Belajar Manusia Kepada Sastra
Sastra Generasi Millenial
Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra. Kaum muda usia 18 sd 39-an tahun yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Generasi Millenial itu, di samping sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurshipnya, tidak terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya keberpihakan yang serius terhadap ‘kesalehan’, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Selama hampir dua dekade belakangan ini mereka menciptakan ruang-ruang sastra sendiri, tanpa fobi, sentimentalitas atau penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang telah ada sebelumnya, yang sangat berbeda formula sosialisasinya. Mereka menampilkan optimisme sastra yang tidak tersangka-sangka, merekahkan harapan-harapan kebudayaan dan kemanusiaan melalui keasyikan sastra yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Saya tidak atau belum akan menyeret pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Fakta Generasi Sastra Millenial itu saya kemukakan untuk sekurang-kurangnya meyakinkan diri saya sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia. Kegembiraan atas keyakinan itulah yang bagi saya merupakan nilai terpenting dari pangayubagya saya atas ulangtahun ke 50 Majalah Horison.
Pasti saya tidak mampu merumuskan sastra dari perspektif transendensi atas-sastra, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan manusia dari perspektif yang me-makro-i manusia. Mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lobang gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem sosialitas, maka kebudayaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.
Kemanusiaan Di Titik Nadir
Terserah apa dan bagaimana sastra dipandang, dituliskan, digagas, dialami, dihayati, diilmukan, diteorikan. Tidak masalah sastra dilihat sebagai kata atau ruh, dibebaskan atau dibatasi, dikonsepkan atau diformulasikan, direligiuskan atau disekulerkan, diharuskan atau dilarang, dihubungkan atau dipisahkan, dihamparkan atau disekat-sekat – yang utama saya sangat menikmati kenyataan bahwa sastra tidak bisa mati, bahkan pun mungkin sesudah manusianya mati.
Setiap manusia memperluas dirinya untuk mengakomodasi beribu kemungkinan perbedaan. Di bidang apapun. Apalagi sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah “gerak dan aliran”, yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.
Orang menemukan sastra yang saya tidak temukan, atau sebaliknya: saya menemukan sastra yang orang tak menemukannya, tidak menganggapnya atau mempercayainya. Itu bukan hanya bukan masalah: justru itulah hakiki sastra. Saya menikmati sastra di materi-materi karya sastra, di wajah manusia, di kandungan jiwa makhluk-makhluk, di hamparan alam semesta, di firman Tuhan, di duka derita rakyat dalam Negara, di tali-tali persambungan antar apapun dalam kehidupan.
50 tahun Horison ini saya sapa dengan syukur dan rasa kagum, betapa sastra tetap tegak martabatnya di tengah zaman — yang sebagian pelakunya semakin tidak mengenalnya, sebagian lain meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mencampakkannya dan menganggapnya tidak ada.
Sastra ternyata belum, dan memang tidak – menjadi “fosil” sejarah di tengah peradaban sosial di mana kemanusiaan ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah. Sastra tidak musnah oleh riuh rendah Negara, Industri dan Kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada manusia. Negara yang hanya mampu memandang kehidupan manusia pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan indera.
Terlebih lagi dominasi kekuasaan Materialisme, Kapitalisme dan Industrialisme, yang puncak pencapaiannya adalah memutilasi manusia dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja, demi “agama” Pasarnya. Kalaupun ada faktor-faktor non-materi yang diambil dari manusia, misalnya intelektualitas, kreativitas, kecerdasan, sensibilitas, kelembutan, bahkan berbagai hal yang mereka sangka “rohani” – itu semua tetap dimobilisasikan untuk mengabdi kepada Benda dan Pasar.
Sastra tidak musnah di tengah situasi dan gerak ‘ketidak-beradaban’ Peradaban Benda dan Pasar hasil karya makhluk-makhluk di bumi — yang kalaupun mereka masih menyebut-nyebut dimensi rohani – itu pun dikonstruksikan dan diformulasikan secara dan sebagai materi. Rohani diidentifikasi dengan cara pandang, sisi pandang, sudut pandang serta jarak pandang materialisme. Untuk kemudian dikapitalkan dan dikomoditaskan.
