Akik Fosil Tlethong
Ketika Markesot bergeser dari jalur rel menuju ke gerbang rongsok, ada gelas plastik berisi kopi panas melayang mendatanginya. Mendekat ke arah mulutnya. Markesot mengambil dan memegangnya sambil tertawa kecil.
“Masih saja anak-anak ini hobi sulapan”, gumamnya.
Bermacam-macam cara makhluk Tuhan bersapa dan membangun kemesraan. Di komunitas kaum filosof lain pernah Markesot datang disuguhi gethuk dan dipersilakan, “Silakan dimakan Cak Sot, yang berwarna merah itu yang paling enak”
Markesot mengambil yang merah, tapi sebelum dimasukkan ke mulutnya, salah seorang filosof bilang, “Yang merah Cak, kok ambilnya yang hijau….”
Ternyata yang di tangan Markesot memang gethuk hijau. Dan Markesot langsung memasukkannya ke mulut dan memakannya. Sebab kalau dia tukar lagi, nanti disulap lagi warnanya: “Lho kok ambil yang kuning…lho kok malah makan yang coklat….”
Begitulah cinta dan kasih sayang.
Saat lain ketika Markesot datang menyapa hamba-hamba Tuhan di Wesel-16, seorang sahabat mempersilakan Markesot mandi-mandi. Padahal mandi bukanlah tradisi primer mereka maupun Markesot sendiri. Tapi untuk menghormati tawaran itu Markesot pun melangkah ke kamar mandi.
Memang ada kamar mandi, semacam kamar mandi, di belakang salah satu gubug darurat mereka. Tapi tidak ada air di baknya. Markesot balik ke kerumunan para filosof dan bilang tidak ada air.
“Jangan ngaco, Cak Sot”, kata salah seorang, “bak kamar mandi kita selalu penuh air. Kita bukan kaum gelandangan. Kita masyarakat berkelas”
Ketika Markesot kembali ke kamar mandi, ternyata memang airnya penuh. Markesot menyiapkan diri untuk benar-benar mandi, demi silaturahmi. Tapi begitu pakaiannya dilepas dan Markesot mengambil gayung, tiba-tiba baknya kosong lagi.
Markesot ingat pernyataan Tuhan: “Dan sekiranya ada suatu bacaan, yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, tentu AlQuran lah ia…. Sesungguhnya segala urusan adalah kepunyaan Allah”
Kalimat kuasa Tuhan berlaku tidak hanya di masjid-masjid, rumah-rumah ibadah dan tempat-tempat lain yang merupakan satu-satunya wilayah yang dipahami oleh orang banyak sebagai tempat suci. Kesucian Tuhan berlaku di mana saja dan kapan saja Ia mau. Jangankan sekadar gethuk merah hijau, gelas melayang atau air pasang surut di bak kamar mandi. Gunung raksasa pun diguncang dan orang mati berorasi.
***
Markesot menghirup kopi di gelas plastik itu sambil melangkah ke gerbong rongsok. Ada gemeremang di dalam. Sejumlah orang, kebanyakan perempuan, mengerubungi seseorang.
Masyarakat umum menyebut perempuan-perempuan itu pelacur jalanan, sampah masyarakat, sekarang ditambahi gelarnya: diadzab Allah, calon penghuni neraka.
Sungguh bodoh para pemberi gelar itu. Sepelacur-pelacur mereka ini mereka hanya melacurkan seonggok benda kecil titipan Tuhan, bukan melacurkan harta benda tanah air, martabat bangsa dan harga diri rakyat.
Produser sampah memang masyarakat. Mereka mengutuk sampahnya, padahal itu produk mereka sendiri. Yang memproduksi sampah lebih hina dari sampah, sebab mereka pabriknya.
Tuhan Maha Suci dan tak akan tak pernah menciptakan sampah. Orang-orang yang mendalami ilmu dan mengembarai hamparan pengetahuan, oleh Allah diberi kalimat “Robbana ma kholaqta hadza bathila”, wahai Tuhan sungguh tak sia-sia Engkau ciptakan semua ini.
Tlethong lembu pun bukan sampah. Apa saja bukan sampah. Para penggede di antara manusia membeli akik fosil tlethong sangat mahal. Semua yang disampahkan oleh manusia, diawetkan oleh Tuhan diproses menjadi mutiara, berlian, intan, batu mulia.
