CakNun.com

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 25 menit

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Cak Nun mengawali acara dengan mengajak semua yang hadir membaca Al Fatihah bersama-sama, untuk sekedar berdoa demi kebaikan bersama, kebaikan orang-orang yang sudah dipanggil Allah, untuk kebaikan di masa yang akan datang, dan juga untuk kebaikan semua orang yang terlibat dalam Mocopat Syafaat kali ini. Secara khusus Cak Nun memohon permaafan secara pribadi kepada semua Jama’ah atas semua kesalahan-kesalahan, atas semua ketidak setujuan dengan pernyataan. Cak Nun juga mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan kepada Cak Nun dan keluarga. Cak Nun bercerita seringkali ketika makan di sebuah warung makan, ternyata sudah ada yang mbayari. Melalui kesempatan ini, Cak Nun mengucapkan terima kasih atas kebaikan-kebaikan itu.

Cak Nun, Mocopat Syafaat Maret 2015
Indonesia itu melahirkan bangsanya atau Bangsa ini yang melahirkan Indonesia?

Cak Nun kemudian mengutip pernyataan Sabrang, bahwa Maiyah itu ngandeli (menebalkan) kepribadian manusia yang berhubungan dengannya, sehingga kepribadiannya tidak mudah patah, secara fisik bisa saja menjadi lebih sehat, secara fikiran juga memiliki kekayaan cara pandang yang berbeda dari orang lain, mungkin juga dalam ranah spiritual memiliki kemampuan untuk mendekat dengan kemurnian dan kesejatian, alam juga Allah tentunya.

“Yang sekarang kita tempuh mulai tahun 2015 adalah landep (tajam), setebal-tebal pisau tidak akan berguna kalau ujungnya tidak tajam. Sehingga yang kita lakukan saat ini adalah melatih ketajaman.” [Cak Nun]

Setebal-tebal sebuah pedang, maka ujungnya harus tetap tajam. Karena jika sebuah pedang tidak memiliki ketajaman, maka yang bisa dilakukan hanyalah memukul, tidak bisa membelah, tidak bisa mengiris dan seterusnya.

Cak Nun kemudian mengajak Jama’ah untuk melihat ke belakang, bahwa sebelumnya Cak Nun pernah bertanya; Indonesia itu melahirkan bangsanya atau Bangsa ini yang melahirkan Indonesia? Saat ini kita berada dalam sebuah kebingungan, karena kita tidak memiliki pengetahuan yang tepat tentang bangsa mana yang melahirkan Indonesia. Jama’ah Maiyah sudah menyepakati bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dilahirkan oleh sebuah Bangsa, namun kita tidak memiliki presisi yang tepat untuk menentukan Bangsa apa yang telah melahirkan Indonesia. Sehingga kemudian memunculkan pertanyaan yang baru; Jika Indonesia saat ini berumur 70 tahun, maka Bangsa yang melahirkan Indonesia umurnya berapa tahun? Cak Nun sengaja melempar pertanyaan-pertanyaan ini sekedar untuk memancing fikiran Jama’ah agar selalu melatih masing-masing individu untuk mempertanyakan asal usul diri mereka masing-masing. Karena jika kita tidak pernah mengenal dari mana asal-usul kita maka kita juga tidak akan pernah mengenal siapa diri kita sebenarnya. Dalam lingkup yang lebih luas, bangsa Indonesia tidak akan pernah mengenal siapa dirinya jika mereka tidak mau mencari dari mana asal-usul mereka.

Sejengkal kemudian Cak Nun kembali mengajak Jama’ah untuk mengelaborasi tentang asal-usul Bangsa Indonesia. Ambillah sebuah contoh kesimpulan bahwa bangsa yang melahirkan Indonesia ini adalah Bangsa Nusantara. Mungkin kita memiliki perspektif dan identifikasi yang berbeda-beda satu sama lain, ada yang menganggap bahwa bangsa yang melahirkan Indonesia bermula dari manusia tertua di Sangiran misalnya, ada juga yang beranggapan bahwa permulaannya dimulai pada awal abad ke 7, ada juga yang sepakat dimulai pada era Majapahit kemudian Demak dan seterusnya. Atau, ada juga yang menyepakati bahwa asal muasal Indonesia adalah pergerakan Soempah Pemoeda tahun 1928. Sehingga sebenarnya pemahaman bahwa Jawa bukan Sunda, Sunda bukan Jawa, Jawa bukan Bugis, Bugis bukan Ambon dan seterusnya merupakan sebuah pemahaman dan kesepakatan yang belum cukup lama kita sepakati.

