Abu Sittin yang Al Mutahaabbiina Fillah
Setelah sehari jeda dari rangkaian Rihlah Cammanallah di Mandar Sulbar, siang kemarin Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah berada di Magelang untuk ngombyongi dan mangayubagyo Reuni Alumni Pondok Pesantren Gontor, yang mereka menyebutnya Abu Sittin. Cak Fuad sendiri sebagai senior mereka dan turut memandu persiapan reuni ini justru tak bisa hadir karena harus berada di Riyadh, Saudi Arabia sebagai Dewan Pembina majelis Umana’ King Abdullah bin Abdul Aziz International Center for Arabic Language, salah satunya untuk bertemu dengan Menteri Pendidikan Saudi Arabia Dr. Ahmad Al-Issa yang baru menjabat lima bulan ini.
Reuni dengan tema “Silaturohim dan Temu kangen Alumni Abu Sittin” ini dihelat di Hotel Trio, Magelang yang dihadiri sekitar 135 orang. Mereka adalah angkatan ’65-an dari Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, telah tiba sehari sebelumnya. Sudah jauh-jauh hari Cak Nun, sebagai “alumni” Gontor, dan KiaiKanjeng dijadwalkan hadir sebagai bentuk ta`dhim kepada marja’ Maiyah, salah satu Dzat Maiyah, Cak Fuad.
Rombongan Cak Nun dan Progress dari Kadipiro dengan menggunakan minibus berwarna hitam, setibanya di lokasi langsung disambut hangat Bapak Muzammil Basuni (adik mantan menteri agama Maftuch Basuni) dan beberapa sesepuh panitia yang sudah menunggu di lobi hotel. Sementara bapak-bapak KiaiKanjeng sudah berada sejak pagi di sekitar aula. Juga kru yang sudah berangkat sebelum subuh dari Kadipiro untuk menata peralatan KiaiKanjeng.
Sambil berjalan menuju aula yang terletak di bagian belakang, setelah sebelumnya sarapan di lantai atas lobi, mereka bertukar cerita saling mengingat masa-masa seru ketika itu. Yang jelas, sangat tampak kegembiraan di antara mereka. Tawa canda langsung mewarnai pertemuan di sepanjang jalan menuju aula hotel itu. Wajah kerinduan yang sangat dalam di antara mereka, saling melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa. Satu persatu memeluk dan merangkul Cak Nun. Beberapa dari mereka adalah teman-teman seangkatan dan sepermainan di Gontor.
Al Mutahaabbiina Fillah
“Kita tidak tahu apa yang akan disampaikan Cak Nun. Tapi kita yakin bahwa Cak Nun tetap orang Gontor seperti kita, hatinya bersih. Maka yang nanti disampaikan pasti jernih dan membawa kebaikan bagi kita semua”, demikian Bapak Muntholib Sukandar, ketua “Suku” Abu Sittin menyambut kehadiran Cak Nun di tengah hadirin. Dan beliau menambahkan, bahwa gelaran CNKK kali ini adalah shodaqoh wujud cinta Cak Nun kepada Abu Sittin. Bagi Bapak Muntholib dan banyak hadirin juga, ini adalah kali pertama mereka menyaksikan langsung pergelaran CNKK.
Dalam prakata sebelum acara, Habib Chirzin menyampaikan bahwa Abu Sittin ini contoh keteladanan, ketekunan dan kesetiaan. Terutama Cak Fuad dan beberapa panitia yang hingga tiga kali ke Magelang sebagai persiapan, untuk memastikan bahwa acara ini benar-benar berlangsung dengan baik. Disampaikan juga bahwa acara ini sudah terselenggara untuk kesekian kalinya. Tahun 2005 di Jakarta, dan tahun 2013 lalu di Batu Malang. Rencananya, Alumni Abu Sittin akan hadir dalam acara 90 Tahun Pondok Gontor pada bulan Agustus-September mendatang.
Cak Nun yang sudah berada di antara hadirin, sementara panitia masih melanjutkan sedikit laporan-laporan terkait acara. Beliau sabar menyimak, sementara para hadirin tampak berseri-seri memandang wajah Cak Nun. Dengan lesehan, bapak-bapak memenuhi deretan depan, sementara ibu-ibu, para istri Abu Sittin, duduk di belakang mereka.
Tiba giliran Cak Nun menyapa semua hadirin, dengan kelakar menyampaikan ingin membuka pertemuan ini dengan gaya muhadloroh seperti di Gontor dulu. “Assalamu’alaikum Ya Ayyuhal Mutahaabbiina Fillah.” Istilah “Al Mutahaabbiina Fillah” ini, Cak Nun menerangkan berasal dari Cak Fuad. Yaitu orang-orang yang bercinta tidak karena apa-apa kecuali karena Allah. Maka pada kesempatan itu, KH. Hasan Abdullah Sahal yang juga hadir, didaulat menjadi “Imamul Mutahaabbiina Fillah” karena semua wujud interaksi beliau kepada semua orang, baik santri dan sahabat-sahabatnya, adalah cinta.
