Rizki Garis Lurus dan Rizki Putaran
Jalanan menuju area Festival Gerhana Matahari di kawasan Pantai Terentang Koba Bangka Tengah cukup padat sejak sore tadi. Masyarakat berbondong-bondong menuju area lapang di seberang taman pantai untuk mengikuti rangkaian acara Festival GMT. Malam hari ini masyarakat ke tempat ini untuk bersama-sama mengikuti persembahan Cak Nun dan KiaiKanjeng, yang kehadirannya malam ini sudah dimohonkan sejak setahun lalu.
Angin pantai cukup semilir kencang menghembus ke badan. Ribuan orang sudah memenuhi tempat duduk yang telah disediakan. Jajaran SKPD Kabupaten Bangka Tengah juga sudah duduk di kursi bagian depan. Semuanya sudah menunggu munculnya Cak Nun dan KiaiKanjeng di hadapan mereka semua.
Acara terkonsep secara efektif. Selepas satu-satunya sambutan oleh ketua DPRD Bangka Tengah, Algafri Rahman, pemandu rendah hati dan mantap segera mengajak seluruh hadirin menyambut persembahan Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Para personel KiaiKanjeng yang mengenakan busana hitam-hitam satu persatu naik ke panggung. Setelah semua menempati posisi masing-masing, menyusul Cak Nun melangkah menuju ke depan di antara vokalis dan bertatap-wajah langsung dengan para hadirin.
Tidak seperti biasanya. Kali ini musik tidak berbunyi terlebih dahulu. Karena Cak Nun terlebih dahulu mengantarkan butiran-butiran wawasan yang semoga dipetik sebagai ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat yang sedang akan menyambut, menikmati, dan mensyukuri Gerhana Matahari Total esok pagi.
“Gerhana matahari adalah peristiwa di mana matahari ditutupi oleh bulan. Dan ini, baru beberapa menit lalu saya sadar, bahwa yang disebut adalah yang ditutupi (obyeknya) bukan subyeknya. Ini agak unik, seakan mengisyaratkan bahwa yang disebut dan dicintai oleh Allah adalah mereka yang tertindas. Seperti pesan Nabi, kun madhluman wala takun dhooliman (jadilah orang yang teraniaya dan jangan jadi orang yang menganiaya),” papar Cak Nun mengantarkan salah satu kemungkinan menafsirkan fenomena gerhana matahari total. Sebuah peristiwa alam yang di tempat yang sama hanya akan berlangsung 350 tahun sekali, dan di tempat-tempat berbeda 31 tahun sekali.
Seperti disampaikan pemandu acara, yang bersama-sama dengan apa yang sedang dilakukan ini adalah rasa syukur kepada Allah. Itulah sebabnya Cak Nun kemudian memaparkan filsafat di dalam Pancasila dengan metodologi pemahaman yang belum pernah diungkapkan oleh ilmu politik baku hingga saat ini. Bahwa goal yang dicita-citakan oleh didirikannya sebuah negara adalah kesejahteraan dan keadilan sosial seperti terumuskan pada sila kelima Pancasila.
Struktur pemahaman yang disampaikan Cak Nun mengenai Pancasila adalah bahwa tidak tercapainya sila kelima (sila terakhir/sila tujuan) tersebut pasti disebabkan tidak beresnya subjek yang menyangga atau melaksanakan sila keempat yaitu lembaga-lembaga negara yang seharusnya bertugas untuk bermusyawarah, bermufakat, dan berkebijaksanaan. Begitu pula kegagalan sila keempat disebabkan oleh kegagalan subjek penyangga dan pelaksana sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sementara itu, tidak terwujudnya persatuan Indonesia disebabkan oleh penyangga sila kedua yaitu para pendidik yang bertugas utama mentransformasikan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab melalui pendidikan dan pemberadaban. Dan akhirnya, kegagalan penyangga sila kedua ini boleh jadi disebabkan oleh melencengnya sikap kepada Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam kaitannya dengan tujuan membangun negara.