Sehingga akan ditemukan satu contoh kesimpulan bahwa kita adalah anak dari Bangsa Nusantara yang kemudian diadopsi dan dididik oleh Indonesia, dan dengan “kurikulum” Indonesia. Kemudian yang kita sebut sebagai “kurikulum” Indonesia adalah hukumnya, konstitusinya, pendidikannya, ilmu-ilmu sosialnya, pemahaman-pemahaman sejarahnya, antropologinya hinga semua yang berhubungan dengan hal tersebut ternyata adalah produk dari bangsa yang dulunya menjajah bangsa yang melahirkan Indonesia, bukan milik asli bangsa yang melahirkan Indonesia. Sehingga kita patut mempertanyakan sebenarnya bahwa Indonesia ini adalah keluarga kita sendiri atau orang lain, jika melihat asal-usul “kurikulum” yang digunakan tadi ternyata bukan milik bangsa yang melahirkan Indonesia itu tadi? Salah satu contohnya adalah bagaimana kitab undang-undang negara ini disusun yang tidak lain merupakan hasil adopsi dari negara lain.

Dengan kata lain Cak Nun mengibaratkan bahwa kita sekarang tidak mengenal siapa bapak kita sendiri yang menjadi asal-usul Bangsa yang melahirkan Indonesia ini. Kita tidak mengenal bagaimana hukum yang digunakan oleh bangsa sebelum kita, kita tidak mengenal sistem politik bangsa sebelum kita, sehingga demokrasi yang saat ini diagung-agungkan pun sebenarnya adalah produk yang bukan milik bangsa leluhur kita. Cak Nun kembali menegaskan bahwa dalam demokrasi kita tidak memiliki peluang untuk mampu membedakan mana emas, mana berlian, mana intan, mana mutiara dan mana batu kerikil. Dan dalam demokrasi, baik itu mutiara, emas, intan dan batu kerikil biasa memiliki hak suara yang sama. Seorang jebolan sarjana, bahkan doktor atau profesor sekalipun, hak suara yang ia miliki sama dengan seorang pedagang atau petani ketika ia berada dalam bilik suara pemilihan umum, itulah demokrasi.

Berwudhlu dari Najis Indonesia

Yang terjadi saat ini menurut Cak Nun adalah masyarakat Indonesia yang merupakan hasil didikan “kurikulum” Indonesia itu tadi ternyata tidak mengerti dan tidak mampu untuk membedakan mana manusia yang bermutu dan yang tidak bermutu. Salah satu akibatnya adalah ketidak mampuan dalam mengidentifikasi mana batu kerikil dan mana mutiara, bahkan dalam situasi yang paling membahayakan akan terjadi dimana masyarakat Indonesia disuguhkan mutiara palsu yang dipoles sedemikian rupa padahal wujud aslinya adalah batu kerikil, tetapi akan tetap dianggap sebagai mutiara. Dan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah, sebaik apapun kualitas seorang manusia, entah itu mutiara atau berlian, ia tidak akan menjadi apa-apa jika tidak bergabung atau mendompleng pada partai politik.

Cak Nun kemudian kembali mempertanyakan, sebenarnya kita (sebagai bangsa Indonesia) dididik oleh bapak ibu kandung kita atau dididik oleh pengadopsi kita?, sehingga yang terjadi saat ini adalah ketidak tahuan kita terhadap asal usul kita, yang ada adalah pengetahuan kita terhadap yang mengadopsi kita (bangsa Indonesia). Cak Nun kemudian kembali melempar pertanyaan lanjut, apakah kira-kira bangsa yang mengadopsi Indonesia ini menyukai bapak ibu kita yang asli atau justru membencinya?, dan kira-kira apa yang disampaikan kepada kita oleh pengadopsi kita sebagai bangsa Indonesia tentang bapak ibu kita adalah sebuah kebohongan atau kejujuran?