Cak Nun melanjutkan, “Bahwa kelak, menurut Rasulullah, yang pertama kali masuk sorga dan dengan wajah bercahaya adalah Al Mutahaabbiina Fillah, yakni yang bersaudara meski tidak sedarah. Nah, Abu Sittin ini kan melebihi persaudaraan sedarah, maka kelak akan memasuki sorga dengan wajah bercahaya, berseri-seri.” Inilah yang mengikat semua yang hadir. Tidak karena parpol, tidak karena negara. Bahwa semua terikat hanya karena Allah semata.
Sebagian besar yang hadir berusia sepuh, rata-rata di atas 60 tahun, setidaknya terlihat dari wajah keriput dan rambut yang beruban. Kepada mereka semua Cak Nun menghibur, bahwa jangan khawatir dengan kematian, karena kita akan hidup lagi. Ini kematian pertama.
Dalam Maiyah, semua setara di maiyahan, baik yang di depan maupun para hadirin. Maka Cak Nun menyampaikan usul agar KH. Hasan duduk di depan, dan bapak-bapak untuk rela bergeser agar ibu-ibu bisa maju duduk sejajar di samping. KH. Hasan langsung merespon maju dan turut menata barisan bapak-bapak dan ibu-ibu. Jadilah duduk merapat sejajar melingkar bersama dalam kesetaraan antara para hadirin, yang di depan, dan KiaiKanjeng.
Kemesraan yang Hilang dari Nuansa Islam
Cak Nun memang pandai menghibur, setiap kata yang dituturkan selalu disambut dengan senyum dan tawa. Senyum kemesraan dan tawa bahagia dalam kebersamaan. Ya, kemesraan. Inilah yang hilang dari suasa Islam di dunia dan Indonesia. Yaitu bahwa semua urusan itu sebenarnya hanya cinta kepada Allah. Asal usul syariat itu pada dasarnya adalah In kuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullah. Maka seterusnya, urusan apapun termasuk Abu Sittin ini adalah kemesraan kepada Allah.
Menyambung suasana kemesraan ini, KiaiKanjeng kemudian diminta Cak Nun untuk membawakan lagu Hymne Gontor, “Pondokku” yang diaransemen dengan spontan sebagai atmosfiring, membangun suasana atau cuaca acara supaya ilmu yang keluar mengalir dengan indah. Agar jiwa Gontor hadir kembali. Memang salah satu ilmu di maiyahan yang diterapkan adalah ilmu teater, di mana Cak Nun sebagai sutradaranya. Selain sebagai sutradara, beliau juga merupakan komponis dalam sebuah “orkestrasi” maiyahan. Tetapi semua mengalir begitu saja, dengan iman kepada Allah dan sesuai hidayah-Nya saat itu. Sutradara tanpa naskah, komponis tanpa partitur. Ini membutuhkan kejelian mata, ketajaman hati melihat situasi, dan ketersambungan terus menerus dengan Allah.
Sering dijumpai di banyak maiyahan, Cak Nun tidak segera menentukan nomor pertama yang akan dipersembahkan karena belum menemukan “titik hidayah” saat itu. Salah satu contohnya maiyahan di Kampung Jagalan Yogyakarta Januari lalu. Atau bisa juga di tengah acara, melihat perkembangan dan atmosfir yang terjadi, Cak Nun dengan spontan meminta sebuah nomor dan KiaiKanjeng selalu siap membawakannya, meskipun itu sudah lama atau bahkan belum pernah dibawakan oleh mereka. Tetapi dengan iman, cinta dan kemesraan, Allah akan membuat yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Seketika KiaiKanjeng membuka dengan sedikit intro yang dipimpin gesekan dawai biola mas Ari Blothong, KH. Hasan Sahal langsung meraih mikrofon dan dengan khidmat menyanyikan lagu Pondokku. Lagu inipun mengalir dengan indah. Memasuki bait akhir lagu, terlihat jari-jari tangan kanan KH. Hasan mengisyaratkan hitungan ketukan nada.