Tahap awal ini, Cak Nun mencoba memaksimalkan muatan-muatan sikap dan pemikiran terlebih dahulu. Hadirin pun semuanya konsentrasi menyimak poin-poin yang disampaikannya. Melanjutkan pemaknaan gerhana matahari total, Cak Nun menjelaskan, “Gerhana matahari adalah peristiwa garis. Yakni garis matahari-bulan-bumi. Sementara peristiwa lain adalah berputar atau melingkar. Ringkasnya, ada garis lurus (linier) dan ada melingkar. Ada perdagangan linier seperti umumnya dipraktikkan dan diyakini. Perdagangan yang melingkar contoh sikapnya misalnya mungkin kita rugi kali ini karena memberi harga sangat murah karena ingin menolong seseorang, tapi kita yakin nanti Allah melipatgandakan keuntungan atau barokah justru dari langkah rugi tadi. Itulah melingkar. Bersyukur adalah juga bentuk melingkar. Intinya adalah bergerak ke Allah dulu, baru nanti Allah akan mengaturnya dengan perhitungan yang tak kita sangka-sangka.”
Setelah tiga poin utama Cak Nun sampaikan dengan harapan dapat menjadi ilmu dan pemahaman bersama, kini saatnya Cak Nun mengajak seluruh hadirin memasuki semesta yang lebih batiniah. Bersama-sama mereka diajak melantunkan surat al-Fatihah. Musik gamelan KiaiKanjeng pun kemudian berbunyi melalui nomor Pambuko dengan suluk yang langsung dikumandangkan oleh Cak Nun. Semua mata dan telinga menyimak, mendengarkan, dan menyerap. Bunyi musik yang mungkin baru kali ini mereka dengarkan secara langsung.
Serangkai dengan Pambuko, hadirin diajak untuk kembali menyadari dan meneguhkan diri akan rahmat dan anugerah Allah melalui lagu Syukur. Lebih menukik lagi, Cak Nun memuncakinya dengan melantunkan ayat Al-Quran surat Ali Imron 190 yang mengingatkan kita akan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang bagi orang-orang yang berpikir.
Transisi dari suasana awal ini, Cak Nun melangkah lebih cair dan lebih masuk ke atmosfer kebersamaan. Area depan panggung yang masih kosong dipersilakan kepada hadirin untuk mengisinya, dan juga para tokoh masyarakat yang hadir diajak naik untuk bersama-sama berdialog, berdiskusi, dan mengolah ilmu. Bakcground budaya masyarakat Bangka tentu berbeda dengan masyarakat Jawa Timur misalnya yang sudah jauh lebih akrab dengan formula Maiyahan, tetapi secara substansial mereka tetap sungguh-sungguh mengikuti persembahan ilmu dan musik KiaiKanjeng. Yang duduk dari paling ujung depan hingga belakang, dari samping kanan hingga kiri, bahkan juga yang berdiri, semua tak terlihat sedikit pun asik sendiri atau berisik, melainkan perhatian ke depan. Menyerap dan menikmati pertemuan istimewa bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Nomor KiaiKanjeng bertajuk Hati Matahari dilantunkan dengan bagus oleh Ibu Novia Kolopaking. Sebuah nomor yang sangat berkaitan dengan pemaknaan akan simbolisme gerhana matahari. Pemaknaan yang mendasar pula disampaikan oleh Cak Nun. Bahwa alam, baik itu matahari, bulan, atau apapun, sebenarnya tidak pernah salah. Sebab manusialah yang mungkin salah atau benar. Manusialah yang mungkin salah dalam menyikapi atau memaknai peristiwa alam. Misalnya mau dibawa kemana gerhana matahari ini: apakah dijadikan peristiwa pariwisata belaka atau dihayati dalam hubungannya dengan Allah. Itu semua berpulang kepada manusia itu sendiri.
Selain itu, matahari juga bisa merupakan lambang rahmat Allah, sedangkan bulan adalah lambang pemerintah. Maka pemerintah perlu disorong agar tidak menghalangi cahaya rahmat itu sampai ke bumi. Suatu pemahaman yang diungkapkan Cak Nun hampir dua puluh tahun lalu melalui Album Menyorong Rembulan.