Dari sekian pemaparan yang disampaikan oleh Cak Nun, Jama’ah mendapat sebuah kesimpulan bahwa ternyata yang terjadi selama ini adalah bangsa Indonesia dididik oleh sebuah kurikulum yang bukan asli miliknya sendiri, bukan produk dari bapak ibunya bangsa yang melahirkan Indonesia. Menggunakan perspektif Islam, Cak Nun mengajak semua untuk membersihkan diri dari najis yang terdapat dalam tubuh kita saat ini. Proses pembersihan diri ini harus segera dilakukan jika kita benar-benar ingin menuju sebuah kesucian dari Indonesia yang kita idam-idamkan. Seperti halnya dalam sholat, sangat tidak rasional jika seseorang yang berwudhlu dengan air yang tidak suci kemudian ia berharap menghadirkan Allah dan bermunajat dalam kesucian sholatnya. Jadi, apabila kita memang menginginkan Indonesia yang suci, Indonesia yang mulia maka tidak lain dan tidak bukan syarat utama yang harus kita lakukan adalah membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang ada dalam diri kita yang berasal bukan dari Indonesia yang sebenarnya.

Dalam kaidah fikih, bahwa air yang terbaik yang boleh digunakan dalam thoharoh adalah air mutlak, yaitu air yang murni yang belum pernah digunakan atau tercemar oleh zat yang lain. Jika menggunakan pendekatan air ini, maka nilai-nilai dalam “kurikulum” yang diajarkan kepada Bangsa Indonesia saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah air musta’mal, yaitu air yang sudah pernah digunakan. Proses wudhlu yang dilakukan oleh manusia sebelum ia mendirikan sholat merupakan sebuah peristiwa ruhani yang harus dijalani untuk menuju sebuah kesucian, yaitu pertemuan dengan Allah. Dimensi kesucian itu sendiri kita mengenal dalam olahraga disebut sportif, dalam ilmu disebut objektif, dalam akhlak kita mengenal jujur.

Berguru Pada Umbu Landu Paranggi

Di awal Cak Nun sudah membagi dua sesi acara pada Mocopat Syafaat kali ini, bahwa sesi pertama adalah sesi yang akan digunakan untuk menampilkan beberapa pembacaan puisi karya Umbu Landu Paranggi yang sedianya ditampilkan di Rumah Maiyah Kadipiro tanggal 15 Maret 2015. Cak Nun kemudian mempersilahkan Pak Iman Budhi Santosa, salah satu pentolan PSK untuk memperkenalkan beberapa jebolan PSK yang malam itu turut hadir di Mocopat Syafaat.

“Umbu adalah seorang Zahid yang sejati, yang tidak meminta apapun kepada dunia” [Cak Nun]

Majalah Sabana bulan ini memang dikhususkan untuk memperingati 47 tahun kelahiran Persada Studi Klub, dimana Umbu Landu Paranggi adalah sosok utama yang menjadi pengasuh, pengayom, orang tua sekaligus guru bagi para penyair dan sastrawan yang dulu tergabung dalam Persada Studi Klub. Pak Iman Budhi Santosa kemudian memperkenalkan beberapa orang — selain Cak Nun tentunya — yang dulu juga tergabung dalam Persada Studi Klub, diantaranya adalah Sutirman Eka Ardhana, Mustofa W. Hasyim dan Slamet Riyadi Sabrawi.

Iman Budhi Santosa
Iman Budhi Santosa

Bercerita tentang Umbu Landu Paranggi, Pak Iman menjelaskan bahwa Umbu itu seperti seorang petani yang pekerjaannya adalah menanam. Bahkan setelah Umbu hijrah dari Yogyakarta pada medio 1975 silam dan menuju ke Bali, tercatat setidaknya 1500 orang yang pernah bergabung dalam komunitas Persada Studi Klub saat itu. Kemunculan kembali Majalah Sabana diceritakan oleh Pak Iman adalah berawal dari sebuah harapan menghidupkan kembali “Universitas Malioboro” dan menggairahkan kembali dunia sastra Yogyakarta pada khususnya, sehingga kemudian salah satu perintisan kembalinya adalah memindahkan komunitas Persada Studi Klub yang dulunya bermarkas di Malioboro dipindahkan ke Kadipiro, di Rumah Maiyah.

Secara khusus, Majalah Sabana mengundang Umbu Wulang, anak bungsu dari Umbu Landu Paranggi yang saat ini tinggal di Jakarta. Wulang sendiri menyelesaikan program sarjana di Yogyakarta, namun ia memang sengaja menghindarkan dirinya dari tokoh-tokoh sastra yang menjadi murid dari ayahnya, sehingga selama ia di Yogyakarta tidak pernah sekalipun diketahui keberadaaannya oleh para murid-murid Ayahnya. Hadir pula putri angkat Umbu Landu Paranggi di Bali, Mira MM Astra yang juga merupakan salah satu penyair muda di Bali.

