CakNun.com
Daur 1119

Aneh, Bodoh atau Mabuk

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

“Sejauh saya perhatikan, ada tiga kemungkinan tentang manusia”, kata Saimon, “aneh, bodoh atau mabuk”

Markesot tidak mendengarkannya.

“Atau mungkin gabungan dari ketiga kemungkinan itu”, Saimon meneruskan, “pertama aneh, karena cenderung berlaku tidak sebagaimana dirinya. Kemudian manusia adalah makhluk yang kadar intelektualitasnya sangat tinggi, namun sangat suka menggunakan kebodohannya. Dan akhirnya memilih posisi dan situasi mabuk, mungkin karena terlalu lama tidak berhasil meneguhkan diri pada dirinya sendiri”

Markesot turun ke sungai. Mengambil air dengan tangannya, mengusapkannya pada sekeliling leher, kemudian dada, punggung dan seputaran badannya.

Simon terus nyerocos. Tampaknya ia yakin bahwa meskipun tampak tidak memperhatikan, tapi sebenarnya Markesot mendengarkannya.

“Manusia adalah makhluk kemungkinan yang dihimpit oleh dua makhluk kepastian. Yang satu hamba Tuhan yang amat setia menjalankan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan untuk menjaga keselamatan manusia. Lainnya hamba yang juga legowo untuk mengerjakan segala macam keburukan untuk menghancurkan manusia”

“Yang satu menyebarkan cahaya, lainnya mengepungkan kegelapan. Kedua jenis limpahan yang dititipkan oleh Tuhan itu mereka sebarkan dengan konsisten, tanpa jeda, tanpa mengendor, tanpa sela, sejak diciptakannya Adam hingga hari Kiamat kelak tiba. Kedua makhluk penghimpit itu sangat patuh kepada Pemerintah mereka”

“Manusia diletakkan di antara keduanya, dibekali akal dan hati, disediakan untuk mereka iman dan hidayah, serta ditugasi untuk mengelola kedua jenis limpahan itu, agar disusun secara dinamis menjadi semacam jalan atau jembatan, yang ujungnya nanti harus Tuhan itu sendiri, sebagaimana titik keberangkatannya”

“Manusia tidak diberi peluang untuk menolak cahaya, meskipun ada kemungkinan untuk mengingkari atau memunggunginya. Manusia juga tidak diberi kemampuan itu mengusir kegelapan atau apalagi menghilangkannya. Mungkin bisa menyibak atau menyingkirannya pada ruang dan waktu tertentu, tetapi tidak akan pernah sanggup melenyapkannya”

“Andaikan manusia mampu melenyapkan kegelapan, akibatnya cahaya menjadi tidak hadir sebagai cahaya. Andaikan manusia sanggup melingkupi dirinya hanya dengan cahaya, risikonya ia tidak menemukan kenikmatan cahaya, sebab hal itu memerlukan rentangan jarak yang di seberangnya adalah kegelapan”

“Cahaya adalah dan hanyalah cahaya. Ia tidak bermakna apa-apa jika sendirian sebagai cahaya. Kegelapan juga adalah dan hanyalah kegelapan. Ia bukan bahaya yang mengancam siapapun dan apapun jika ia sendirian sebagai kegelapan. Tuhan menciptakan manusia untuk mengawinkan antara cahaya dengan kegelapan dengan formula, ramuan, racikan, komposisi, aransemen dan semacam strategi yang unik”

“Keunikan itu banyak menyiksa manusia selama ia menjalani jabatan dan tugasnya sebagai manusia di alam dunia, tetapi ia akan menemukan dan mengalami indahnya keunikan itu sesudah melangkahkan kakinya ke kehidupan berikutnya yang lebih lembut, lebih luwes, lebih kristal, lebih glepung, atau bahkan lebih ‘tiada’ — jika manusia mengukurnya dari tradisi dan hukum materialisme di kehidupan jasad dunia”

“Ketika Tuhan memandu kehidupan manusia agar berjuang melangkah dari kegelapan menuju cahaya, manusia menyangka itu adalah suatu jalanan panjang di mana kegelapan ada di belakang punggung, sementara cahaya ada di depan langkah ke depannya. Padahal sesungguhnya yang manusia alami adalah putaran-putaran dan dialektika yang terus menerus di mana cahaya dan kegelapan itu seakan-akan sedang

melakukan siklus demi siklus percintaan yang tak terbatas panjang dan lamanya….”