Sastra pada Bangsa, Negara, Agama
Manusia sangat dipersyarati oleh sastra untuk kemanusiaannya. Jika manusia itu punya keperluan terhadap Tuhan, maka manusia sangat membutuhkan sastra untuk mengolah proses perohanian dan pelembutan kehidupan keber-Agama-annya. Dan jika manusia berkumpul sebagai bangsa, mereka sangat butuh sastra untuk punya kemungkinan mencapai ke-beradab-an Negaranya.
Sebagaimana dimafhumi, semua wacana nilai menyepakati bahwa manusia, masyarakat, Bangsa dan Negara sangat membutuhkan sastra. Tapi saya melihat lebih dari itu. Misalnya kalau dalam kaitan bangsa, alur sebab-akibatnya bukan bahwa sastra membutuhkan peran Negara untuk memberadabkan bangsa. Melainkan: Negara membutuhkan sastra, kalau memang para pelaku Negara mengetahui bahwa tak ada masa depan Negara jika rakyatnya tidak dipertahankan sebagai bangsa manusia dengan keberadaban rohani kemanusiaannya.
Atau dalam kaitan Agama: bukan kalau sastra ingin menarik garis dari dirinya ke Tuhan maka ia perlu bekerjasama dengan Agama. Melainkan: kalau para pelaku Agama memerlukan istiqamah sambungan silaturahminya dengan Tuhan, maka ia memerlukan sastra.
Karena Tuhan sendiri mempersambungkan diri-Nya kepada manusia, pun melalui firman-firman yang sangat bergelimang sastra. Tatkala Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kata atau idiom Rahman dan Rahim bukanlah bahasa hukum, tidak bisa disentuh oleh ilmu, hanya bisa diprasangkai oleh budaya, tetapi bisa diselami dengan sastra.
Perusahaan Negara dan Pasar Demokrasi
50 tahun Horison adalah momentum untuk merayakan betapa kita semua ini masih manusia, karena hidupnya sastra adalah tanda masih adanya manusia. Nyawa manusia terletak pada rohaninya, sebagaimana nyawa ibadat ada pada khusyu`nya, atau nyawa rumahtangga dan keluarga ada pada cintanya, atau nyawa Negara ada pada Tanah Air yang dicintai oleh penghuninya, serta Ibu Pertiwi yang dijunjung oleh manusia-manusianya.
Industrialisme dan kapitalisme yang sudah sedemikian jauh memperbudak Negara dan Pemerintah menjadi alat pasar maniak-materialismenya, ternyata tidak serta merta mampu sepenuhnya melindas dan menggiling manusia menjadi robot dan onderdilnya. Kalau masih ada sastra, maka masih ada manusia. Kalau masih ada manusia, kita punya harapan akan ada Negara, tidak sekadar Perusahaan yang dinegara-negarakan, serta Pasar yang didemokrasi-demokrasikan. Kalau suatu saat terbangun Negara, maka akan terpilih juga Pengelola Negara yang memahami rakyatnya sebagai manusia.
Maka, demi memenuhi tugas ‘Orasi Budaya’ ini saya mencoba melacak, meniti dan menemukan kembali sastra dalam manusia, sastra dalam bangunan yang disebut Negara, juga sastra dalam lingkup kesibukan yang dipercayai sebagai Agama.
Akan tetapi sama sekali tidak mudah merumuskan apa yang sebenarnya ingin saya kemukakan. Judul ini merupakan keputusan darurat di tengah kebingungan saya menentukan beberapa kata untuk menjuduli pembacaan dan pembicaraan yang dibingkai dengan idiom ‘Orasi Budaya’ siang ini.