Simple Life sendiri merupakan sekumpulan anak-anak muda yang juga merupakan sebuah komunitas sastra, komunitas ini tidak mengenal betul siapa Umbu Landu Paranggi, namun mereka mengagumi karaya-karya Umbu Landu Paranggi. Singkat cerita mereka kemudian dilibatkan dalam perayaan 47 Tahun lahirnya Persada Studi Klub di Rumah Maiyah Kadipiro dan juga di Mocopat Syafaat kali ini dengan mementaskan beberapa karya-karya Umbu Landu Paranggi dalam bentuk Puisi, Tari Puisi dan Musikalisasi Puisi.

Pak Iman Budhi Santosa menjelaskan bahwa perayaan 47 Tahun Persada Studi Klub ini tidak lain dan tidak bukan bertujuan agar sastrawan-sastrawan Yogyakarta khususnya jangan sampai tidak mengetahui sejarah perkembangan sastra di Yogyakarta yang juga pernah memiliki embrio yang juga tumbuh besar pada tahun 1970-an. Yang menjadi titik beratnya adalah jangan sampai kita lupa dengan asal-usul kita, jangan sampai kita lupa dengan sangkan paran kita sendiri.

Sebuah nilai yang sangat berkesan bagi Pak Sutirman Eka Wardhana tentang Umbu Landu Paranggi adalah tentang bagaimana berhubungan dan bersentuhan dengan orang lain, tentang menghargai perbedaan dan keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Pak Slamet Riyadi Sabrawi memiliki kenangan yang sangat berksesan bersama Umbu Landu Paranggi, bersama 9 orang murid Umbu lainnya berangkat dari Jakarta menuju Yogyakarta dengan berjalan beberapa kilometer, kemudian naik bis dan turun di beberapa kota di wilayah pantura seperti Cirebon, Tegal dan Pekalongan. Setiap menaiki bis, secara bergantian mereka membaca puisi di dalam bis, hingga akhirnya perjalanan mereka dari Jakarta sampai di Yogyakarta.

Simple Life dan Komunitas Kopi Nyastro
Simple Life dan Komunitas Kopi Nyastro

Sebelum penampilan dari teman-teman Simple Life, Cak Nun bercerita sedikit tentang proses yang dialami oleh para penyair-penyair di Malioboro dalam komunitas Persada Studi Klub dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi. Salah satu yang paling berkesan yang dirasakan oleh Cak Nun adalah kebiasan mlaku (jalan kaki). Para penyair tidak asing dengan kebiasaan jalan kaki, sehingga ketika mereka menuju ke suatu tempat, tidak kurang dari 15 kilometer ditempuh dengan jalan kaki. Sebuah nilai terpenting yang didapatkan oleh Cak Nun dari lelaku mlaku ini adalah, Cak Nun menyadari bahwa hal yang utama Allah menciptakan kaki pada manusia adalah untuk jalan kaki, bahwa kemudian manusia berhasil menciptakan sepeda motor dan kendaraan yang lain, itu merupakan alternatif yang sekunder.

Cak Nun menyayangkan dimana manusia sekarang sangat jarang sekali menggunakan pemberian Allah yang orisinal berupa kaki, seperti burung menggunakan sayapnya untuk terbang. Cak Nun sendiri mengakui ketika dahulu mlaku bersama Umbu Landu Paranggi dan sahabat-sahabat yang lain justru disitu Cak Nun mendapat banyak sekali ilmu pengetahuan dan pemaknaan-pemaknaan terhadap nilai-nilai kehidupan yang belum tentu didapatkan di bangku kuliah.

“Anda mendapat kesadaran bahwa tidak semua hal dalam hidup ini bisa anda fahami, anda juga harus mau melihat, menemukan, bergaul dan bergesekan dengan hal yang mungkin tidak anda fahami” [Cak Nun]

Simple Life kemudian membawakan Musik Puisi karya Umbu Landu Paranggi yang berjudul “Sabana” dan “Apa ada angin di Jakarta”. Cak Nun mengantarkan bahwa Puisi “Apa ada angin di Jakarta” merupakan sebuah peringatan dari Umbu Landu Paranggi yang saat itu menolak keras pemusatan pembangunan terpusat di Jakarta, dan saat ini kita melihat bagaimana perputaran ekonomi hampir 80% uang Indonesia berada di Jakarta. Sebagai seorang Penyair, Umbu Landu Paranggi mengkritik pemerintahan Orde Baru dengan bahasa sastra, dan salah satunya adalah Puisi “Apa Ada Angin di Jakarta”. Mas Tanto Mendut sendiri bahkan menafsirkan bahwa Jakarta adalah ibukota penderitaan, jika melihat fenomena-fenomena dan pemberitaan yang kita lihat saat ini.

