41
Karena tidak bisa mendapatkan bahan apapun tentang 41, maka si-41 justru sangat dan selalu hadir dalam kesadaran maupun bawah sadar Markesot, sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Melakukan apapun, pergi ke manapun, bertemu dengan siapapun, spontanitas Markesot adalah 41. Kalau masuk hutan ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti di berbagai tempat, hanya untuk menghitung pohon hingga jumlah 41. Lewat jalanan, ia seperti orang kurang lengkap ingatan menoleh sana menoleh sini, menghitung 41 warung, 41 tiang listrik, 41 motor, 41 wanita muda, 41 setengah tua, 41 nenek-nenek. Semua ia hitung.
Kalau belum beres hitungannya wajah Markesot tampak panik seperti akan ada gunung meletus. Setiap kali selesai hitungannya, bercahaya matanya, gembira seperti sedang khataman Qur`an. Dan di antara semua yang tampak mata yang dihitungnya, yang paling membuat mripatnya berbinar-binar dan bibirnya tersenyum-senyum adalah tempat sampah, gelandangan, pengemis, pengamen, batu atau kerikil yang berceceran, serta segala sesuatu yang segelombang dan sederajat dengan dirinya.
Terus terang kadang-kadang bergerak-gerak menghitung sesuatu entah apa yang orang di sekitarnya tak bisa melihat. Terkadang perilakunya menunjukkan bahwa ia tidak sendirian menghitung sesuatu. Saat-saat tertentu Markesot tampak seperti sedang omong-omong dengan teman di kiri-kanannya. Dan yang paling tidak diketahui adalah bahwa sebenarnya Markesot sendiri sedang dihitung.
***
Dihitung oleh siapa? Bagaimana mungkin pertanyaan itu bisa dijawab. Markesot saja tidak jelas ada dan tidaknya, apalagi yang menghitungnya. Bahkan tidak bisa dipastikan berapa sebenarnya jumlah Markesot. Mungkin ia dihitung: Markesot-1, Markesot-2, Markesot-3…sampai minimal 41.
Markesot sebagai angka saja tidak menginformasikan sesuatu yang pasti. Apalagi Markesot sebagai apa: manusia atau hantu? Jin atau setan? Jangan pula bertanya Markesot sebagai siapa. Sebab “siapa” adalah ruangan yang paling komplit kandungan nilainya.
Itulah sebabnya umumnya ummat manusia merasa kelelahan, sehingga mempersempit dan menyederhanakan dirinya menjadi Insinyur, Ustadz, Budayawan, Saudagar, Presiden, Pedagang, Menteri, Kuli, Staf Ahli, Komisaris, dan macam-macam lagi. Padahal semua hasil simplifikasi dan penyempitan ini bukanlah “siapa”. Paling jauh ia sekedar “apa”.
Markesot pernah bercerita tentang ciptaan Allah yang paling indah, amat dicintai dan sangat disayang, yang Allah memberinya nama Nur Muhammad. Se-zarrah dari Nur Muhammad ditiup oleh Allah ke Bumi mewujud jadi Muhammad bin Abdullah, yang diberi jatah hidup dan tugas amat sangat sejenak, 63 tahun ukuran Bumi.
Yang hanya se-zarrah itu keindahannya menghapus seluruh keindahan jagat raya. Kebesarannya mengerdilkan seluruh alam semesta beserta isinya. Si Zarrah ini memulai membangun peradaban Bumi begitu usianya memasuki 41 tahun. Allah menuturkan kepastian, di Surah 41 ayat 41, bahwa siapa saja yang melakukan pengingkaran terhadap Qur`an-Nya sesudah kitab kedermawanan Allah ini mendatanginya, maka di depan langkahnya ia ditunggu oleh celaka dan bencana.
Itu pasti. Tinggal soal waktunya yang disimpan Allah di laci rahasia-Nya. Sebab Allah menamai kumpulan rahmat firman-Nya ini dengan nama-Nya sendiri: Kitabun ‘Azizun. Dengan nama yang sama pula Allah menggelari cipratan di Bumi dari se-zarrah Nur Muhammad yang dilahirkan oleh Ibu Aminah dan Bapak Abdullah.
