CakNun.com
Mukadimah Maiyah Dusun Ambengan edisi 15 Oktober 2016

Babad Desa

Maiyah Dusun Ambengan
Waktu baca ± 4 menit

PEKON atau tiyuh, sebutan lain dari desa yang ada Provinsi Lampung, banyak dimulai dari area hutan belantara. Di dataran yang agak tinggi, penuh vegetasi yang rapat dan pepohonan sebesar rangkulan dua orang dewasa. Di tanah yang rata, banyak tumbuh semak serta ilalang. Beberapa warga mengadu nasib, membuka alas dan mulai mengukir sejarah hidupnya. Membuat perladangan, perkebunan serta bermukim di tengah hutan belantara, ketika itu, mereka menyebutnya dengan umbul.

Orang-orang umbul itulah yang kemudian berjasa melahirkan permukiman yang sekarang sudah menjadi desa-desa padat penduduk.

Di Provinsi Lampung sendiri, sekarang nyaris sudah tidak ada hutan atau alas yang tak terjamah manusia lagi. Hampir semua hutan sudah jadi ladang atau perkebunan.

Maiyah Dusun Ambengan, 15 Oktober 2016
Maiyah Dusun Ambengan, 15 Oktober 2016

Beberapa umbulan itu, sudah menjadi kota, meski secara administratif masih terkategori desa atau dusun, ada yang sudah bermetamorfosis, berkembang sebagai ibukota kecamatan.

Sejak awal menghuni umbulan, setiap 1 Muharam, atau sering disebut juga dengan Malam Satu Suro, semua warga berkumpul di tengah jalan, di perempatan kampung menjelang maghrib. Mereka menggelar ritual yang kemudian dinamakan bersih desa atau upaya bersyukur atas panen dan keberkahan hidup yang diberikan Allah SWT, dipuncaki dengan doa serta menyantap makanan paling mewah yang dibawa sendiri-sendiri. Makanan paling mewah dan paling lezat di perdesaan. Yakni, ingkung dan tumpeng, ayam bakar yang dipadupadan, dimakan bersama nasi gurih dengan takir atau semacam mangkok berbahan daun pisang.

Umbulan itu, sudah ramai dan terkesan serba ada. Apa yang dahulu hanya ada di kota, dengan mudah ditemukan di desa.

Desa merupakan tempat, dimana kisah permukiman maupun kekuatan warganya, punya babad yang mesti digali, disusun ulang berbasis data untuk diwariskan turun-temurun agar anak-anak muda yang kemaki, bergaya sok modern, merasa anak kota dan semacamnya, tahu asal muasal dan sejarah kerasnya kehidupan para leluhur menakhlukkan ancaman binatang buas. Sulitnya mengolah tanah untuk bertahan hidup serta pahitnya cara bertahan guna mencukupi kebutuhan ekonominya.

Salah satu contoh lahirnya Desa Margototo misalnya, 1957 masuklah sekitar 175 kepala keluarga dengan total penduduk 661 jiwa. Datang dengan beberapa gelombang dan berkelompok. Areal hutan dan padang ilalang itu, harus ditakhlukkan penduduk untuk disulap menjadi permukiman dan lahan pertanian. Belukar yang ada harus dibabat, dibersihkan, sebelum ditanami berbagai jenis kayu serta palawija untuk mencukupi sandang dan pangan. Manusia yang hijrah ke umbul, seperti para muadzin zaman, belukar tak terurus bisa diubah jadi rumah-rumah, perladangan atau perkebunan yang subur makmur.

Desa Margototo, sekarang secara jelas punya luas 1.795,25 hektare. Penduduknya, berdasar data di Kecamatan Metrokibang, sudah ada 6.221 jiwa dengan 1.318 Kepala Keluarga.

Rentang waktu 59 tahun, pertambahan jumlah penduduk, perubahan alam dan padatnya permukiman, bagi generasi awal yang ikut babat alas di desa itu serasa baru kemarin terjadi. Beberapa warga yang jadi generasi awal telah mangkat sebagai kepastian firman Allah (QS:21.25);  kullu nafsin dzaiqotul maut. Setiap yang bernyawa pasti mati. Namun ada beberapa generasi awal yang masih hidup dan sudah sangat sepuh, atau keturunan mereka yang bisa secara tegas menceritakan; harimau, gajah, dan berbagai binatang buas yang akrab dilihat ketika membuka ladang atau nuansa marah ketika tanamannya dihabisi babi hutan, jelas sekali dalam ingatan. Desa-desa itu, sungai Waysekampung itu, dulu sangat sepi dan penuh berbagai kemisteriusan sekaligus mistisisme.

Pekat dan gelapnya malam, suara burung hantu serta dengus binatang buas masih terasa bagi mereka. Kini, sudah ada PLN, semua rumah punya listrik dan televisi, punya sepeda motor dan ruas jalan-jalan utamanya telah diaspal. Tidak ada lagi orang pergi ke pasar dengan berjalan kaki, dari lading memanggul karung atau pakai pikulan untuk mengangkut hasil panen.