Sabana

Memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
Menghadang senja
yang memanggil petualang

Sabana sunyi
di sini hidupku
Sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda

Sabana tandus
mainkan laguku
Harum napas bunda
seorang gembala berpacu

Lapar dan dahaga
Kemarau yang kurindu
Dibakar matahari
Hela jiwaku risau
Karena kumau lebih cinta
Hunjam aku ke bibir cakrawala

Apa Ada Angin di Jakarta

Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari

Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati

Selanjutnya beberapa Mahasiswa UNY dari Komunitas Kopi Nyastro yang juga datang bersama Simple Life membawakan puisi-puisi Umbu Landu Paranggi seperti Solitude, Sajak Kecil, Di Sebuah Gereja Gunung, Tujuh Cemara dan Percakapan Selat. Kemudian Komunitas Simple Life juga membawakan Tari Puisi yang merupakan eksplorasi dari puisi yang berjudul “Ibunda Tercinta”. Puisi ini kemudian juga dibawakan dalam Musikalisasi Puisi bersambung setelah dibawakannya Puisi yang berjudul “Melodia”.

Setelah rangkaian penampilan dari Komunitas Simple Life dan Kopi Nyastro membawakan beberapa puisi karya Umbu Landu Paranggi, Wulang putra terakhir Umbu Landu Paranggi ikut menampilkan puisi karyanya sendiri; “Biarlah Ibu Yang Menanggung Anakku Sayang”. Mustofa W. Hasyim yang juga merupakan salah satu murid “Universitas Malioboro” membawakan puisinya yang berjudul “Merindu Umbu Landu Paranggi”.

“Pendidikan yang asli dari timur adalah pendidikan yang mengajarkan muridnya untuk menghormati orang tua dan guru” [Mustofa W. Hasyim]

Mira MM Astra yang diangkat oleh Umbu menjadi putri angkatnya di Bali kemudian membacakan sebuah surat dari Umbu Landu Paranggi yang khusus dibuat untuk ulang tahun Persada Studi Klub. Mira yang bulan lalu juga hadir di Mocopat Syafaat kemudian bercerita tentang kerinduan seorang Umbu Landu Paranggi terhadap sosok Emha Ainun Nadjib.

Ulang Tahun ke-3 Persada Studi Klub di Kadipaten EAN Joko Umbaran

Kita yang merasa terpanggil dan terpilih harus mau bahkan harus bergelora melancarkan persembahan bagi pendidikan yang humanistis.

Siapa membaca, terbaca. Siapa menggali, tergali.

Ki Hajar Dewantara taman dan tanam sebiji dua biji sawi bagi berpasang-pasang biji mata.

Pijitan refleksi puisi kekidung dengung kumandang keheningan nyepi pembelajaran sangkan paran.

Revitalisasi, gagasan, puluhan, ribuan ajaran Ki Hajar Dewantara.

PSK, Pijakan Start Kerasadirian

PSK, Pilihan Sadar Keterpanggilan kejuangan

1972 BPK, Bongkar Bungkam Pasang Kadipaten Joko Umbaran

Menghadnag senja yang memanggil petualangan

Sang GM, Sang MG,

Guru murid, murid guru adalah dua hal yang terpenting dalam konsep Taman Tanam Ki Hajar Dewantara Tembang Dolanan

Keberaksaraan, Keberlisanan mendasari simpul syaraf budaya rohani manusia jawa, manusia bali, tri ning tri, desa kalapatra, keruangan, kewaktuan, kemanusiaan, budaya, adat dan agama, tri ning tri

Segoro gunung jawa, segara giri bali begitu mendasari agama air tirta kesejagatan, kesemestaan, kerayaan untuk membangun manusia yang seutuhnya.

Umbu Landu Paranggi

“Umbu Landu Paranggi tidak hanya memberi saya Sabana-nya, tetapi memberikan Laut tempat dimana saya menyelam sedalam-dalamnya. Agar saya tidak menyadari kedangkalan dari permukaan-permukaan saya, dan itu cukup sulit untuk saya arungi” [Mira MM Astra]

Tanto Mendut, Sang Presiden Lima Gunung yang juga merupakan salah satu sahabat Umbu Landu Paranggi turut hadir di Mocopat Syafaat kali ini. Cak Nun kemudian mempersilahkan Tanto untuk bercerita sedikit tentang Umbu. Menurut Tanto, Umbu Landu Paranggi adalah salah satu orang yang pilihan hidupnya sangat kuat. Dia adalah seorang raja yang meninggalkan kerajaannya, meninggalkan singgasananya dan hingga hari ini singgasana di kerajaannya itu tidak ada seorangpun yang berani mendudukinya.

