Belajar dari Kualitas Utama Nabi Muhammad
Gerimis rintik-rintik mewarnai dimulainya rangkaian pembukaan acara Sinau Bareng malam ini di pelataran parkir UII Kampus Terpadu Jalan Kaliurang. Para mahasiswa-mahasiswi telah memenuhi lokasi yang telah dilengkapi atap tenda. Lepas Isya’, kelompok Hadroh Ash-Shiba dari UII tampil mempersembahkan beberapa shalawat, di antaranya memparadekan beberapa shalawat seperti Ya Nabi Salam ‘Alaika.
Pukul 19.30 Cak Nun sudah tiba di kampus UII dan disambut oleh Dekan FAI dan beberapa dosen lain di ruang Rektorat UII. Sementara sejak sore KiaiKanjeng sudah berada di lokasi untuk sound check. Tak hanya para mahasiswa, tapi juga terlihat sejumlah santri-santri bersarung dan berpeci yang sepertinya datang dari kampung-kampung sekitar.
Para panitia yang terdiri dari aktivis-aktivis LEM UII dan mahasiswa FAI sedari sore sangat sibuk berkoordinasi dan menyiapkan segala sesuatu terutama sejak tim KiaiKanjeng datang di area acara yang berada di barat Masjid Kampus UII. Mereka mengenakan jas almamaternya berwarna biru, memberi nuansa berbeda dari panitia-panitia Maiyahan lainnya di lapisan masyarakat umum. Ketua panitia sendiri yakni dari jajaran mahasiwa FAI UII dalam sambutannya mengatakan, “Selama ini anak muda atau mahasiswa lebih sering mencari hiburan lewat nonton bioskop atau nongkrong di Kafe, malam ini saya nyatakan, acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng inilah yang harus kita budidayakan.” Demikian bersemangat sehingga ia menyebut budidaya untuk maksud mentradisikan.
Karena acara berada di Yogyakarta, para personel KiaiKanjeng datang sendiri-sendiri dengan kendaraan masing-masing. Sebagian naik sepeda motor. Yang mengharukan adalah Pak Ismarwanto Suling. Tak ingin merepotkan kawannya, ia sengaja memilih naik sepeda ontel, sejauh kira-kira 22 KM dari rumahnya menuju kampus UII, dengan jalur menanjak dari bawah. Dan itu tak jarang dilakukannya bila Cak Nun dan KiaiKanjeng beracara di wilayah Yogyakarta.
Acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini diselenggarakan oleh FAI dan LEM UII dalam rangka Milad Universitas Islam Indonesia ke-73. Pada kesempatan yang baik ini, para mahasiswa baik UII maupun yang dari luar UII serta masyarakat luas diajak untuk belajar bersama Cak Nun menggali nilai-nilai kepemimpinan dan perjuangan Rasulullah Muhammad Saw dengan aksentuasi padanya tema pendidikan, ekonomi, dan hukum Islam.
Dalam Sambutannya mewakili Rektor UII, Pak Munthoha dari Direktorat Pengembangan Pendidikan Agama Islam mengapresiasi “brand” Sinau Bareng Cak Nun. “Kalau masa studi itu ada batasnya, sedangkan Sinau itu tak ada batasnya, sampai tua pun boleh dan harus Sinau. Jadi Anda-anda yang tua tetap boleh hadir di Sinau Bareng Cak Nun malam ini. Sebab sejatinya belajar dalam Islam prinsipnya adalah minal mahdi ilal lahdi, sejak dari ayunan hingga masuk liang lahat.”
Saatnya tiba waktu untuk Cak Nun dan KiaiKanjeng, Pak Nevi dkk segera mengambil tempat. Sementara itu, beberapa player yang duduk di kursi disediakan kursi kayu. Sepertinya kursi kuliah, sehingga beda dengan kursi-kursi yang selama disediakan dalam pementasan KiaiKanjeng yang kalau bukan kursi plastik ya kursi besi-bludru. Tak lama kemudian, Cak Nun yang mengenakan busana hitam-hitam dan peci hitam baru naik ke depan dan disusul jajaran dekanat FAI UII, Pak Muntoha, Ketua LEM UII, Fandi Pasaribu dan Ibrahim Malik mahasiswa berprestasi yang dulu hadir di Maiyahan Santri Teknologi Desember tahun lalu. Nomor pertama yang dihadirkan KiaiKanjeng adalah Marhaban Ya Nurul ‘Aini dengan vokalis multitasking Alay Wahyu Nugroho yang merangkap manajemen KiaiKanjeng.