Mempelajari dan Belajar Kepada
Awalnya ‘Belajar Lukisan kepada Pelukisnya”. Kemudian “Belajar Sastra kepada Penulisnya”. Karena dimensi faktanya sangat luas dan memuat keseluruhan nilai-nilai kehidupan, kalimat itu menjadi “Belajar Sastra kepada Manusia”. Tetapi berhubung yang sedang banyak terlihat oleh saya adalah hilangnya manusia dari kehidupannya sendiri, kalimat berbalik menjadi “Belajar Manusia kepada Sastra”.
Lengkapnya “Belajar Tentang Manusia kepada Sastra”. Ada kemungkinan lain: “Mempelajari Manusia dari atau pada Sastra”. Tetapi saya lebih memilih “belajar kepada” daripada “mempelajari”. Kalau “mempelajari” itu kegiatan “sekolahan”, sedangkan “belajar kepada” itu kegiatan kehidupan.
“Mempelajari” itu mengandung semacam arogansi intelektual, serta terdapat pemetaan di mana manusia adalah objek yang dipelajari, dengan sastra sebagai sumber wacananya, dan “kita yang mempelajari” berdiri gagah di depan objek tersebut.
Tetapi kalau “belajar kepada”, pelakunya memposisikan diri pada sikap rendah hati, membungkuk karena sadar kurang berilmu sehingga memerlukannya, serta tidak memperlakukan yang dihadapannya sebagai obyek. Sementara biasanya yang “mempelajari” berposisi lebih pandai, lebih mengerti atau lebih hebat dibanding yang “dipelajari”.
Kalau diperkenankan memakai analogi bagaimana manusia berinteraksi dengan Al-Qur`an: “mempelajari” itu opsi Tafsir, produknya adalah Madzhab-madzhab yang masing-masing membenarkan dirinya sendiri-sendiri. Sementara “belajar kepada” adalah Tadabbur, yang hasilnya adalah manfaat otentik pada pelakunya, keluasan untuk kebersamaan, serta kearifan terhadap kemungkinan-kemungkinan.
Belajar Manusia kepada Penciptanya
Pada proses berikutnya muncul semacam masalah. Kalau memang “Belajar Lukisan kepada Pelukisnya”, mestinya yang paling otentik adalah “Belajar Manusia kepada Penciptanya”. Berhubung sampai hari ini belum pernah ada wacana, pembacaan, ilmu, pengetahuan, prasangka, perkiraan atau anggapan bahwa yang menciptakan manusia adalah – misalnya – Jin, Malaikat, Dewa, Iblis, atau manusia sendiri yang menciptakan dirinya sendiri: maka saya mohon toleransi untuk menyebut dan melibatkan Tuhan.
Ini yang saya sebut semacam masalah, terutama bagi rekan-rekan yang kurang berkenan terhadap Tuhan. Sebab secara pribadi saya tidak menutup pintu bagi siapapun yang membenci Tuhan, tidak mengakui Tuhan, tidak menemukan Tuhan, salah paham terhadap hadir tidaknya Tuhan dalam hidupnya, gagal paham terhadap informasi-informasi tentang Tuhan yang sampai kepadanya, atau berbagai kemungkinan “ya” dan “tidak”nya Tuhan dalam pandangan dan sikap hidup manusia.
Sekurang-kurangnya saya selalu menghindar dari peluang untuk diejek oleh Tuhan: “Apakah engkau akan bersedih hati kemudian membunuh dirimu sendiri, hanya karena mereka berpaling dari-Ku dan tidak beriman kepada-Ku?”
Tuhan ini sendiri sesungguhnya bukan benar-benar Tuhan, karena Ia adalah Maha Unikum yang tidak bisa dicapai oleh ilmu, sampai pun dengan puncak akalnya. Tapi ia bisa disentuh oleh kelembutan cinta di pusat rohani manusia. Dan yang ditradisikan, dilatihkan dan diasah oleh sastra adalah kelembutan cinta, di kandungan terdalam rohani manusia.