Sabrang juga memiliki cerita tersendiri tentang persambungannya dengan Umbu Landu Paranggi. Pertemuan pertamanya dengan Umbu terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Letto mendapat undangan manggung di Bali. Pertemuan kedua terjadi beberapa bulan yang lalu ketika Sabrang menjenguk Umbu yang masih dirawat di rumah sakit, saat itu Sabrang menuju Bali bersama Patub, gitaris Letto. Pada pertemuan yang kedua tersebut Sabrang diberi tugas oleh Umbu untuk membuat 7 tulisan yang terbagi menjadi dua tema; Titi Saba Nada dan Dasar Cinta Semesta Raya.

Anak-anak Umbu Landu Paranggi
Mira MM Astra dan Umbu Wulang, Anak-anak Umbu Landu Paranggi

Ditengah cerita Sabrang tentang pertemuannya dengan Umbu, Cak Nun meminta Mira MM Astra untuk bercerita tentang Umbu Landu Paranggi mengobati kerinduannya kepada murid-muridnya dan Yogyakarta tentunya. Singkat cerita, Mira menunjukkan beberapa video cuplikan acara Maiyahan yang diupload di Youtube melalui telepon selulernya. Sebuah peristiwa yang apik diceritakan oleh Mira, bahwa Umbu Landu Paranggi untuk sekedar menonton video cuplikan Maiyahan di Youtube mempersiapkan dirinya dengan dandanan yang sangat rapi, bertopi dan tidak lupa menggunakan syal, seperti dandanan ketika akan bepergian.

“Tuh, lihat tuh!! Gitu tuh mulutnya Emha! Dimakan itu semua profesor-profesor sama dia! Dia itu Macan Kadipaten!”, Mira menirukan ekspresi Umbu Landu Paranggi ketika menonton video cuplikan Maiyahan. Menurut Mira, itulah ekspresi kerinduan yang selama ini dipendam Umbu Landu Paranggi terhadap salah satu muridnya; Emha Ainun Nadjib. Dari cerita ini terlihat bagaimana seorang Umbu Landu Paranggi menjaga sebuah kesetiaan kasih sayang terhadap para murid-murid yang diasuhnya, ia benar-benar merupakan sosok guru sekaligus orang tua yang selalu memperhatikan murid-muridnya, bahkan ketika jarak dan waktu menjadi pemisah hubungan mereka.

“Umbu adalah sosok yang bisa menjadi bapak bagi siapa saja”, [Sabrang]

Mas Tanto Mendut menjelaskan bahwa fenomena Maiyah yang semakin meluas ini seharusnya bisa menjadi trigger penyebaran informasi yang benar-benar informasi, menyebarkan berita yang bukan seperti berita pasaran saat ini. Dengan memanfaatkan teknologi yang sudah semakin maju, sudah saatnya Jama’ah Maiyah mampu memanfaatkannya untuk menyebarkan nilai-nilai Maiyah. Mas Tanto menambahkan, sudah saatnya lagi Jama’ah Maiyah tidak hanya menjadi pendengar saja, atau istilah yang digunakan oleh Mas Toto Rahrajo; “Jama’ah setor kuping”. Sudah saatnya Jama’ah Maiyah sendiri yang menjadi corong informasi penyebaran nilai-nilai Maiyah yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh setiap individu berdasarkan interpretasi masing-masing. Menurut Mas Tanto, pemberitaan media massa yang ada saat ini merupakan hasil dari olahan pekerja yang membuat berita, bukan informasi berita yang sebenarnya.

“Kebenaran itu tidak pada siapapun kecuali pada keputusan terakhir anda masing-masing, karena itu yang nanti akan dihisab oleh Allh. Anda boleh mendengar apapun, boleh menafsirkan seperti apapun, boleh melakukan apapun tetapi yang dinilai sebenarnya bahwa itu adalah menjadi keputusan otentik dalam diri anda. Itulah hakikat Maiyah” [Cak Nun]

Diskusi sesi pertama yang memang dikhususkan dalam sebuah tema “Berguru pada Umbu Landu Paranggi” dipuncaki dengan penampilan Cak Nun bersama Kiai Kanjeng membawakan lagu “Apa ada angin di Jakarta” yang diaransemen bergenre Keroncong oleh Kiai Kanjeng.

