Bekal Keindonesiaan Untuk Masa Depan yang Mungkin Lebih Sulit
Rasanya memang lebih enak dan lebih maksimal daya capainya, bila kuliah umum atau studium general disampaikan dengan formula Maiyahan, ketimbang ceramah satu arah yang monoton dan mudah mengendur perhatian ketika mendengarkannya. Lagi pula ilmu tidak melulu terwakili oleh deretan kata-kata akademis yang terucapkan. Ilmu hadir melalui pengalaman empiris yang dirasakan, dan pada gilirannya akan sampai pada hati dan terpahami oleh pikiran.
Lewat Maiyahan yang dihadirkan Cak Nun, dari segi suara saja, para mahasiswa baru ini mendengarkan suara yang beragam, dari bunyi musik KiaiKanjeng maupun dari suara-suara di antara mereka sendiri. Dari jenis suasana, beberapa suasana mereka dapatkan. Demikian pula dari keragaman ilmu dasar kehidupan yang diintroduksikan Cak Nun kepada mereka. Setiap tahap berjalan menuju tahap selanjutnya yang membawa mereka pada kelengkapan dimensi.
Satu tahap yang barusan berlangsung adalah bekal kesadaran keindonesiaan. Caranya pun mudah. Cak Nun menanyakan dari mana saja para mahasiswa ini berasal. Sejumlah nama daerah disebut oleh mereka. Ada yang dari Jawa maupun luar Jawa. Begitupun dengan latar belakang agama mereka. Dua mahasiswa dari luar Jawa dan beragama Kristiani diminta maju. Di sinilah Cak Nun meminta mereka menyanyikan keagamaan mereka. KiaiKanjeng mengiriginya, dan kemudian membawakan lagu (nada dan irama) itu tetapi dengan lirik dari khasanah Islam. Beda antara lirik dengan lagu (nada dan irama) dijelaskan. Nada bersifat universal, sedangkan lirik milik satu lingkungan atau kelompok tertentu.
Intinya, Cak Nun ingin membekali mereka kesadaran utama keindonesiaan dengan pesan agar kita saling mengingatkan, menghormati, mengasihi, tak boleh anti-antian, jangan saling mengejek, dan bahwa setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk memilih keyakinannya masing-masing. Kesadaran keindonesiaan di awal juga sudah disinggung oleh Cak Nun apa makna menjadi orang Indonesia dalam hubungan dengan takdir pilihan Tuhan atas petak tanah di mana manusia dilahirkan.
Poin keindahan ini sebagaimana terlihat dalam Maiyahan berlakangan ini menjadi perhatian sangat khusus sehubungan dengan keadaan politik Indonesia hari-hari ini yang mengalami ketidakseimbangan karena ada seretan yang kuat pada penghancuran martabat, lebih dari sekadar kedaulatan, bangsa. Namun, untuk para mahasiswa baru ini, cukup yang paling dasar dulu. Setidaknya mereka diharapkan menancapkannya di dalam diri mereka. Pada titik ini pula harapan penyelenggara agar para mahasiswa UM memahami arti Indonesia melalui Ngaji bareng ini telah terpenuhi. Merekalah yang nanti akan mengisi masa depan Indonesia. Bisa dibayangkan jika tak cukup kokoh kuda-kuda pemahaman keindonesiaan mereka. Untuk hal memahami kesadaran keindonesiaan ini Cak Nun telah jauh dan komprehensif menarik dasar-dasarnya dari inti-inti agama, misalnya hubungan nasionalisme dengan manusia sebagai kbalifah Tuhan.
Kemudian setelah penanaman kesadaran keindonesiaan, melalui respons atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para mahasiswa, Cak Nun membawa mereka berkeliling memasuki jenis-jenis berpikir: linier, zigzag, spiral, dan siklikal. Makin siklikal cara berpikir seseorang, makin cerdas dia. Juga tentang tidak terjebak berpikir formal belaka, tetapi mau berpikir substansial. Tentang tiga jenis profesi: ziro’ah (cocok tanam), shina’ah (teknologi), dan tijaroh (dagang). Dan salah satu pesan utama Cak Nun ialah agar mereka, biarpun kuliah di jurusan apapun, hendaknya mereka memiliki kemampuan atau karakter dalam empat hal ini: akhlak, “militerisme” atau disiplin ketat pada diri sendiri, manajemen/akuntansi, dan IT atau teknologi informasi. Mereka harus terdepan dalam soal ini.
Semua itu Cak Nun tekankan sebab boleh masa depan yang akan mereka hadapi lebih sulit keadaannya. Karena Indonesia sedang menjadi sasaran penjajahan, penghancuran, dan pemecahbelahan, dan puncaknya adalah perampokan kekayaan alam Indonesia. Mereka harus mengolah diri agar menjadi generasi yang tangguh. Sekalipun dari view yang lain Cak Nun melihat bahwa Indonesia mustahil benar-benar bisa dihancurkan sebab ada karakter yang tak terpahami oleh mereka yang menjajah.
Kuliah umum ini diakhiri dengan segala yang bersifat Indonesia yakni melalui lagu medlei Nusantara yang dikomposisikan oleh KiaiKanjeng. Seluruh peserta berdiri mengikuti untuk mengenal dan meneguhkan titik berat keindonesiaan. Tak hanya kesadaran keindonesiaan, mereka juga sudah dibekali salah satu dasar sederhana yang jarang orang pikirkan, mengenai keislaman. “Yang ada itu Anda masuk Islam atau Islam masuk ke dalam diri Anda? Ada keadaan situasi di mana Anda masuk Islam dan situasi-situasi lain di mana Islam masuk ke dalam diri Anda,” terang Cak Nun merespons salah satu pertanyaan tadi. Para mahasiswa diajak berpikir dinamis. Dalam cara yang sama, mereka telah diantarkan untuk mengetahui letak keindonesiaan dan keislaman di dalam diri mereka. (hm/adn)