Kekasih yang paling dicintai oleh Tuhan digelari oleh para filosof dan pemakrifat kehidupan sebagai “Yaqut”. Dan semua yang bukan kekasih utama Tuhan berendah hati mengucapkan “wa nahna jami’an kal-hajar”, dan kita semua adalah batu-batu biasa.
Diadzab Allah? Siapa nama Ustadz Syekh Kiai Ulama Mursyid yang menjabat sebagai Menteri Humas-nya Allah? Sekjen Akhirat? Kepala Takmir Neraka, yang memegang daftar calon-calon penghuninya? Atau siapa nama keponakan Tuhan, nak-ndulur Tuhan, atau mungkin besan-nya Tuhan, sehingga mulutnya membunyikan kalimat yang seharusnya hanya diucapkan oleh Tuhan?
Tahu apa mereka tentang neraka dan sorga. Tentang sorga yang neraka dan neraka yang sorga. Tentang seolah sorga padahal neraka, seakan neraka padahal sorga. Tentang sorga yang diinformasikan sebagai neraka, dan neraka yang diiming-imingkan sebagai sorga. Tentang sorga dunia yang menjelma neraka, tentang neraka dunia yang diolah menjadi sorga.
***
Markesot tahu jenis apa atau biasanya siapa yang dikerubungi seperti itu. Banyak orang datang untuk minta pesugihan, ingin sawab supaya kaya. Banyak pejabat datang ingin kamukten, maksudnya supaya lancar naik pangkat dan tambah kekayaan.
Tapi mereka rata-rata ditolak. Yang diterima adalah yang disebut pelacur-pelacur jalanan. Siapa manusia di muka bumi yang berani-berani meletakkan kesimpulan di dalam pikiran bahwa ada perempuan yang menginginkan dan berjuang untuk menjadi pelacur? Apalagi bercita-cita menjadi pelacur jalanan?
Kalau ada makhluk Tuhan yang berpikiran demikian, mari berdoa agar kita dipertemukan dengannya di bulak jalan, atau di manapun yang sepi, yang tidak banyak orang. Kita ketemu dia dan kita tampar mukanya. Kalau perlu kita ludahi wajahnya.
Hati Markesot selalu tergeriap kalau melihat para pelacur jalanan. Jaga agar masyarakat terus menyebut mereka pelacur jalanan, agar rahasia kemuliaan mereka terjaga di depan Tuhan.
Di semua khazanah Agama maupun ‘Agama’ pelacur jalanan selalu menjadi simbol ekstrem dari pengampunan Tuhan. Karena mengalah kepada anjing, memberikan minumannya pada kondisi ia di puncak kehausan, Tuhan mengampuni kesalahannya dan kontan mensorgakannya.
Pun anjingnya. Puntadewa berdarah putih si Raja agung Amarta tidak bisa meneruskan perjalanan vertikalnya melampaui langit keenam. Anjingnya yang melenggang ke langit tertinggi. Anjing dan pelacur selalu berjodoh. Dua kata paling dihinakan oleh ummat manusia justru menjadi dimensi paling sakral pada amsal-amsal yang diturunkan oleh Tuhan.
***
Markesot terkejut setengah mati ketika akhirnya melihat siapa yang dikerubungi oleh para pelacur itu. Hampir spontan ia berlari menghambur mendatanginya. Tapi Markesot menahan diri.
Setelah situasi mereda dan memungkinkan, Markesot tidak tahan untuk menyapa: “Lho, Sampeyan kok ada di sini? “
Orang di pojok itu kaget oleh suara Markesot. “Lha di mana kalau tidak di sini?”, sahutnya.
“Kan sejak 41 tahun yang lalu Sampeyan sudah tidak di sini”
“Ah Sampeyan ini. Yang namanya ada ya di sini. Kalau di sana belum tentu ada”
“Maksud saya Sampeyan kan sudah mutasi”
“Mutasi bagaimana”
“Dipindah-tugaskan”
Orang itu tiba-tiba marah. “Kamu ini buka-buka rahasia. Dasar intel kampung. Pergi sana, sana, semua pergi!”
Orang itu mengusir semua yang tadi mengerubunginya. Semua yang ada di gerbong rongsok keluar ruangan, kecuali dia dan Markesot.
“Maaf ya, maaf ya….”, kata Markesot sambil mengantarkan mereka turun dari gerbong.
Ketika kemudian Markesot membalikkan badan untuk kembali ke orang itu, ia sudah tidak ada.
Markesot tentu saja tidak kaget atau heran. “Beginilah kalau urusan sama akik fosil tlethong….”