Sejarah sebagai Pijakan Menuju Masa Depan

Memasuki diskusi sesi kedua, KiaiKanjeng mengantarkan Jama’ah untuk memasuki ruangan yang berbeda dari diskusi sesi pertama dengan membawakan nomor medley Muhammadun Basyarun — Sinau Mati dan sebuah nomor dangdut berjudul Indonesia.

Hariyanto memoderatori diskusi sesi kedua ini dengan memberi sebuah landasan bahwa tema “Rahmatan lil ‘alaminnya manna?” ini merupakan sebuah tema yang diangkat secara khusus di forum-forum Maiyahan Nusantara bulan ini, bukan hanya di Mocopat Syafaat saja melainkan di Padhang Bulan, Bangbang Wetan, Kenduri Cinta, Gambang Syafaat dan Juguran Syafaat tentunya. Tema ini disarankan oleh Rumah Maiyah Kadipiro dengan tujuan untuk kembali menggali dan memahami beberapa istilah-istilah Islam seperti Jihad dan Syahid yang saat ini sudah terlalu melenceng dari makna yang sebenarnya. Disamping itu, beberapa istilah lain juga kita dapati sudah tidak seperti makna aslinya yang digunakan oleh masyarakat luas akhir-akhir ini.

Hariyanto kemudian memperkenalkan beberapa anak-anak muda yang menjadi penggiat Mocopat Syafaat yang tergabung dalam Rembug Mocopat Syafaat, pengurus Buletin Mocopat Syafaat dan penggiat Diskusi Martabat. Masing-masing sel dari Rembug Mocopat Syafaat ini sebenarnya sudah aktif dan menggeliat sejak beberapa tahun yang lalu, namun kemudian setelah akhir tahun 2014 yang lalu para penggiat Maiyah Nusantara bertemu dan berkumpul di Batu Raden, Purwokerto untuk merapatkan shof, maka simpul-simpul ini juga menyesuaikan diri untuk kembali merapatkan barisan dan mengatur ulang susunan shofnya sehingga bukan hanya menjadi hiasan Maiyah, melainkan menjadi elemen-elemen yang juga penting dari Maiyah Nusantara itu sendiri. Selain Buletin Mocopat Syafaat dan Diskusi Martabat, terdapat sel-sel lain yang berada didalam wadah Rembug Mocopat Syafaat saat ini seperti Nahdhlatul Muhammadiyin dan Perpustakaan EAN di Kadipiro.

Adji yang merupakan salah satu penggiat Mocopat Syafaat menggambarkan bahwa Maiyah saat ini fokus memperbaiki barisan jama’ahnya dengan dimulai dari penggiatnya. Ibaratnya dalam sholat, Adji menggambarkan bahwa Jama’ah Maiyah saat ini sudah melewati proses wudhlu, dan Imam sholatnya juga sudah siap memimpin sholat. Namun, shof-shof jama’ahnya sendiri belum rapat dan rapi, sehingga semangat untuk mengatur kembali barisan Jama’ah menjadi landasan utama fokus kegiatan para penggiat Maiyah Nusantara tahun 2015 ini.

Penya, salah satu pengurus Buletin Mocopat Syafaat mengajak Jama’ah yang memiliki ketertarikan dalam dunia menulis untuk bergabung dalam Komunitas Menulis di Buletin Mocopat Syafaat yang berkumpul setiap dua minggu sekali di Rumah Maiyah Kadipiro.

Dhani, perwakilan dari Diskusi Martabat menceritakan sejarah munculnya forum diskusi ini yang pada awalnya bermula dari sebuah forum diskusi kecil; FGD (Focus Group Discussion). Setelah berjalan kurang lebih 2,5 tahun, forum yang digawangi oleh Sabrang ini kemudian memutuskan untuk melebarkan sayap menjadi Forum Diskusi Martabat. Yang menjadi tujuan utama Diskusi Martabat ini adalah menjadikan setiap individu yang ikut berdiskusi untuk mampu memiliki kemandirian dalam menyerap informasi dan berdaulat dalam memahami informasi yang didapat.