Beliau memang seorang seniman. Beliau merasakan nada di akhir lagu tersebut cocok dengan awal nada sebuah lagu. Maka ketika lagu Pondokku berakhir, KH. Hasan memohon KiaiKanjeng membantunya untuk langsung meneruskan sebuah lagu. Ya, beliau menyambungkannya kepada lagu Tanah Airku Indonesia. KiaiKanjeng menyambutnya, dan kemudian bersama-sama hadirin menyanyikannya, walau banyak dari mereka yang lupa beberapa liriknya. Usai lagu, Cak Nun menyambut dengan mengingatkan kita bahwa jika kita lupa, berarti kita legal sebagai manusia agar tidak menyerupai malaikat. Alhamdulillah kita lupa dan banyak tidak tahu dibanding tahu.
Saling Berhusnudzon Bersama
Semua yang hadir tertawa segar, ketika Cak Nun membawa mereka ke suasana nostalgia masa-masa indah di Gontor. Cak Nun banyak menceritakan kenangan-kenangan lucunya dulu dengan kelakar-kelakar yang membuat hadirin tertawa. Di antaranya “dendam” para dewan guru yang apabila kalah sepak bola dengan santri, akan menyiapkan “hukuman”. Bisa memijit, juga mengepel, atau menyapu. Karena keseharian di Gontor wajib berkomunikasi dalam bahasa Arab, maka banyak ceplosan-ceplosan yang bisa merupakan jebakan agar bisa tertangkap “jasus” (mata-mata) dari Qismu Lughoh (Departemen Bahasa). Terutama saat bermain sepak bola. Karena tidak setiap saat kesadaran bahasa Arab itu muncul. Pada saat meminta operan bola, sering spontan teriak “Cepat! Cepat!”, dan ini juga sering mengakibatkan status pemain bola, apalagi bertanding melawan dewan guru, menjadi “terdakwa”. Pengumuman para terdakwa itu dilakukan setiap ba’da sholat maghrib. “Pokoknya di Gontor setiap sholat magrib pasti tidak tenang. Sopo sing mad’u iki.” ungkap Cak Nun yang disambut tawa hadirin.
Kemudian Cak Nun mengajak hadirin melantunkan “Syiir Abu Nuwas”. Ilahi lastu lil firdausi ahla…. Syiir ini dibawakan KiaiKanjeng dengan nuansa seruling dan biola yang sifatnya sapuan, terasa membuat mengalir lembut dan seakan melayang ringan tidak berpijak. Nuansa ini membawa kita ke dalam suasana khusyu’. Nada Syiir ini sama dengan Tombo Ati namun berbeda nuansanya. Tombo Ati bernuansa ritmis yang bersifat ketukan. Layaknya sifat hidup, ada yang elusan, ada yang ketukan.
Sedikit perkenalan untuk menyambung silaturahmi, Cak Nun menyampaikan bahwa beberapa personel KiaiKanjeng dan Progress, anak-anaknya dipondokkan di Gontor. Seperti Mbak Yuli, Mbak Nia, dan Mas Helmi, juga Kyai Muzammil yang turut hadir dalam reuni ini. Mendengar informasi ini KH. Hasan pun terkejut dan haru. Kedekatan beliau dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng terasa semakin dalam.
Terkait kedekatan ini, KH. Hasan menjelaskan bahwa beliau kerap hadir di acara-acara Maiyah. Seperti di Kenduri Cinta, PadhangmBulan, dan beberapa kali di maiyahan seperti pernah di Batu, beliau membersamai. KH. Hasan menceritakan masa-masa dulu awal mula Cak Nun masuk Gontor. Menurut beliau, Cak Nun dimasukkan ke Gontor karena saking “baik”nya saat SD hingga dihukum gurunya berkali-kali. Sementara itu, ketika Cak Nun dikirim ke Gontor, di sana sudah ada Cak Fuad yang merupakan adik kelas KH. Hasan. “Waktu itu, santri sighor (junior) hanya Hasan dan Fuad yang boleh ngaji di masjid, yang lain sudah kibar (senior) semua. Jadi saya adalah teman Fuad. Setelah Fuad lulus, dan saya jadi ustadz, Cak Nun ini baru masuk. Tapi kemudian ketika saya di Madinah, beberapa bulan kemudian saya dengar Ainun dikeluarkan,” cerita KH. Hasan panjang lebar.
Sekian lama bertahun-tahun kemudian KH. Hasan bersua kembali dengan Cak Fuad dan Cak Nun, dan berujar kepada mereka, “Selama antum tidak takut kepada selain Allah dan tidak mencari keridhoan selain kepada Allah, kita berkumpul. Kita saling husnudzon satu sama lain.” Sampai hari ini, KH. Hasan Abdullah Sahal, Cak Fuad, dan Cak Nun masih bersahabat dengan sangat baik. Maka KH. Hasan mengajak hadirin untuk saling berhusnudzon bersama sebanyak-banyaknya. (Ahmad Jamaluddin Jufri)
Yogyakarta, 5 Mei 2016.