Andalan Perubahan Indonesia
Titik perbatasan antara Pemalang dan Tegal dari jalur tengah malam ini tidak seperti biasanya. Masyarakat Mereng, nama desa ini, berkumpul di satu tempat yang tak terlalu luas dan karenanya sebagian mengambil tempat di jalan tetapi tak sampai separuh badan jalan. Mereka memeringati Maulid Nabi Muhammad Saw. Bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng mereka menggelar Ngaji Bareng.
Hampir keseluruhannya adalah akar rumput Nahdhiyyin. Mereka berhimpun dengan wajah penuh pengharapan akan sesuatu yang membikin terang hidup mereka. Kebanyakan generasi muda. Anshor dan Banser turut membantu dan menuanrumahi. Sejak sore mereka sudah sibuk di lokasi, bersiap berbagai hal, termasuk menyambut kedatangan Cak Nun.
Ketika Cak Nun naik ke panggung, warga masyarakat, jamaah, anak-anak muda, bapak-bapak di desa, semuanya telah siap. Mereka sudah menanti. Sebelum masuk ke Maulid Nabi Muhammad Saw, Cak Nun menyongsong hati dan jiwa masyarakat yang sudah padat duduk bersama dengan mengungkapkan siapa mereka di dalam pandangan hati dan keyakinan Cak Nun. Mereka adalah kekasih-kekasih Allah. Mereka datang kemari tak punya kepentingan apa-apa selain mencari ridho Allah. Hanya kepada mereka Cak Nun berharap akan perubahan Indonesia dengan teori melingkar yaitu teori kekasih Allah. Allah tak sedih jika manusia kufur kepada-Nya atau tidak bertambah apapun pada-Nya dengan kita sembahyang atau beribadah kepada-Nya. Tetapi Allah akan marah jika kekasih-kekasihnya disakiti. Allah akan mengambil tindakan. Dan penjajah yang menyakiti hati mereka tak akan bisa mengalahkan. Cak Nun ajak semua jamaah melihat janji Allah pada surat al-Maidah ayat 54.
Cak Nun merasakan wajah-wajah di depannya memancarkan rasa kangen. Beliau katakan, kangen itu sebaik-baik keadaan hati, tetapi haruslah kangen itu kepada sesuatu yang bisa mengantarkan kepada kesejatian dan Allah. Teruslah bekerja mengerjakan dunia, dan tetap bergantung hanya kepada Allah. Wa ila robbika farghob. Cak Nun meneguhkan hati mereka dengan sedikit menjelaskan ayat-ayat dalam suray al-Insyirah.
Naik ke panggung ini, Cak Nun ditemani beberapa kyai setempat dan Muspika. Termasuk dua bapak dari koramil. Yang satu mengenakan peci. Yang satunnya mengenakan peci putih dan menyalami Cak Nun seraya mencium tangan beliau layaknya santri kepada kyai. Di antara jamaah itu, peci-peci Maiyah bertebaran. Cak Nun memuji bahwa masyarakat Pemalang dan sekitarnya adalah ahli-ahli shina’ah (mengolah, membuat, mengkreasi). Rajin-rajin dan rapi-rapi seperti Cak Nun lihat di sebuah warung makan yang beliau sempat mampir sejenak di Pemalang sebelum masuk ke lokasi.
Untuk memulai Ngaji Bareng ini, Cak Nun mempersilakan KiaiKanjeng membuka dengan Pambuko I dan disambung dengan lagu Syi’ir Tanpo Waton yang sudah populer bagi mereka sebagai warga Nahdhiyyin. Hujan rintik yang sudah turun sejak sore tadi menemani mereka, dan Cak Nun sudah mengecek bagaimana sikap mereka terhadap hujan. Belum lama Cak Nun memulai, tetapi suasana kedekatan batin telah menguat. “Aku ora kuat yen ora ono kowe, kowe yo ora kuat yen ora ono aku,” terang Cak Nun secara psikologis ihwal mengapa panggung KiaiKanjeng itu rendah dan tak ada pembatas dengan jamaah laiknya panggung pertunjukan. Yaitu, agar satu sama lain saling bisa mentransfer energi. Selain bahwa dengan kondisi muwajahah langsung tanpa pagar penjarak itu, siapapun saling belajar bertanggung jawab. (hm/adn)