Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib?
Sepeninggal Bolot, Tonjé dan Kasdu termangu-mangu.
Sejak tinggal di Patangpuluhan dulu mereka, ratusan kasus seperti Bolot ini yang diam-diam mengganjal di hati mereka. Kalau sesekali mereka bertemu teman lain, tetangga atau siapa saja di muka bumi ini, selalu berkesimpulan bahwa Bolot itu karangan. Khayalan. Kelakar.
Kali ini pun ternyata mereka tetap termangu-mangu. Termangu-mangu itu bentuknya adalah wajah melamun. Kalau ada tamu lagi datang, pasti menuduh mereka sedang berkhayal. Mungkin merenungi diri dan nasib mereka masing-masing.
Padahal untuk apa nasib direnungi? Apa yang perlu direnungi dari nasib?
Tuhan bekerja menjalankan takdir-Nya, memproduksi nasib manusia dan apa saja ciptaan-Nya. Takdir atas angin, menghasilkan nasib angin. Pun nasib ayam, sehelai bulu, setetes embun, segundukan kecil gunung, hamparan ruang yang menggendong masyarakat galaksi, apa saja.
Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.
Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.
Ada peradaban suatu masyarakat yang menyimpulkan perasaan dan pengalamannya bahwa jarak sangat jauh antara awal ke akhir penugasan yang ini hanyalah “mampir minum”. Ada ribuan orang yang duduk bersama semalam suntuk memenuhi pikirannya dengan cinta kepada Tuhan dan Rasul-Nya sehingga terasa seperti tak ada satu jam. Dan sebagian dari mereka yang memasuki alam keTuhanan, sedikit bisa merasakan “ka-lamhin bil-bashar”, sekejapan mata.
Apa yang perlu direnungi dari nasib mampir minum sekejapan mata? Kecuali kebodohan merasakan sekejapan mata itu seakan-akan 40 hari 40 malam, karena tak mengerti apa yang harus dikerjakan oleh jiwanya dalam sekejapan mata itu.
***
Jadi Tonjé dan Kasdu termangu-mangu sama sekali tidak karena merenungi nasibnya di dunia. Tuhan sudah sejak semula menuliskannya di lembaran-lembaran kertas agung kehendak-Nya yang Ia jaga dengan amat sangat seksama.
Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.
Nasib Tonjé tidak baik. Nasib Kasdu tidak buruk. Nasib Markesot tidak gimana-gimana. Tidak ada ukuran-ukuran semacam itu. Lebih bodoh lagi adalah perbandingan nasib. Kepiting tidak merenungi nasibnya yang tak bisa terbang. Burung elang tidak menyesali nasibnya kok tidak dijadikan ayam yang disantapnya. Panas tidak mencemburui dingin. Bumi tidak dengki kepada langit. Malaikat tidak meratapi eksistensinya yang tanpa nafsu, meskipun juga tidak perlu kasihan kepada manusia yang kebanyakan di antara mereka hancur lebur hidupnya oleh nafsu.
Bahkan yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang miskin. Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang berkarier memuncak dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak perlu bodoh untuk menganggap yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain yang marginal.
Pun yang saleh alim khusyu sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama sekali dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang lain.
***
Kalau kesalehan dipentaskan sebagai sukses hidup di dunia, menjadi cacatlah kesalehan itu. Apalagi harta pangkat karier kekayaan yang dianggap pencapaian dunia, maka merosot jadi lebih rendahlah ia dibanding dunia.
Shalat khusyu bukan pencapaian dunia, melainkan tabungan akhirat. Akhlak yang baik bukan citra keduniaan, melainkan batu-bata jalanan ke sorga. Uang banyak adalah pencapaian dunia, sedangkan manfaat uang itu adalah sukses akhirat. Harta bertumpuk menjadi keberhasilan dunia atau akhirat bergantung pada pengolahan kompatibiltasnya, ke keduniaan atau ke akhirat.
Silahkan memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat Tuhan dan engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar atau kecil, mobil atau sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli pasar, hidup mapan atau gelandangan, apapun saja, asalkan engkau olah menjadi alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.
Jadi, masih heran dan tidak pahamkah kepada Bolot?
***
Maka Bolot tidak aneh. Apalagi bagi Tonjé dan Kasdu. Pengalaman Patangpuluhan mereka dulu membuat mereka terlatih menghadapi, melayani, mengatasi segala jenis manusia dan berbagai macam persoalan yang mereka bawa.
Kalau ada yang menyebut Bolot itu gelandangan yang gila, mudah-mudahan itu sekedar basa-basi bahasa yang berlaku sementara waktu di bumi, mohon jangan mendalam dan mendasar. Nanti kamu kaget disapa olehnya di kehidupan berikutnya.
“Jangankan Bolot”, kata Tonjé, “saya yang masih tampak normal ini saja kesepian di tengah tetangga dan masyarakat”
“Kenapa?”, tanya Kasdu, “karena mereka tidak paham?”
“Ya lah. Karena apa lagi kalau bukan karena itu”
“Apa mereka harus paham kamu?”
“Ya ndak harus”
“Apa masyarakat punya kewajiban untuk memahami hidupmu?”
“Ndak juga”
“Jadi?”
“Ya nggak apa-apa. Ini soal kesepian aja”
“Kenapa kesepian?”
“Karena hidup saya tidak sama dengan mereka”
“Kalau gitu ya bikin hidupmu sama dengan hidup mereka”
“Nggak mau”
“Kalau gitu jangan kesepian”
“Apa kesepian itu dilarang?”
“Nggak juga. Cuma tidak usah dikeluhkan”
“Siapa yang mengeluh”
“Lha kamu?”
“Saya cuma omong. Cuma membunyikan mulut tentang kesepian. Itu tidak berarti saya tertekan oleh kesepian. Juga tidak berarti saya menolak kesepian”
“Kalau gitu jangan diomongkan”
“Apakah mengomongkan kesepian itu salah”
“Tidak. Saya juga kesepian, tapi tidak omong”
“Kenapa tidak?”
“Sebab kalau kesepian saya omongkan, ia batal. Kalau saya keluhkan, ia najis”