuk memperbaikinya, maka tataplah anak-anak kecil di sekitar kita, dan bimbinglah mereka agar mereka menjadi generasi yang lebih baik dari kita, sehingga mereka tidak akan merasakan apa yang kita rasakan saat ini. Apa yang dilakukan oleh Maiyah adalah menanam, dan terus menanam. Generasi kita saat ini mungkin tidak akan merasakan musim panennya.