Malam ini sejumlah nomor lagu dipersembahkan KiaiKanjeng untuk masyarakat Bangka seperti An-Nabi, Keluarga Cemara, One More Night Maroon 5, Beban Kasih Asmara, Laksmana Raja Di Laut, Ahluz Ziman, Kalimah, dan Sebelum Cahaya. Semua dalam sentuhan musikalitas kreatif KiaiKanjeng. Bergiliran dengan lagu-lagu itu Cak Nun tetap membawa hadirin untuk tetap sedalam atau sekaya mungkin meraih pemaknaan dari peristiwa gerhana matahari. Bahkan dari situ Cak Nun menarik sampai ke konteks kepemimpinan nasional Indonesia yang sejatinya harus bermuatan kepemimpinan dunia oleh Indonesia dengan karakter yang sama sekali berbeda dengan kekuasaan di tangan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks keummatan, Cak Nun juga menyentuhkannya pada kesadaran bahwa selama ini kita masih berada dalam kekuasaan matahari (masehi) dan belum mampu menegakkan kesejatian bulan (Hijriyah) yang menjadi salah satu esensi dasar dalam ajaran Islam melalui perjuangan peradaban yang dilakukan oleh Rasulullah.
“Ada musik. Ada pepatah atau ungkapan-ungkapan dari Cak Nun. Dan itu membuat kami menyelami kedalamannya. Saya baru kali pertama menyaksikan langsung Cak Nun dan KiaiKanjeng. Kalau memakai istilah dari kawan-kawan politik, apa yang disampaikan Cak Nun itu namanya ngeri-ngeri sedap. Bagi orang-orang tertentu, itu mungkin pedas. Tapi bagi saya apa yang dituturkan beliau benar-benar untuk memperbaiki kita semua. Saya mengutip dari Cak Nun, melalui dunia maya, bahwa kalau kita melakukan kebaikan, jangan berharap kebaikan yang sama berbalik ke kita. Kalau kita shalat, jangan mengharap yang lebih. Sebab urusan kita sesungguhnya dengan Allah. Malam ini, saya merasa dan yakin bahwa apa yang disampaikan Cak Nun adalah benar-benar dari Allah….,” tutur Pak Algafri Rahman dengan penuh rendah hati sewaktu diminta Cak Nun memberi tanggapan atas apa yang sudah berlangsung sampai menjelang pukul 23.30.
“Saya bersyukur Anda semua memiliki wakil seperti beliau. Dari cara berfikir dan sikapnya, beliau sama sekali jauh dari sekuler. Mengenai ngeri-ngeri sedap tadi, sebenarnya ngeri-nya saya kan lebih banyak pada masa Orde Baru. Pasca Orde Baru, saya lebih banyak memberikan sedap. Jadi, yang saya sampaikan tadi belum ada apa-apanya dibanding dulu. Sebab saya juga tidak ingin menjadi apa-apa, tak ingin mengganggu siapapun. Kalaulah ada yang saya inginkan hanyalah kita pernah mengalami kita punya pemimpin yang berani bergantung kepada Allah,” kata Cak Nun menanggapi apa yang disampaikan Ketua DPRD Bangka Tengah tadi.
Memasuki pukul 00.00, Cak Nun mengajak semuanya berdiri, meneguhkan kembali kesadaraan keindonesiaan. Bahwa menjadi orang Bangka berarti meletakkan Indonesia di dalam jiwanya, yang itu berarti pula orang Bangka ingin orang Jawa, orang Sulawesi, orang Kalimantan, dan suku-suku lain di Indonesia berada di dalam jiwa mereka. Peneguhan yang diungkapkan melalui nomor cross-composition KiaiKanjeng berisi lagu-lagu dari berbagai daerah. Usai lagu ini, doa bersama dipimpin oleh Haji Bandi, salah seorang tokoh masyarakat Bangka Tengah.
Acara berakhir. Hadirin kembali ke tempat masing-masing, atau sebagian ada yang tetap bertahan di sini sampai esok pagi, dengan membawa pemahaman yang multisisi atas peritiwa gerhana matahari. Saat KiaiKanjeng meninggalkan lokasi, jalanan cukup padat, begitu pun dari arah berbeda. Mobil-mobil bergerak padat menuju Pantai Terentang. Mereka datang untuk menikmati menyaksikan gerhana matahari total. Satu hal yang telah dilakukan Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah menyuguhkan ilmu dan pemahaman. Sesuatu yang boleh jadi adalah cara sunyi di tengah cara-cara keramaian-keramaian manusia dan zaman.