Mengawali uraiannya, Cak Nun menyentil ‘libido sciendi’ para mahasiswa di sini, “Kalau kepada dosen itu mempelajari atau belajar dari? Begitu juga kepada Rasulullah kita mempelajari atau belajar dari? Yang terakhir ini mungkin kedua-keduanya ya.” Intinya Cak Nun melontarkan konsep belajar itu agar diserap dan menjadi view dalam menjalani pembelajaran. Sebuah point of view yang terinspirasi dari Sabrang MDP.
Rintik-rintik gerimis sudah berhenti. Semua jamaah baik yang duduk di bawah tenda maupun di luarnya — ada yang berada di bawah pohon, di tangga barat masjid, maupun yang tepat di depan panggung — semua sudah involved dengan Maiyahan. Menyimak dengan penuh perhatian apa-apa yang disampaikan Cak Nun dan narasumber lain. Cak Nun mengintrodusir bahwa malam ini dasar berpikirnya adalah takdib (pemberadaban) di mana taklim hanyalah salah satu jalan menuju takdib. Juga harap dicatat bahwa hidup ini adalah jahdun (mengalami usaha yang sangat berat). Bila yang berat adalah pikiran dan pemikiran maka ia bernama ijtihad. Sedangkan jika yang berat adalah hati atau kedalaman jiwa kita maka ia bernama mujahadah.
Prinsip dasar yang ditawarkan Cak Nun sederhana. Mulailah dengan mendata sifat-sifat atau kualitas utama Nabi Muhammad yang nanti tinggal dihubungkan dengan bidang-bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan hukum. Kualitas itu misalnya Nabi yang al-amin (terpercaya), an-Nabi al-Ummi, an-Nabi al-Maksum, Nabi sebagai Yaqut (permata) di antara batu-batu (manusia umum), dan Nabi sebagai Abdan Nabiyya (Hamba yang Nabi).
Setiap kali Cak Nun melontarkan joke atau kejutan-kejutan logika, Pak Dekan tersenyum. Pun demikian dengan narasumber lain. Sementara itu, sungguh mengagumkan bahwa sekian banyak orang yang hadir, dari ujung pojok terjauh dari depan panggung hingga pojok kanan kiri panggung semuanya menyimak rajutan dan analisis-analisis Cak Nun dalam merespons tema yang dibahas. Sebuah perhatian yang mungkin melebihi perhatian saat mengikuti kuliah, apalagi jika kuliahnya membosankan. Malam ini tak ada kantuk atau loyo, semuanya bergairah dan melek dengan mata yang penuh sorot gembira karena kebersamaan dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Kegairahan itu makin menggelora sesudah muatan-muatan ilmu, kini mereka dihidang sebuah nomor anak muda One More Night dari Maroon 5 yang dibawakan oleh Doni, dan makin bergoyang-goyang jiwa mereka dengan suasana dangdut melayu oleh Mas Imam Fatawi yang mengantarkan Beban Kasih Asmara. Pelataran Kampus UII ini serentak menjelma menjadi sebuah pesona budaya tersediri yang menyebabkan hati dan pikiran jadi segar.
Tadi Cak Nun sempat membuka kesempatan kepada Jamaah untuk ikut bertanya atau mengemukakan pendapat. Salah satunya bernama Sodiq yang ternyata asli dari Mandar Sulbar. Ia mengungkapkan kecintaannya kepada Cak Nun yang ia sebut sebagai guru bangsa. Ia juga mengabarkan bahwa orang-orang sudah kangen kepada guru bangsa yang gondrong dan berkumis yang tak lain adalah Cak Nun. Tumbu ketemu tutup, Cak Nun segera menginformasikan bahwa memang Cak Nun dan KiaiKanjeng telah menjadwalkan akhir April ini akan datang ke Mandar.
Yang satunya adalah seseorang yang mengajukan pertanyaan yang unik. Ia mengemukakan kekaguman kepada Cak Nun dan mau konfirmasi apakah kalimat sebuah quote yang berbunyi ‘Lanang ora gondrong, ora ngopi, ora ngrokok, ora suit-suit, njur lanang cap opo kuwi’. Pertanyaan yang bikin gerrr. Cak Nun langsung merespon, “Saya tidak pernah menulis itu, tapi memang saya pernah bilang. Dan itu adalah sebuah karikatur. Jangan menuntut persis, wong namanya juga karikatur. Bahasa itu bertingkat-tingkat dan bersegmen-segmen, jadi itu bukan presisi ilmu, tapi nuansa karikatur.”
Cak Nun juga merespons pertanyaan tentang ‘abdan Nabiyya dan Nabi al-ummi, yang intinya dunia ini hanyalah tempat buat mengumpulkan bahan-bahan atau batu bata, sedangkan membangunnya nanti di Surga. Tak apa menderita di dunia, sebab yang terpenting adalah memperjuangkan akhlaknya.
