Abadi Pemandangan di Bawah Gapura itu
Berita yang datang di pagi hari kemarin mengejutkan seluruh keluarga besar Cak Nun dan KiaiKanjeng. Tak terkecuali saya, yang selalu merasa kecil di lingkaran amat kreatif dan dinamis ini. Spontan saya meneriakkan ‘ya Allah’ begitu membaca pesan di grup WA yang mengabarkan Mas Islamiyanto telah kehilangan istri tercinta. Mbak Dewi Islami yang akan menjalani proses persalinan dipanggil oleh Allah bersama bayi yang dikandungnya.
Baru tiga hari lalu, sepulang perjalanan KiaiKanjeng di Bangka, dalam hati saya bertanya bagaimana kabar istri Mas Islami apakah sudah melahirkan. Mas Islami sendiri tidak turut serta ke Bangka karena siaga HPL sang istri yang akan melahirkan anak ketiganya itu. Sebelum ini Mas Islami masih ikut dalam acara Maiyahan di Gedung Tani Puspa Argo Sidoarjo.
Kalau boleh mengatakan, menurut saya pribadi, Mas Islami dan Mbak Dewi adalah pasangan suami-istri yang harmonis dan indah. Setiap kali KiaiKanjeng berperjalanan ke arah timur, Jawa Timur, umpamanya, Mas Islami selalu berangkat dengan nunggu atau ngadang bis rombongan di jalan di Delanggu. Nanti balik dari Jawa Timur dia pun akan turun di Delanggu. Biasanya, sang istri menjemput Mas Islami di titik pemberhentian itu.
Suatu kali di pagi hari dalam perjalanan dari Jawa Timur itu, Mas Islami turun di satu daerah Delanggu dari arah Solo Baru. Berhenti di dekat persawahan dan jalur rel kereta api. Dari dalam bis, terlihat sang Istri sudah menunggu di bawah gapura dusun dengan motor Vario-nya. Sang istri mengenakan jilbab dan baju terusan yang sangat anggun dan keibuan. Setelah berpamitan dengan teman-teman di bis, Mas Islami turun dan bergegas berjalan ke tempat sang istri telah menunggu. Begitu bertemu, Mbak Dewi segera menjabat tangan sang suami dan mencium tangan itu dengan penuh ta’dhim.
Entah mengapa, beberapa detik saat itu saya terpana oleh adegan sederhana tetapi agung itu. Bis sudah bergerak. Tangan saya tidak sedang on dengan gadget yang kalau tak salah sedang saya charge di atas bagasi bis. Momentum itu tidak terkejar untuk saya potret dengan kamera android saya. Selain memang tak menyangka terlebih dahulu bakal berjumpa keagungan budi sepasang anak manusia itu. Bis melaju dan saya masih terkesan dengan pemandangan indah itu. Seorang istri yang dengan penuh kesetiaan dan dukungan memberikan yang terbaik kepada sang suami. Menunggu dengan penuh doa dan harapan akan kepulangan suami dari berjuang dalam keadaan tak kurang suatu apapun.
Saya pun bertekad, lain kali jika KiaiKanjeng menempuh perjalanan ke Jawa Timur lagi, saya akan mengabadikan momen itu lagi. Mas Islami yang pulang dan dijemput sang istri dengan cium tangan penuh hormat dan cinta kasih. Saya berharap saya dipertemukan kembali dengan peristiwa itu. Dan, dalam perjalanan kembali dari acara di Sidoarjo 28 Februari lalu, saya sudah menyiapkan diri untuk itu. Sampai di pasar Delanggu Mas Islami turun. Suasana agak ramai di situ. Kedua mata saya mencari-cari seseorang yang saya harapkan muncul. Hingga bis berjalan lagi, tidak juga saya temukan wajah itu. Tiba-tiba saya tersadar, ohh Mbak Dewi tidak bisa menjemput Mas Islami karena sedang hamil tua dan sudah memasuki masa HPL sebagaimana Mas Islami sempat ceritakan sendiri ketika ngobrol di ruang transit sebelum acara di Sidoarjo itu.
Allah belum mengizinkan saya mengabadikan momen itu. Rombongan KiaiKanjeng tiba di Jogja, bertemu keluarga masing-masing. Aktivitas hari-hari berikutnya berjalan sebagaimana biasa. Selain itu, KiaiKanjeng mengagendakan latihan gamelan pakem Jawa di rumah Mas Sariyanto, dan selanjutnya beberapa hari kemudian persiapan acara di Bangka Tengah Kepulauan Bangka Belitung. Perjalanan Bangka dalam rangkaian Festival Gerhana Matahari Total 7-9 Maret lalu pun pun telah dilalui.