Markesot mencuci wajahnya, kedua lengannya, mengusap-usap rambutnya, membersihkan bagian dalam dan luar telinganya, kemudian merendam kakinya.

Saimon tidak berhenti.

“Jika manusia memasuki kontinuitas percintaan panjang itu — yang berawal dari kegelapan dan yang nun di ujung sana adalah masih keremang-remangan — maka ia terlepas dari konsep kemarin, sekarang dan besok. Ia terbebas dari kesadaran materiil yang bahasa dan kata menyebutnya sebagai Dunia dan Akhirat”

“Akan tetapi kebanyakan manusia adalah pemalas kerja rohaninya. Mungkin ummat manusia sangat rajin dan tekun membangun pekerjaan-pekerjaan jasad, yang menghasilkan peradaban kemegahan, kemewahan dan kegagahan. Tapi mereka rata-rata tidak memiliki kekhusyukan yang memadai untuk mempekerjakan roh-nya, untuk mengaktivasi dimensi malakut-nya”

“Kebiasaan buruk itu membuat mereka hanya sibuk menghimpun sesuatu yang tidak berguna kecuali sesaat pada kehidupan mereka. Membuat mereka menghabiskan waktu untuk menumpuk-numpuk sesuatu yang mereka sangka kemajuan dan kejayaan, namun pasti akan meninggalkan mereka atau mereka yang meninggalkannya. Bahkan mempercepat kehancuran mereka. Memperpendek jatah waktu dan detak jantung jasad mereka”

“Sebab terhadap pengetahuan dan ilmu yang jasadiyah dan kasat mata saja mereka terlalu banyak salah sangka. Manusia adalah makhluk yang paling rendah pengertian dan kemampuannya untuk membedakan antara kemajuan dengan kemunduran, antara kejayaan dengan kehancuran, antara langit dengan bumi, antara jasmani dengan rohani, bahkan antara Dunia dengan Akhirat”

Markesot melangkah naik dari sungai ke tepiannya. Tidak langsung ke pohon di mana ia tadi bersandar. Melainkan ke tempat beberapa langkah agak di belakang pohon itu.

Saimon seperti Jin gila omong terus tanpa henti dan tanpa responden atau audiens.

“Manusia adalah makhluk yang paling dimanjakan oleh Penciptanya. Dibikin dengan derajat tertinggi. Ahsanu taqwim. Masterpiece. Dicintai oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga Syaikhona Kanzul Jannah yang mengemukakan pendapat objektif tentang manusia, dibentak dan dimarahi oleh Tuhan, kemudian diusir dan diberi jabatan baru sebagai Iblis”

“Posisi manja dan dikasihi secara istimewa itu membuat manusia jadi lemah jiwanya, sempit kreativitas akalnya, dangkal pekerjaan pikirannya, cengeng hatinya. Mudah lalai. Kurang sungguh-sungguh dalam menjalani sesuatu. Sudah belajar dan bersekolah hampir separuh waktu, tapi ujungnya selalu menganga mulutnya, galau perasaannya, dangkal dan pendek jangkauan mesin berpikirnya, kelaparan jiwanya, sehingga semakin tua semakin haus pencerahan, nasihat, tausiyah, fatwa, tuntunan, ceramah, pengajian dan semua yang sejenis dengan itu, yang sebenarnya membuat mereka makin lemah dan mudah lalai”

“Sampai akhirnya Buyut Iblis yang transaksi penugasannya berakhir di Hari Kiamat, sekarang sudah merasa cukup waktu untuk tidak perlu lagi mengupayakan godaan-godaan atau provokasi apapun kepada manusia. Bahkan akhirnya Buyut Iblis merasa amat kasihan kepada manusia. Sebab manusia sudah berhasil membangun kemampuan untuk menghancurkan nama baiknya di depan Tuhan, melebihi margin atau batas target yang Buyut Iblis dulu menggariskan….”

Lainnya

Topik