Allah Yang Maha Materi
Ta’qid“Bagi yang mau lurus, luruslah. Bagi yang mau miring, miringlah. Yang mau khatulistiwa, khatulistiwalah. Yang mau kutub. Kutublah. Yang pengin presisi, presisilah. Yang ingin bias, membiaslah. Yang berdiri mustaqim, mustaqimlah. Yang berdiri dhollin, dollin-lah...”
“Terutama ketidakseimbangan berpikir yang sudah berlangsung merata pada kebanyakan ummat manusia. Kemiringan atau keterjungkiran berpikir, yang sudah terlanjur berlaku global internasional”
Markesot menambah pecah kepala mereka lagi.
“Dan itu melahirkan ketidakseimbangan terhadap keseluruhan kehidupan mereka. Ketidakseimbangan ideologi. Ketidakseimbangan pembangunan. Ketidakseimbangan kebudayaan. Bahkan ketidakseimbangan pola pandang mereka terhadap kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka”
“Tidak berkembangnya pandangan manusia terhadap ruang dan waktu, dunia dan akhirat, kemarin, sekarang dan esok. Kegamangan manusia untuk memahami alurkah atau sikluskah persambungan antara masa silam, kekinian, dan masa datang. Kesadaran manusia yang semakin terpecah-pecah, terkeping-keping, bertebaran dan terlempar jauh ke halusinasi masa silam atau tercampak nun ke khayalan masa depan, seakan-akan dengan itu mereka bisa berpijak pada kekinian”
“Waktu bergulir, tapi kesadaran mereka mandeg. Waktu mengalir, tapi pemahaman mereka berhenti. Waktu mengerjakan dinamika gerak kehidupan, tapi manusia duduk tenang dan bersandar pada kebekuan yang statis. Ilmu dan pengetahuan yang manusia menyangkanya sedang berkembang pesat, tidak membuat mereka mampu menggambar garis waktu. Luruskah atau lengkung. Datarkah atau bulat. Manusia tidak pernah benar-benar peduli pada nasibnya. Tidak menghitung secara mendasar pijakan riilnya untuk bergembira atau untuk berduka”
“Manusia tidak benar-benar punya perhatian terhadap dirinya sendiri. Karena seluruh potensi dirinya ditumpahkan untuk memperjuangkan, mencari, meraih, dan menyembah benda-benda di luar dirinya. Kalaupun ada yang tersisa dari dirinya, itu hanya berupa kepentingan dan keserakahan untuk memiliki benda-benda dari luar dirinya itu. Manusia menyimpan, memajang, dan menumpuk benda-benda keduniaan itu, serta memamerkan kepada orang lain, dan yang utama: memamerkan kepada dirinya sendiri”
“Manusia menyingkirkan dirinya sendiri. Manusia menyisihkan, meminggirkan, memarjinalisasikan dirinya sendiri. Manusia mensekunderkan dirinya sendiri dan memprimerkan benda-benda dunia. Manusia abad 20-21 bukan makhluk-makhluk egosentris. Mereka bukan menyembah egonya atau memusatkan seluruh sistem nilai kehidupan pada egonya. Tidak. Mereka menyembah benda. Mereka mengabdi kepada dunia. Mereka berserah diri kepada materialisme. Konsep akhirat pun diterima tapi dengan pemahaman materialisme. Sorga dicita-citakan dengan konsep materiil, dipercaya sebagai suatu tempat yang lebih mewah secara materialistik, sehingga diidam-idamkan. Allah pun dipandang sebagai Maha Materi.”
“Jangan terlalu memimpikan manusia akan pernah sungguh-sungguh menomorsatukan Tuhan, karena dirinya sendiri pun ia nomorduakan. Penyatuan atau proses tauhid yang mereka lakukan tidak kepada Tuhan atau perjuangan untuk menemukan diri sejati mereka. Melainkan kepada dunia, benda-benda, dan khayalan-khayalan tentang sukses dan kejayaan”
“Titik berat kehidupan manusia tidak pada satu-satunya titik berat yang sudah disiapkan oleh Pencipta kehidupan dengan aturan alamnya. Manusia menciptakan titik berat-titik beratnya sendiri-sendiri berdasarkan kepentingannya, obsesinya, ambisinya, halusinasinya, persangkaan dan klaim-klaimnya atas apa yang mereka sangka keberhasilan dalam kehidupan. Manusia berpijak pada titik berat kepentingannya masing-masing. Dan untuk itu mereka siap bergesekan, bertabrakan, bersaing, saling menyingkirkan, saling menggulingkan, kalau perlu saling memusnahkan”
“Tatkala manusia merenungi, mempelajari, meneliti dan merumuskan sains, ilmu pengetahuan kealaman dan kesemestaan: mereka tidak punya kemungkinan kecuali patuh kepada aturan alam yang disyariatkan oleh Penciptanya. Bahkan sampai tahap teknologi, pendirian bangunan-bangunan, di darat maupun laut, di dataran tanah maupun di kemiringan pegunungan: mereka tidak punya kemungkinan lain kecuali taat kepada aturan alam yang dipatenkan oleh Pencipta alam dan manusia”
“Akan tetapi begitu mereka membangun kebudayaan, melaksanakan moralitas, menata mentalitas, menyusun ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, menderet pasal-pasal hukum, mengelola politik kesejahteraan bersama atau kesejahteraan sebagian di antara mereka — di situlah ranah di mana Allah membukakan pintu demokrasi. Manusia dipersilakan memilih: faman sya`a falyu`min, waman sya`a falyakfur. Bagi yang mau lurus, luruslah. Bagi yang mau miring, miringlah. Yang mau khatulistiwa, khatulistiwalah. Yang mau kutub. Kutublah. Yang pengin presisi, presisilah. Yang ingin bias, membiaslah. Yang berdiri mustaqim, mustaqimlah. Yang berdiri dhollin, dollin-lah. Yang rindu mun’im, mun’im-lah. Yang berani maghdlub, maghdlub-lah.”
“Yang sadar ilaiHi roji’un, roji’un-lah. Yang tidak, demi segala tingkat ilmu, yang terendah hingga yang tertinggi, demi segala pengetahuan, yang tersempit hingga yang luas tak terhingga: itu tak ada tempatnya. Dengan segala ketidakenakan, itulah yang dimaksud Neraka. Dari Dunia hanya ada dua hilir: Sorga atau Neraka. Tidak ada opsi ketiga”.
“Manusia tidak pernah sungguh-sungguh mau tahu di mana mereka berada, dari mana mereka berasal, dan akan sampai di mana mereka menuju. Mereka hanya menghitung uang dan harta kekayaan, tanpa merasa butuh menghitung posisi nasib mereka di koordinat mana dalam ketersediaan ruang dan waktu yang diakomodasikan oleh Yang Maha Berkuasa atas hidup mereka….”
Tarmihim menghela napas panjang. Sundusin menyandarkan punggungnya ke tembok.
“Waduh…. Sapu jagat…”, gumamnya.