Belajar Alif Ba Ta Agamaku
Ya Tuhan raja diraja semesta alam, inilah dosa-dosa dalam ‘Doa Mohon Kutukan’ ku. Jika berkat kemaha-dermawanan-Mu ada bagian dari ini semua yang Engkau tak anggap sebagai dosa, itu adalah bonus rizki dari-Mu. Tetapi demi menjaga rasa aman hatiku dari kemaha-kuasaanMu, kupilih rasa dosa ini, agar bertambah linangan airmataku ke hadirat-Mu.
Pertama, ‘Doa Mohon Kutukan’ itu sama sekali bukan puisi. Itu hanya deretan kata dan kalimat dari orang yang bingung dan tidak kuat menanggung kesedihan atas keadaan bangsanya. Sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai puisi atau karya seni. Itu hanya muntahan hati yang frustrasi.
Mudah-mudahan jangan lagi ada yang mengkategorikan aku sebagai penyair, seniman, apalagi budayawan. Namun jika ada yang terlanjur menyebutku sebagai budayawan, kudoakan Allah meningkatkan derajat sorganya di akhirat, serta menambahkan limpahan kesejahteraan dan kebahagiaan beliau sekeluarga serta ummat pengikutnya.
Tidak kusertakan doa agar Tuhan mengampuni dosa dan kesalahannya, sebab aku tidak akan pernah menuduh siapapun sebagai pelaku dosa. Selalu kuyakini orang yang bukan aku sebagai calon penghuni sorga.
***
Kedua, kalimatku tidak tegas mengemukakan kandungan maksud atau hajatnya. Misalnya “Dengan sangat kumohon kutukanmu ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…” — seharusnya dilengkapi menjadi: “Dengan sangat kumohon kutukanmu kepadaku ya Tuhan, jika itu merupakan salah satu syarat…”. Kata “kepadaku” kenapa tidak aku cantumkan.
Seharusnya aku tuliskan statement yang lebih tegas dan transparan kepada Tuhan bahwa aku bersedia dikutuk oleh-Nya demi kesembuhan penyakit-penyakit yang fantastis pada Negara dan Bangsaku. Komplikasi permasalahan, campur aduk segala macam racun, lipatan-lipatan problem, silang sengkarut permasalahan, yang jangankan akan disembuhkan, bahkan pun kewalahan semua ilmu manusia untuk mendata dan merumuskannya.
Seharusnya kupakai bahasa yang lebih sederhana, bahwa aku bersedia hancur demi keselamatan bangsaku.
***
Ketiga, doa itu juga sangat kecil kemungkinannya untuk didukung oleh teman-temanku maupun ummat dan masyarakat umum. Ia tidak kompatibel dengan alam pikiran kebanyakan orang dari bangsaku. Nilai-nilai yang melahirkan doa itu bukan sekedar tidak sama dengan keyakinan dan pilihan sikap hidup kebanyakan orang, terutama para pemimpin dan kaum terpelajar. Bahkan banyak yang bertentangan. Sebagian malahan amat sangat berbalikan.
Sehingga tidak terjadi akumulasi energi, tidak terdapat penghimpunan tenaga doa yang bisa menyentuh langit. Misalnya kalimat-kalimat “…merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…Ambillah hidupku sekarang juga, jika memang itu diperlukan…”, “…diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah…”, “…maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia…”, “…Hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini, jadikan duka deritaku ini makanan bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan…” dlsb.
Itu hampir semuanya bertentangan dengan kelaziman sikap hidup manusia modern yang mengutamakan perjuangan mencapai eksistensi, pembangunan citra, pengagungan kehidupan yang ini dengan skala prioritas kemenangan, kejayaan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia.