Tuhan yang dikenal oleh wacana-wacana peradaban bukanlah Tuhan yang sejatinya Tuhan, melainkan sejauh yang disepakati oleh keterbatasan pandangan manusia untuk disebut Tuhan. Bahkan ada sebutan- bermacam-macam: Yahwe, Yehovah, Manitou, Sang Hyang, Sang Yuang, ada yang menambahi embel-embel Widhi, Wenang, atau Tunggal.
Atau Tuhan yang Allah sendiri menginformasikan “XY” diri-Nya, untuk memudahkan manusia mengenali dan merasakan kehadiran-Nya. Allah itu sendiri, secara “objektif”, berposisi “tan kinaya ngapa” atau “laisa kamitslihi syaiun”: tidak seperti apapun juga.
Secara Ilmu dan Secara Sastra
Sekelompok pemeluk Agama Islam melarang dirinya menyebut semua nama atau kata-kata itu, karena menurut mereka yang benar adalah Allah. Alasannya, karena Allah sendiri memperkenalkan diri-Nya sebagai atau dengan nama Allah – meskipun sebelum informasi resmi itu disampaikan melalui Nabi Muhammad saw, kata Allah sudah dipakai banyak orang di zaman sebelumnya, bahkan oleh Bapaknya Sang Nabi itu sendiri, yakni Abdullah, Abdu-nya Allah. Juga sesudahnya, tokoh munafik yang mengkhianati Nabi juga bernama Abdullah bin Ubay.
Pada hakikinya manusia tidak memiliki perangkat ilmu atau alat jangkau pengetahuan untuk benar-benar mengetahui bahwa Ia adalah dan bernama Allah, sekurang-kurangnya karena dua hal.
Pertama, Allah memperkenankan makhluknya menyebut dan memanggil-Nya Allah, demi mempermudah sistem pengetahuan manusia di tengah keterbatasannya yang tidak memungkinkannya sungguh-sungguh mengenal Allah.
Kedua, Allah tidak berada posisi untuk memerlukan nama. Allah tidak berkomunitas, tidak bermasyarakat, tidak bertetangga, tidak ada rekanan, handai tolan atau sahabat-sahabat yang memerlukan nama-Nya agar mudah dan jelas dengan sebutan apa mereka menyapa-Nya. Ia Maha Tunggal. Sendiri. Tidak ada padanan-Nya.
Allah hanya menciptakan makhluk, dan para makhluk itu perlu berkomunikasi dengan-Nya, sehingga Ia ‘berkompromi’ atau ‘mengalah’ dengan meresmikian nama-Nya adalah Allah. Mungkin sebagaimana seorang Kakek mengalah memanggil Pak Lurah dengan “Mbawwa”, karena demikian cucunya memanggil Pak Lurah.
Tetapi Ia bernama dan dipanggil Allah tidak sebagai fakta objektif, melainkan inisial subyektif pada atau bagi pada makhluk-Nya. Sebab semua makhluk tidak memiliki perangkat apapun untuk mengenali-Nya secara objektif, sebagaimana – sampai batas tertentu yang juga relatif – para makhluk itu secara objektif mengenali rumput, pepohonan, angin, hamparan tanah, gunung-gunung yang gagah, atau wajahnya sendiri.
Pembelajaran dan perjuangan bidang apakah, selain sastra dan kesenian, yang mengembarakan batin manusia ke wilayah disiplin dan gerakan batin seperti itu? “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dihamparkan tanda-tanda keagungan-Nya maka bertambahlah iman mereka…”
Hadapilah dan rumuskan pernyataan Tuhan itu dengan ilmu, lantas rasakan dan selamilah secara sastra, kemudian bandingkan hasil di antara keduanya.
Jarak Sastra, Pendidikan Sastra
Maka sesungguhnya para makhluk itu mengenali Allah secara sastra, tidak secara ilmu, apalagi secara materiil, secara fisika, biologi atau ilmu-ilmu jasad, Ngelmu Katon atau ilmu kasat mata. Dengan cara pandang lain: jarak antara Tuhan dengan manusia bukan terbentang jarak materi, bukan jarak ilmu, melainkan jarak sastra.