“Mempelajari karakter, kecenderungan, akhlak, dan sifat Nabi usahakan langsung mengaplikasikan, langsung teraplikasi. Al-Amin (terpercaya) langsung aplikasikan dalam ekonomi dan bisnis misalnya. Muhammad dirimu. Artinya, kualitas-kualitas Nabi tadi praktikkan dalam kehidupan meskipun tak selalu bisa maksimal.” Demikian di antara poin-poin meneladani Rasulullah. Hal lain yang Cak Nun kemukakan mengenai fenomena an-Nabi al-Ummi adalah penting dan relevannya otentisitas Nabi Muhammad sebagai penerima dan penyampai wahyu dari Allah. Juga proyeksinya terhadap kehidupan saat ini yang surplus amat banyak informasi dengan kemajuan teknologi informasi. Banyak manfaatnya, tetapi juga ada bahaya mengintai, karena dapat menurunkan kreativitas. Alat-alat digital musik yang canggih untuk bikin lagu dapat melemahkan kreativitas musik secara orisinal dan otentik.
Sudah pukul 00.15, kemesraan dan keakraban dalam Sinau Bareng Cak Nun masih berlangsung. Hawa dingin yang menembus badan bagai tak terasa. Kiai Muzammil barusan dengan gaya Maduranya selesai mengungkapkan segi-segi kepemimpinan Rasulullah dari sudut pandang NU. Apa dan bagaimana ulama-ulama mengambil keteladanan dari Rasulullah. Juga ia berikan sedikit gambaran mengenai fikih di mana Yai Muzammil sedang merumuskan dan menulis apa yang ia sebut fikih Muzammily. Sementara itu, Mas Fandi Pasaribu menyemangati teman-teman dan adik-adiknya untuk memiliki istiqamah dalam belajar, agar kelak prestasi-presatasi dapat dicapai, sebagaimana dia sudah mencapai prestasi melalaui mobil listrik yang dia cipta.
Tentang Nabi Muhammad sebagai ‘Abdan Nabiyya (Hamba yang Nabi), Cak Nun mengingatkan bahwa Rasulullah juga pernah mengalami hidup miskin, dan sangat sering dalam kondisi yang berat. “Miskin itu tidak apa-apa. Yang tidak boleh adalah pemiskinan,” tegas Cak Nun.
Acara hampir sampai di penghujung. Cak Nun baru saja menyampaikan pendalaman-pendalaman yang menukik pada skema hukum tunduk pada akhlak dan akhlak tak bisa lain tunduk pada taqwa serta beberapa contoh keluasan hukum Nabi Muhammad ketika menghadapi pengaduan dua sahabat yang berbeda dalam sikapnya terhadap suatu amal atau ibadah. Keduanya dipuji Rasulullah karena keduanya mengandung keindahan dan kesungguhan tersendiri seperti pada saat Umar dan Abu Bakar berbeda mengenai pelaksanaan shalat tahajjud.
Kini mbak-mbak enam vokalis Hadroh Ash-Shiba yang setia sedari tadi ikut serta naik ke Panggung berkolaborasi dengan KiaiKanjeng membawakan nomor Padhangmbulan. Mas Doni dan Mas Imam menemani mereka melantunkan nomor yang berisikan shalawat dan pesan-pesan untuk bersyukur dan melakukan kebajikan mumpung waktu dan kesempatan masih tersedia.
Lima menit terakhir, Cak Nun mengajak semua hadirin yang telah sungguh-sungguh berpikir tentang umat, dunia, dan bangsa melalui semangat meneladani Rasulullah, untuk memasuki semesta keterkabulan do’a. Mereka diajak bersama-sama melantunkan shalawat Nabi. Sidnan Nabi Sidnan Nabi Sidnan Nabi...
Para vokalis ash-Shiba turut membantu dengan vokalnya pada lantunan khusyuk Shalawat ini. Pak Dekan, Bu Wakil Dekan, dan Bapak-bapak dosen yang hadir dan duduk di barisan depan semuanya khidmat mengikuti Cak Nun memimpin lantunan Shalawat Sidnan Nabi ini.
Dengan penuh pengharapan akan barokah dari acara yang sudah berlangsung ini, Pak Muntoha memimpin do’a yang diamini oleh seluruh hadirin. Dalam dingin malam, semuanya menengadahkan tangan ke langit memohon kedermawanan Allah Swt. Cak Nun mengakhiri persembahan malam ini dengan mempersilakan KiaiKanjeng mengantarkan kepulangan jamaah dengan beberapa nomor lagu.