Hampir sama sekali tidak mungkin ummat manusia Abad 21 yang sudah sangat puas dan bangga oleh kemegahan dan kemewahan dunia, di mana maut diyakini dan dirasakan sebagai tragedi — percaya ada makhluk di antara mereka yang bersedia dimatikan oleh Allah untuk menjadi cicilan ongkos bagi kehidupan masyarakatnya. Bersedia untuk kalah dan dikalahkan demi kemenangan bangsanya. Atau bersedia ditindih oleh penderitaan dan kesengsaraan demi keselamatan Negara dan kemakmuran rakyatnya.
Tidaklah bisa dipercaya oleh manusia bangsa-bangsa masa kini bahwa ada seseorang di antara mereka mau meniadakan dirinya sendiri, membuang eksistensinya sendiri, mempuasai karier dan kemungkinan kejayaannya sendiri — untuk disedekahkan kepada syarat rukun yang diperlukan untuk sembuhnya sakit mental, akal dan hati bangsanya dan terutama para pemimpinnya.
***
Keempat, ungkapan yang secara tidak tepat aku tuliskan sebagai doa dan kubentuk seakan-akan puisi itu — sangat mencolok mencerminkan ketidak-mengertianku atas diriku sendiri. Ketidak-tahuan atas kekecilan dan kekerdilanku.
Sehingga dengan kandungan kesombongan batin aku memimpikan keadaan-keadaan yang sedemikian ideal untuk bangsaku: “…agar pemimpin-pemimpinku mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup, mencari derajat tinggi di hadapanMu, sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya…”, “…untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku, untuk menghalau dengki dari bumi, untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri…” dst, dst.
Betapa dungunya, betapa pungguknya doaku yang merindukan rembulan yang berupa perkenan kabul dari Tuhan. Seolah-olah sedemikian bersahajanya konsep penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk oleh Tuhan. Seolah-olah perikehidupan ummat manusia itu baru dimulai kemarin sore tatkala Adam diciptakan mungkin sekitar tak sampai seratus ribu tahun silam. Seakan-akan para Malaikat tak pernah punya pengalaman mengurusi makhluk-makhluk pra-Adam 18 milyar tahun sebelumnya.
Seakan-akan para Malaikat itu tidak pernah matur kepada Tuhan “untuk apa Engkau ciptakan manusia, yang toh kerjanya cuma merusak bumi dan menumpahkan darah”. Seakan-akan tidak pernah ada kreativitas yang menyangkut fenomena keaktoran Iblis. Kok tiba-tiba aku berdoa kepada Tuhan dengan cara berpikir sesederhana orang beli kacang di pasar.
Alangkah tak pahamnya aku tentang Agama dan otoritas absolut Tuhan.
***
Dan kelima, sangat memperjelas betapa aku tidak paham Agama. Apalagi Agama yang disebut Islam. Tulisan “Doa Mohon Kutukan” itu bisa disalahpahami oleh orang-orang yang sama-sama tidak paham Islam sebagaimana aku — sebagai doa konyol yang bukan hanya tidak dikabulkan oleh Tuhan, melainkan bahkan malah bisa jadi mencelakakan Negara dan Bangsa Indonesia.
Mereka bisa dengan sembrono menyimpulkan bahwa gara-gara doa terkutuk itu Bangsa kita disesatkan oleh Tuhan. Tidak kunjung ditolong untuk keluar dari masalah-masalah, malahan diperparah. Akal sehatnya diruntuhkan sehingga salah parah dalam memilih pemimpin dan senantiasa berlaku salah arah dan salah langkah. Harga diri ambruk, mental tumbang, logika hancur, semakin banyak orang yang bodoh-kwadrat: tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti.
Dan senyata-nyatanya aku sendirilah urutan pertama bodoh-kwadrat itu. Semoga masih ada sedikit ampunan Allah kepadaku. Sekarang saya thimik-thimik mulai belajar alif ba ta Agama sambil menatap-natap dari jauh orang-orang yang mengabar-ngabarkan sebagai Islam.
Dan ya Tuhan…lihatlah dalam sejarah ketidakpahamanku itu kemudian kutulis pula “Doa Mencabut Kutukan”…..
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
1 Pebruari 2016