Allah, Muhammad, Al-Qur`an Segitiga Cinta. Tiga titik dalam satu bulatan cinta. Tiga yang satu, satu yang men-tiga. Maka pada hakekatnya 33, 40, 41 atau angka berapapun adalah Tunggal. Di awal dan di akhir, hanya Tunggal. Di antara Tunggal Awal dan Tunggal Akhir dibentang gelembung besar panjang yang berisi puisi-puisi cinta dan dongeng-dongeng yang indah.
***
Berapapun adalah tunggal. Yang terbatas maupun yang tak terbatas, dikandung oleh Yang Maha Tunggal. Markesot menghitung-hitung dan menikmati 41 di mana-mana untuk menemukan dan meneguhkan Tunggal di dalam jiwa kehidupannya.
Coba kalau 7 ayat Al-Fatihah digelindingkan berputar 5 kali, sesudah itu pada putaran ke-6 ayat ke-6 atau ke-41 kalau dari awal: ternyata adalah maqam makhluk manusia yang memanggul tugas kekhalifahan: “Ihdinash-shirothol mustaqim”. Hidup manusia berposisi doa, berposisi belum atau sedang. Sedang berjuang sepanjang hidup hingga hijrah melalui maut, untuk mendapatkan ridha Allah.
Jadi di dalam urusan diridlai atau tidak diridlai oleh Allah, masuk sorga atau neraka, tersesat atau tidak tersesat, bersertifikasi Muslim atau Kafir, tidak ada manusia yang bisa memastikan dan dipastikan. Tidak berposisi untuk menuduh Kafir, bahkan tidak berposisi untuk meyakini diri Muslim. Pada ketukan ke-41 putaran ayat-ayat Ibu Qur`an, semua manusia berada di tahap “Ihdinash-shirothol mustaqim”.
Markesot “GR” mencari koordinat Surah ke-41 pada ayat ke-53, romantisme tahun kelahirannya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Ia menepuk dadanya sendiri di depan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri: “Salahkah saya meminta 40 orang sahabat-sahabat, menjadi 41 dengan saya, berkumpul di Patangpuluhan? Bukankan sudah jelas Surah dan Ayatnya?”
Padahal Qur`an itu setiap huruf adalah semua huruf, setiap ayat adalah semua ayat, setiap bagian adalah pusat, setiap titik adalah bulatan. Surah apa saja ayat mana saja merupakan petunjuk, ilmu dan hikmah bagi tema apapun saja dalam kehidupan ummat manusia, dari sate kikil hingga Illuminati, dari upil hingga Bank Dunia, dari gathul hingga konglomerat Cina.
***
Jadi, sesudah wudlu, syukur shalat likulli thayyibah, buka saja Al-Qur`an sebisamu, seikhlasmu, sambil pejam mata pun malah lebih pasrah karena bebas dari pretensi pandangan mata.
Temukan dirimu dalam bukaan dua halaman yang kau peroleh di Qur`an itu. Cerdasi perlambang-perlambangnya, peka terhadap ada-mu padanya, beban masalahmu dan jalan keluarnya. Atau masukilah pakai cara apapun asalkan sopan kepada Al-Qur`an, berterima kasih kepada Rasulullah dan berakhlak kepada Allah.
Biasa “yasinan”? Periksa ayat ke-41: “Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan”. Coba lihat-lihat lagi, benarkah Bangsamu tidak memerlukan “Bahtera Nuh”, atau antisipasi semacam itu dalam formula apapun, besok, atau mungkin hari ini, bahkan sejak beberapa waktu kemarin? Apa kamu pikir keadaan Bangsamu baik-baik saja? Apa kamu sudah matang menilai, apakah yang menguasai Bangsamu itu Negara ataukah Pemerintah?
Kalian kan orang-orang Mu`minum, kaum beriman. Bener beriman kepada Allah? Jangan-jangan patuh kalian kepada berhala-berhala: uang, harta benda, jabatan, akses, konglomerat yang membiayai pembelian kursimu?
Bisakah kalian memastikan bahwa yang tertera di ayat ke-41 Al-Mu`minun ini tidak akan terjadi pada kalian: “Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu”.
Berhentilah memperlakukan rakyatmu jadi sapi perah kepentingan golonganmu. “Sapi Betina” ayat ke-41 sudah sangat lama melenguh: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran)…dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa”.