Demikianlah juga rentang dan sekat-sekat yang terjadi di antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan lingkup sosialitasnya, antara identitas individu dengan fungsi sosialnya, antara Negara dengan bangsanya, antara Pemerintah dengan rakyatnya, antara kelompok-kelompok, golongan, madzhab, aliran, serta antar apapun yang sejauh ini menghasilkan perselisihan, benturan, dismanajemen, konflik, permusuhan dan kebencian – ketika jelas berpanjang-panjang waktu itu semua tak terselesaikan oleh ilmu – karena memang yang terjadi adalah jarak sastra, jarak rohani, jarak batin, jarak cinta dan kelembutan yang tak ditemukan di tengah kegelapan.
Ketika sekelompok manusia mengacungkan dua jari dan berteriak “Peace!” – itu adalah kosakata sastra. Sekurang-kurangnya ia adalah kosakata yang nyawanya hanya bisa ditemukan secara sastra. Sebagaimana kata Negara, Propinsi, Ibukota, adalah kosakata hukum dan konstitusi. Tetapi tanah air, ibu pertiwi, negeri, adalah kosakata sastra, kosakata cinta, kosakata rohani. Setiap Pegawai Negara Sipil, bekerja dalam ikatan konstitusi Negara. Kalau yang ada adalah Pegawai Negeri Sipil, maka syarat etos kerjanya adalah cinta yang meluap kepada tanah air dan semua manusia yang menghuninya.
Dunia Pendidikan mengajarkan sastra sebagai ilmu dan secara ilmu, dan kemudian tidak menghasilkan manusia rohani. Mungkin berbeda hasilnya jika ia mengajarkan ilmu secara sastra. Ada baiknya membuka diri untuk berpikir bukan mengajarkan sastra dengan mekanisme transfer data, tetapi menyusun perjuangan pendidikan dengan proses pemberadaban bersama secara rohani sastra.
Tuhan tidak mengajari manusia dengan kalimat “Wahai manusia, ketahuilah bahwa ciptaan-Ku ini tidak ada yang sia-sia”. Yang dilakukan Tuhan adalah memancing imaginasi dan kreativitas manusia dengan menurutkan kalimat “Wahai Tuhan, tidaklah sia-sia Engkau menciptakan semua ini”. Kalau manusia mendengar itu secara sastra, dengan imajinasi dan daya kreatif – yang ia lakukan adalah ia terlebih dulu merambah pengalaman, melakukan penelitian dan pendalaman, agar berposisi relevan dan “historis” untuk mengucapkan “tidak sia-sia Engkau ciptakan ini semua”.
Menemukan Kembali Letak Sastra
Maka akhirnya saya merasa punya pijakan untuk memutuskan judul “Belajar Manusia kepada Sastra”. Manusia perlu belajar kepada sastra untuk menjadi manusia dan mempertahankan kemanusiaannya.
Ketika Chairil Anwar berpuisi “Aku hilang bentuk. Remuk. Aku tak bisa berpaling” – kalau dipahami dengan bahasa hukum dan konstitusi, maka Chairil kehilangan kewarganegaraannya. Foto yang terpampang di Kartu Identitasnya harus jelas bentuknya, harus tertentu wajahnya. Bahkan harus dicatat ia sudah meninggal. Sebab kalau seseorang remuk seluruh badannya, ia bukan orang yang hidup. Apalagi si makhluk Chairil Anwar yang tak berbentuk, yang remuk ini tidak bisa berpaling, tidak bisa menoleh, ia bersikukuh berada di depan kita, pastilah sangat menakutkan.
