Anomali Regenerasi
Tahqiq“…Mayoritas kaum muda adalah jiwa-jiwa remaja yang dihambat untuk menjadi dewasa. Mereka muqallidin, ubyang-ubyung, rubuh-rubuh gedhang, mudah kagum, sangat tidak punya kegelisahan untuk menjadi objek dan pembebek… ”
Selebihnya Seger membawa daftar tema-tema dan judul-judul yang bisa dikatakan sangat banyak dan ragam, bahkan kreatif dan eksploratif — untuk ukuran anak-anak muda seusia mereka. Hal itu sangat menggembirakan para Pakde dan Paklik.
“Mereka benar-benar anak-anak Bapak-Ibunya, tetapi mereka bukan produk pendidikan orangtuanya”, komentar Tarmihim, “mereka sungguh-sungguh generasi muda Indonesia, tetapi mereka bukan produk dari keadaan Indonesia, dalam arti bukan kontinuitas dari perilaku kebudayaan manusia Indonesia, utamanya perilaku elit dan pemimpin-pemimpinnya. Mereka, Alhamdulillah, adalah produk anomali regenerasi bangsanya. Yang secara naluri maupun pemikiran mereka berkeberatan untuk dididik oleh kakak atau bapak generasinya, karena mereka punya potensi untuk memimpin diri mereka sendiri”
Sundusin menambahkan. “Mereka adalah anak-anak muda yang santun dan punya naluri untuk senantiasa membahagiakan orangtua mereka. Tetapi mereka adalah kaum muda yang kecewa, bingung, tidak percaya kepada generasi tua, tidak nyaman dengan kepemimpinan bangsa dan Negaranya, tetapi itu hanya berlaku pada pemikiran mereka. Tidak berontak secara fisik. Mereka mempertanyakan secara sangat keras dan bahkan radikal pada soal-soal tertentu….”
“Sebenarnya tinggal selangkah lagi mereka melangkahkan kaki pemberontakan, bahkan siap secara fisik”, Brakodin juga menilai, “andaikan tidak ketemu kita, mereka sangat mungkin sudah melakukannya. Tetapi bercermin dari Mbahnya Markesot, mereka menjadi tahu bahwa hal itu belum tentu efektif. Dari berbagi latar belakang dan pertimbangan, mereka bisa menghitung bahwa andaikanpun mereka bisa bersinergi dengan entah kelompok-kelompok apa untuk — misalnya — mengambil alih kekuasaan: mereka tak bisa menjamin bahwa pelaku-pelaku kekuasaan yang menggantikannya akan tidak lebih buruk dari yang disingkirkannya….”
“Bagaimanapun mereka ini minoritas”, kata Tarmihim, “kebanyakan kaum muda Negeri ini tidaklah seperti mereka. Mayoritas kaum muda harus diakui adalah semacam buih yang kintir atau diombang-ombingkan oleh ombak dan gelombang. Diseret-seret oleh arus. Tidak punya bobot, sehingga mudah digeser, digiring, dilemparkan atau dibanting ke arah manapun. Mayoritas kaum muda adalah jiwa-jiwa remaja yang dihambat untuk menjadi dewasa. Mereka muqallidin, ubyang-ubyung, rubuh-rubuh gedhang, mudah kagum, sangat tidak punya kegelisahan untuk menjadi objek dan pembebek”
“Tidak hanya generasi muda”, sahut Ndusin, “kakak-kakak dan bapak-bapak generasi mereka juga demikian. Bahkan yang terdidik secara keagamaanpun, atau yang memiliki latar belakang filosofi dari keterdidikan budaya di keluarga mereka — sampai pada gejala zaman yang sama. Yakni membawa apapun yang ada dalam diri mereka, sampaipun Agama, ke penyesuaian terhadap tren. Mereka hidup dari tren ke tren. Merasa tidak punya harga diri kalau tidak mengikuti tren. Mereka tidak hidup kalau tidak terlibat dalam tren. Mereka beralamat di masa silam kalau tidak mengabdi kepada tren. Mereka ikut ke manapun angin berhembus. Seluruh isi pikiran, selera perasaan, kehidupan beragama mereka, diadaptasikan kepada tren yang sedang berlangsung. Nilai Agama, Kitab Suci, Nabi, Malaikat dan Tuhan, diangkut untuk dipaksa menyembah tren….”
“Untung mereka tidak perlu menjadi Markesot untuk memperoleh pengetahuan dan kesadaran tentang sifat sejarah”, Brakodin menambahkan, “mereka tidak perlu mengorbankan waktu berpuluh tahun sebagaimana Cak Sot untuk pada akhirnya terjebak, kecele, dan terperdaya oleh sifat zaman dan fakta tentang manusia. Untung anak-anak muda ini sempat mendengar cerita Mbah mereka Markesot tentang kepalsuan Reformasi dan pengalaman menyakitkan momentum 1998 dan sesudahnya”
Memang Mbah Markesot lumayan serius traumanya terhadap 1998. Dan anak-anak muda Junit Toling Jitul Seger beserta komunitas dan jaringannya beruntung pernah mendengar itu.Markesot berpikir bahwa ketika itu ia berjuang bersama kaum pembaharu yang cinta tanah air dan ingin menyelamatkan rakyat bangsa dan Negaranya dari cengkeraman kelaliman penguasa, dari korupsi, perampokan, penjambretan, pencopetan, dan penggangsiran. Ternyata yang terjadi adalah Markesot membukakan jalan bagi perampok-perampok baru yang lebih rakus, maling-maling yang lebih serakah, penjambret pencopet pengutil yang lebih ngawur dan menjijikkan. Dan Junit Toling Jitul Seger beserta teman-teman segenerasinya ini dibesarkan oleh penipuan-penipuan besar semacam itu. Dan syukur mereka tidak perlu menghabiskan waktu sampai tua seperti Markesot untuk memperoleh bahan-bahan kewaspadaan dan efektivitas perjuangan.
“Terus terang sebenarnya saya menangis bahagia dalam hati melihat anak-anak ini”, kata Brakodin, “anak-anak semuda mereka, dibimbing oleh Tuhan untuk melahirkan diri mereka sendiri pada posisi paradoksal dengan kaum tua yang mendidik mereka. Mereka sanggup menemukan pemikiran orisinal mereka, cinta tanah air dan rakyat yang mendalam, kesabaran untuk memperhitungkan masa depan, perspektif pandang yang seharusnya belum merupakan kewajaran proses bagi anak-anak seusia mereka. Mereka sudah mensedekahkan era kemudaan mereka untuk berkonsentrasi mencintai bangsanya dan menyusun pemikiran-pemikiran untuk menyelamatkan masa depan. Ketika saya seusia mereka sekian puluh tahun yang lalu, saya belum tertarik pada masalah-masalah nasional. Saya masih kuper, pengetahuan sangat lokal, perhatian terhadap masalah kebangsaan masih sangat minimal, bahkan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk kesenangan-kesenangan pribadi, hobi, romantisme individual, kecengengan, dan kekerdilan….”