Belajar Meneguhkan Bun-yaniah Indonesia dari Tuban
Untuk ulang tahun atau hari jadi Kabupaten Tuban ke-723, Cak Nun menyampaikan ucapan selamat. Tak lupa Beliau ingatkan bahwa Tuban ini lebih tua dari Indonesia. Karena itu, Indonesia harus belajar kepada Tuban. Tuban memiliki pengalaman global yang lebih dahulu. Sehingga merupakan keharusan bagi generasi sekarang untuk belajar kepada leluhur di sini, termasuk di tempat-tempat yang mendapatkan aura dan pancaran dari para Auliya.
Banyak hal yang secara ringkas bertahap kemudian diuraikan Cak Nun dari apa-apa yang dialami malam ini. Misalnya tentang hujan salah mongso (hujan tidak pada musimnya). Jika berlangsung fenomena itu, maka ada yang sedang berubah pada diri manusia. Artinya tak hanya alam, manusia juga bisa mengalami salah mongso. Apa yang terjadi di Jakarta waktu-waktu ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang salah mongso. Sehingga pemetaannya menjadi tidak jelas, pun juga sulit mengatasinya. Itulah yang terjadi dengan Indonesia.
Tetapi dari peristiwa belakangan ini di Jakarta dan menyerap perhatian nasional, Cak Nun mendapatkan amsal dari situ untuk coba menangkap esensi persoalan. Ada dua orang yang namanya dekat kata dalam bahasa Arab yang artinya persaudaraanmu (Akhuka) dan konstruksi (bun-yan). Dengan kata lain, apa-apa yang berlangsung itu bermula dari soal persaudaraan yang absen atau dilukai dan tidak adanya kontruksi dalam berpikir. “Nah, Tuban harus benar konstruksi supaya persaudaraannya terjaga. Tuban harus menemukan cara pandang yang bun-yaniah,” pesan Cak Nun.
Dengan dua amsal itu, Cak Nun menegaskan bahwa tak boleh ada anti-Cina atau anti apapun, bahkan tak boleh ada anti-antian. Yang harus dilakukan adalah nahi munkar, siapapun orangnya, meskipun teman sendiri. Mereka yang mau menangnya sendiri dan tak mau berbagi, itulah salah satu perilaku yang perlu dilawan. Harus tepat fokusnya, dan hanya dengan presisi seperti itulah Indonesia bisa mempertahankan kedaulatannya.
Dalam hal orang Cina umpamanya Cak Nun menerangkan bahwa ada dua jenis orang Cina di Indonesia. Yang pertama Cina Benteng, yakni mereka orang-orang Cina yang sudah berabad-abad dulu ada di Indonesia, mereka nyedulur dengan bangsa Indonesia, bahkan banyak yang membantu para wali, dan mereka merasa atau mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia. Mereka salah satunya dulu datang melalui Tuban dan Banten.
Kemudian ada Cina Perantauan, yaitu mereka yang karena satu kondisi di Cina Daratan, mereka datang ke Indonesia. Kecenderungan mereka di mana saja tidak peduli tempatnya adalah mencari laba atau keuntungan. “Bekal kecil ini bukan buat dimedsos-medsoskan, tetapi untuk dipelajari dan didiskusikan,” pesan Cak Nun sembari juga membuka penuturan tentang persebaran diaspora orang-orang Arab di Indonesia.
Sebelum itu Cak Nun menggambarkan dengan apik analogi NKRI sebagai rumah besar. View-nya adalah kesadaran awal yang dialami manusia adalah tempat atau rumah, sebelum ia menyadari kesadaran lain termasuk agama. Ini perspektif keaadaran yang dialami manusia, bukan perspektif penciptaan Allah. Kalau dalam perspektif penciptaan Allah, agama datang lebih dulu. Tetapi jika dalam perspektif kesadaran manusia, tempat lahir datang lebih awal ke kesadaran dibanding agama. Tempat lahirmu adalah rumah besarmu. Itulah NKRI. Islam datang untuk membekali manusia untuk menjaga rumah besar itu. Itulah nasionalisme. “Kalau mau demo, rumah besarnya harus tetap NKRI. Harus tetap diuri-uri NKRI. Identitas utamanya adalah rakyat Indonesia,” tutur Cak Nun. (hm/adn)