Penyair Taufiq Ismail memunculkan problem kenegaraan dan ekonomi dengan lontaran kalimat puisinya “Beri Daku Sumba”. Bagaimana mungkin Pulau Sumba diminta oleh seseorang hak kepemilikannya. Lantas Sang Raja Umbu Landu Paranggi akan memobilisasikan 611.594 penduduk Pulau Sumba untuk ditransmigrasikan ke mana. Tidak mungkin ada Kabupaten atau Provinsi bersedia menampung orang sebanyak itu. Hanya tenaga kerja dari Negeri Naga, meskipun sampai 10 juta jumlahnya, yang semua penduduk Nusantara siap menerima dengan sikap altruistik, penuh kemuliaan dan kasih sayang.
Chairil juga merupakan ancaman bagi Kepolisian pada umumnya dan Densus 88 pada khususnya:
“Aku ini binatang jalang /Dari kumpulannya terbuang /Biar peluru menembus kulitku /Aku tetap meradang menerjang…”
Sementara para Ustadz sebaiknya memberinya tausiyah agar Chairil tidak lagi bicara ngawur: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Itu kebodohan sekaligus keserakahan, menentang sunnatullah atau tradisi penciptaan oleh Allah, makar dan sesat. Termasuk Bung Karno yang melanggar teknologi: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Antara planet apa dengan planet apa tali gantungannya direntangkan.
Tentulah tidak ada pejabat Negara atau para ilmuwan yang menjadi staf-staf ahli mereka berpikir sedungu itu. Tetapi saya juga tidak bisa membantah bahwa para penguasa Negara, para pengendali kebudayaan masyarakat, para stakeholders kehidupan sosial, termasuk banyak pemimpin-pemimpin Agama – semakin gagal menemukan letak sastra dalam perikehidupan manusia, masyarakat dan bangsa yang mereka kelola.
Manusia Wajib Hidup Abadi
Saya tidak memaksudkan ‘materi sastra’ atau bidang kesusastraan, kesenian dan kebudayaan. Di pemerintahan Kerajaan atau Negara manapun hal-hal tersebut selalu disediakan institusinya, lembaga yang mengurusinya. Sebagai birokrat, memang yang mereka kelola adalah ‘materi sastra, seni dan budaya’: sastra yang diwakili oleh deretan kata, lukisan yang diantarkan oleh kanvas, guratan dan warna, atau paket-paket materi musik, tari, atau drama. Termasuk kreatornya dan peluang-peluang sosialisasinya.
Akan tetapi sebagai manusia, pertemuan dan interaksi mereka dengan sastra bukanlah interaksi materiil. Melainkan kandungan nilai-nilainya, dimensi rohaniahnya, perangkat-perangkat halus yang tak tak tersentuh oleh pancaindera, yang menyebabkan para kreator itu menyampaikannya dengan menggunakan perangkat-perangkat materiil: kata, warna, nada, gerak dst.
Sastra, atau lebih luas disebut seni, itu tidak kasat mata. Ia mungkin bagian dari yang disebut ruh atau roh, mungkin berupa getaran, gelombang atau magnet, sebagaimana secara samar-samar manusia merabanya melalui kata persangkaan: jiwa, nyawa, nurani. Sebuah karya sastra, pementasan drama, pergelaran musik atau pertunjukan tari, lazim disebut “tidak ada ruhnya”. Bahkan permainan sepakbola, biasa menggunakan istilah ‘seni’-nya. Pun peperangan, di puncak kecanggihannya orang membahasakannya sebagai ‘seni perang’.
Ummat manusia tidak bisa mengelak dari pengalaman sastra, agar ia bertahan menjadi manusia. Maka ia membutuhkan karya-karya sastra. Namun demikian karya sastra bukan satu-satunya tempat di mana sastra bisa ditemukan dan dialami. Karya sastra bekerja mengantarkan manusia untuk memasuki dimensi sastra – yang letaknya ada di dalam dirinya sendiri, di kandungan alam semesta, serta dalam komunikasi dan interaksi dengan Tuhan yang merupakan asal-usul dan tujuan akhirnya.