Sampai di pagi hari kemarin, di hari Minggu yang cerah, berita meninggalnya Mbak Dewi Islamiyanto — yang bernama lengkap Tri Suci Dewi Indriyani — datang dan membuat saya kaget. Segala ingatan saya tentang sosok Mas Islami dan Mbak Dewi, khususnya keinginan untuk bertemu momentum indah itu, mengemuka kembali dalam benak saya. Kesadaran pun menyusul, Allah jelas-jelas tidak mengizinkan saya mengabadikan peristiwa itu, karena Mbak Dewi telah dipanggil oleh-Nya. Allah sepertinya meminta saya mengabadikan keindahan itu dalam hati saya, agar saya — dan mungkin orang lain — dapat meneladani keindahan itu. Keindahan yang berisikan nilai-nilai yang selayaknya dimiliki setiap pasangan suami-istri, seperti dimiliki oleh pasangan suami-istri muda Islamiyanto dan Tri Suci Dewi Indriyani.
Mas Islamiyanto sendiri dikenal di lingkaran KiaiKanjeng sebagai sosok yang ‘alim, tawadhdhu’, dan rendah hati. Setiap kali berangkat perjalanan, Mas Islami dipercaya untuk memimpin doa memohon keselamatan dan kelancaran seluruh rangkaian perjalanan. Bahkan, mengutip Mas Zakki, Manajer CNKK, Mas Islami adalah kiainya KiaiKanjeng. Kalau ada di antara mereka yang punya hajatan seperti syukuran, aqiqahan, mau membangun rumah, menempati rumah baru, atau yang lainnya, Mas Islami kerap diminta untuk mendoakan. Bahkan di acara-acara internal KiaiKanjeng, Cak Nun sering menyerahkan mikrofon kepada Mas Islami setiap kali waktu berdoa di akhir acara tiba. Bagi KiaiKanjeng sendiri, Mas Islami adalah satu di antara dua orang yang dapat melihat, membaca, dan merasakan gejala atau peristiwa tak kasat mata, khususnya ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng sedang Maiyahan di pelbagai tempat.
Selain aktivitasnya di KiaiKanjeng, Mas Islami sibuk mengajar sebagai guru, dan mencurahkan waktunya untuk masyarakat. Ia sering diundang untuk memberikan uraian, nasihat, dan tausiyah di berbagai tempat. Ia adalah Kiai dan Ustadz bagi masyarakatnya. Sekalipun demikian, Mas Islami juga tetap terus belajar dan menapaki perjalanan-perjalanan spiritual. Ia sangat ta’dhim kepada Cak Nun yang Ia juga memanggilnya dengan Mbah Nun. Belakangan bersama beberapa rekannya, Mas Islami merintis terbentuknya Majelis Ilmu Cahyo Sumebar yang ia harapkan menjadi bagian dari majelis ilmu Maiyah sebagaimana di pelbagai tempat lainnya.
Mas Islami menghabiskan waktunya untuk ilmu dan perjuangan, tanpa melupakan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dan tak mungkin kiranya, bertahun-tahun Ia menjalankan aktivitas sehari-harinya itu tanpa dukungan dari sang Istri. Tak mengherankan, bila dalam sambutan dan pengantar keberangkatan jenazah Mbak Dewi, Cak Nun memuji keikhlasan dan keitiqamahan Mbak Dewi. Sedemikian rupa sehingga pada usia 35 Allah sudah meluluskannya untuk segera berada bersama Ibu Hawa, Ibu Maryam, Ibu Khadijah, dan wanita-wanita mulia lainnya di Surga. Allah memanggilnya bersama bayi yang dikandungnya pagi kemarin, Ahad 13 Maret 2016.
Mas Islami sangat tabah dan kuat hatinya, Ia menggandeng kedua anak lelakinya berjalan menuju pemakaman mengantar sang Istri dan ibu bagi anak-anaknya menghadap Allah Swt. Perpaduan keikhlasan dan keistiqamahan Mas Islami-Mbak Dewi itulah yang membuat Cak Nun memberanikan diri meminta Mas Islami sendiri yang memimpin doa keberangkatan jenazah istrinya. Sebuah permohonan dan tugas yang tak lazim, tetapi berlangsung dengan baik antara seorang guru dan murid. Biasanya yang membacakan doa dalam suasana seperti itu bukan orang yang sedang tertimpa musibah, melainkan orang lain apakah itu ustadz, kiai atau siapapun yang ditunjuk mewakili keluarga. Tetapi Mas Islami memenuhi tugas itu, membacakan doa dengan hati yang kuat dan tabah.
Cuaca siang hari kemarin sangat terang, bahkan cenderung panas. Tetapi ketika sore tiba saat prosesi pemberangkatan dimulai, langit pun tidak panas lagi, bahkan bergerak menuju mendung. Jenazah Mbak Dewi, yang dipanggul oleh Mas SP Joko, Mas Jijid, Mas Yoyok, dan teman-teman KiaiKanjeng lainnya beserta jamaah Maiyah dan bergantian dengan tetangga-tetangga Mas Islami, diantar menuju pemakaman dengan dinaungi awan yang adem. Selepas prosesi pemakaman, gerimis pun perlahan mulai turun, seakan mengisyaratkan kedamaian dan ketenteraman Mbak Dewi di alam kubur. Selamat jalan, Mbak Dewi. Pemandangan agung di bawah gapura itu kuabadikan di kedalaman hatiku.
Yogyakarta, 14 Maret 2016