Pangan, papan, sandang dan hiburan warga di desa-desa yang ada di Provinsi Lampung, sudah berbeda. Tidak ada lagi binatang buas yang melintas di dekat rumah atau kisah tanaman mereka dihabiskan babi hutan.

Di lokasi Rumah Hati Lampung dan tempat digelarnya Maiyah Dusun Ambengan, pada majelis Reboan yang mendedar tema, berusaha merekam jejak, napak tilas dari lahirnya umbulan yang sekarang menjadi dusun, desa yang kini jadi ibukota kecamatan, dan berikut leluhur yang namanya tetap abadi dikenang sebagai orang yang pertama kali membuka kawasan itu. Sebut saja misalnya Pak Kasdi, Pak Toiman atau Pak Kaselar. Nama-nama mereka, jadi nama umbulan yang secara administratif menjadi dusun, namun demikian, orang tetap mengenalnya sebagai Umbul Kasdi, Umbul Toiman dan atau Umbul Kaselar.

Termasuk Umbul Polisi yang menurut penuturan para tetua kampung, penghuni awalnya adalah anggota polisi. Jika begitu masuk sudah dengan rombongan, proses member nama umbul itu sudah dengan mufakat, dikaitkan dengan jenis tanaman yang ada atau asal daerah mereka. Misalnya, di Desa Margajaya ada Umbul Ringin, Umbul Mberasan, Umbul Dawung, Umbul Telu, Umbul Ampera.

Ada Umbul Selawe, Ratun, Curah di Desa Sumber Agung dan Umbul Nggoro di Desa Purbosembodo.

Desa Kibang punya Umbul Blitar, Umbul Imam, Endek, Glagah, Miri, Limo, Jambu dan Umbul Gethuk. Di Desa Margototo sendiri, punya Umbul Kasdi, Tengah, B, Toiman, Wolu, Rambung, dan Umbul Polisi.

Kecamatan Metro Kibang, Kabupaten Lampung Timur, dulu hanya bagian dari umbul dari Desa Margorejo Kecamatan Bantul, Kabupaten Lampung Tengah yang dikenal dengan Bedeng 25. Sekarang, sudah terpecah jadi tiga daerah. Yakni, Kabupaten Lampung Tengah sebagai daerah induk, Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur. Margorejo masuk di Kota Metro, Margototo masuk ke wilayah Kabupaten Lampung Timur.

Metro Kibang, bagi jamaah Maiyah Dusun Ambengan semacam magnet untuk mengenal sangkan parane dumadi, mengumpulkan silsilah atau pohon sejarah kehidupan. Bekas umbul itu, kini telah ada SPBU, punya pasar yang ramai, ada rumah toko, waralaba serba ada dengan pendingin ruangan, termasuk anak-anak mudanya, piawai dan akrab dengan gedget. Familiar dengan internet dalam genggaman serta bisa mengakses informasi apa pun, tontonan apa pun, hiburan model dan jenis apa pun. Yang pada era 90an hanya milik masyarakat perkotaan.

Momentum bulan Suro atau Muharam, ruang dan waktu para leluhur menggelar acara bersih desa, penting kiranya majelis Maiyah Dusun Ambengan mendedah esensi dari tujuan-tujuan tetua kampung. Mencari hakekat dan mengembarai riwayat yang mulai tak dikenal lagi oleh banyak generasi muda.

Majelis Ambengan adalah upaya merawat kesejatian, bukan merasa benar sendiri melainkan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari nilai-nilai kebenaran dengan tanpa tendensi atau cenderung menyalahkan liyan. Kita layak belajar ketabahan, hijrah, serta berbagai kedamaian yang ada di dusun untuk lebih membangun kesadaran akan posisi sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi.

Mari melingkar di majelis Maiyah Dusun Ambengan pada Sabtu, 15 Oktober 2016 pukul 19.00 WIB. Di Rumah Hati Lampung, Desa Margototo, Kecamatan Metro Kibang, Lampung Timur, mengurai dan membaca babad desa. Untuk menemukan jati diri serta keindonesiaan kita yang mungkin sudah banyak karena merasa modern dan jadi manusia kota, lupa kisah masa kecil atau runtutan sejarah leluhur. Bagaimana bisa mengenal Allah jika sejarah diri kita sendiri saja alpa?!

Lainnya

Mosok Dijajah Terus Ker?

Mosok Dijajah Terus Ker?

21 April 2015, dinginnya kota Malang tak mengurungkan niat dulur-dulur Maiyah Rebo legi untuk tetap berkumpul di beranda masjid An-Nur Politeknik Negeri Malang.

Nafisatul Wakhidah
Nafisatul W.

Topik