Manusia tidak bisa tidak hidup abadi. Manusia wajib hidup abadi. Manusia tidak bisa absen untuk tidak terlibat di dalam dua keabadian yang disiapkan oleh Penciptanya: yakni kholidina dan abada. Apa gerangan itu, tak ada gunanya mencoba menggapainya dengan ilmu, tetapi bisa menjangkaunya dengan pengalaman sastra. Manusia tidak punya kemungkinan atau hak untuk “pensiun dini”, ia harus mengalir di keabadian. Manusia dipersilakan menggunakan hak pilih: menempuh ekosistem Neraka atau atau peta nilai Sorga.
Materi Sastra Indera dan Pengalaman Sastra Ruh
Oleh karena itu manusia bukan (hanya, atau terutama) jasadnya. Bukan pancainderanya. Bukan gedung-gedung kemewahan dan segala pencapaian jasadiyah keduniaannya. Bukan perangkat-perangkat kesementaraannya. Manusia adalah getaran sejati di dalam jiwanya, di mana pengalaman sastra bisa membantunya untuk berada padanya. Manusia adalah resonansi gelombang Tuhan Yang Maha Abadi, yang dibuntu dan ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan lembutnya pengalaman sastra.
Manusia menempuh rentang jarak antara karya sastra dengan pengalaman jiwa sastra. Jarak antara warna, guratan, garis, gerak, bunyi, serta apapun materi-materi lainnya, dengan jiwa di sebaliknya. Sebagaimana ia menempuh jarak dari Mushaf ke Qur`an, dari kehadiran Tuhan ke sejatinya Tuhan, dari materi karya-karya seni ke pengalaman cinta sejati.
Para pelaku sastra menimba kesejatian hidup dari Sastra Ruh, dimaterikan menjadi Sastra Indera. Sedangkan pembaca sastra diantarkan ke arah sebaliknya: dari Materi Sastra ke Ruh Sastra.
Di dalam peristiwa Agama, manusia yang tergetar hatinya tatkala mengucapkan “Allahu Akbar”, ia bukan sedang mengetahui kebesaran Tuhan dan mentakjubi-Nya, melainkan sedang menempuh proses perjalanan menuju otentisitas Tuhan, yang tak pernah benar-benar bisa digapainya, sehingga ia harus terus menerus mengalir kepada-Nya.
Sebab “Allahu Akbar” tidak bisa diterjemahkan menjadi Allah Yang Maha Besar, melainkan Allah Yang Senantiasa Maha Lebih Besar. Ia bukan peristiwa dan penemuan objektif sebagaimana ilmu memadatkan fakta dan data. Allahu Akbar adalah dinamika perjalanan menempuh ruang keabadian. Tuhan selalu lebih besar lagi dan terus lebih besar lagi dari yang sebelumnya kita rasakan atau temukan.
Mainstream peradaban yang sedang berlangsung membuka lahan selebar-lebarnya untuk bangunan-bangunan budaya, ilmu dan materi-materi yang di beberapa langkah ke depan dihadang oleh senjahari dan gelap malam. Memprimerkan segala sesuatu yang akan ditinggalkan dan meninggalkan, yang didirikan untuk ambruk dan dibangun untuk hancur. Sedangkan sastra mengawal perjalanan manusia di rentang keabadian dan semesta kesejatian.
Andaikanpun pelaku sastra menolak keterkaitannya dengan keabadian, kesejatian, Tuhan, jiwa fitri dan getaran cinta otentik — tidak menjadi masalah. Ia atau mereka berhak menciptakan sastranya sendiri, dirinya sendiri, semesta dan gagasan nilainya sendiri, meskipun tidak ada wilayah lain di luar kesejatian dan keabadian.
Saya mohon maaf kepada siapa saja yang tidak sependapat dengan yang saya kemukakan. Jangankan orang lain atau siapapun yang di luar diri saya, sedangkan saya sendiri tidak kecil kemungkinannya untuk tak sependapat dengan apa yang baru saja saya ungkapkan.
Manusia di dunia tidak sedang bertempat tinggal, melainkan sedang melakukan perjalanan. Dan getaran selama perjalanan itulah sastra.
Yogya 22 Juli 2016.