Sejak akhir tahun 2014, Maiyah sudah mencanangkan bahwa apa yang akan dilakukan setelah 2014 adalah langkah-langkah yang memadat serta pembenahan-pembenahan yang sifatnya tidak hanya kelaur, tetapi juga kedalam. Pergerakan lingkar-lingkar Maiyah yang kita lihat akhir-akhir ini merupakan salah satu bentuk dari langkah-langkah pemadatan tersebut. Saat ini kita tidak hanya mengenal bahwa Maiyah itu adalah Padhang Bulan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan dan Peparandang Ate saja. Tetapi muncul lingkaran-lingkaran yang baru yang berada di dalam lingkar Maiyah Nusantara itu sendiri yang memiliki nuansa, gelombang dan frekuensi yang baru, seperti; Maneges Qudroh, Juguran Syafaat, Cahyo Sumebar, Sekala Selampung, Maiyah Pemalang, Lembah Manah, ReLegi dan masih banyak lagi forum yang skalanya mungkin lebih kecil.

Cak Nun menambahkan bahwa Maiyah saat ini sedang menyiapkan kader-kader yang akan menjalani sebuah zaman yang benar-benar baru. Dan yang dilakukan oleh Jama’ah maiyah saat ini tidak hanya bersuci dalam perspektif kasat mata, melainkan juga bersuci dalam fikiran, hati dan perbuatan. Begitu juga sholat yang didirikan oleh jama’ah Maiyah, bukan hanya sholat secara jasmani, namun juga sholat ruhani, sholat dalam fikiran dan juga hati. Cak Nun mengingatkan, apa yang akan kita gapai di masa yang akan datang sangat bergantung pada kesiapan kita saat ini.

Dalam Al Qur’an disebutkan; waltandhzur nafsun maa qoddamat lighoddi, bahwa setiap dari kita diperintahkan untuk melihat apa yang sudah diperbuat di masa lalu untuk bekal di kemudian hari di masa yang akan datang. Cak Nun kemudian bercerita sekilas tentang beberapa peristiwa-peristiwa yang luput dari penulisan sejarah Indonesia.

Begitu juga gerakan Sholawatan yang dulu diawali oleh Cak Nun bersama Cak Yus dan Cak Dil. Tepat 2 hari setelah Soeharto lengser, Cak Nun bersama Cak Yus dan Cak Dil berkeliling di kampung-kampung di Jakarta untuk merintis gerakan Sholawatan bersama “Mini KiaiKanjeng”, karena hanya membawa 5 personel KiaiKanjeng saat itu; Pak Joko Kamto, Pak Nevi Budianto, Pak Bobiet, Pak Bayu dan Pak Yoyok. Cak Yus bercerita bahkan di mobil yang digunakan untuk berkeliling Sholawatan itu, di bagasi belakang selalu membawa karpet dan kardus yang berisi air mineral, dan hampir setiap hari Jum’at setiap minggunya, bersama personel “Mini KiaiKanjeng” saat itu membagi-bagikan nasi bungkus kepada masyarakat di Jakarta. Beberapa kali dicegat oleh TNI dan ditanya hendak kemana, dengan tenang Cak Yus menjawab “Kami mau Sholawatan”. Gerakan Sholawatan di kampung-kampung ini menurut Cak Nun adalah kelanjutan dari proses local wisdom yang dinasionalisasikan; Tombo Ati. Gerakan Sholawatan ini kemudian dikenal dengan HAMMAS; Himpunan Masyarakat Sholawat.

Lebih jauh lagi, pada awal 80-an ketika Jilbab masih sangat sedikit yang memakainya, Cak Nun menyusun sebuah naskah teater “Lautan Jilbab”, yang sempat dipentaskan bersama Jama’ah Shalahudin di Yogyakarta. Tidak hanya itu, Cak Nun bersama Cak Yus berkeliling ke daerah-daerah di Indonesia untuk menemani perempuan-perempuan yang menuntut hak-nya dalam urusan pemakaian jilbab, bukan hanya untuk bertemu dengan perusahaan atau kantor departemen yang melarang pemakaian jilbab saja, Cak Nun bahkan menemani sampai ke pengadilan. Kita bisa bayangkan saat itu perempuan-perempuan muslim di Indonesia harus berjuang hingga pengadilan hanya untuk diperbolehkan menggunakan jilbab. Dan saat ini kita benar-benar menyaksikan “Lautan Jilbab” di Indonesia, hampir 70% perempuan muslim di Indonesia saat ini mendapatkan kebebasannya untuk mengenakan Jilbab.

“Hampir semua kata yang anda dengar saat ini sudah najis, semua epistimologinya dirusak. bahkan hukum yang padat bisa diaplikasikan secara terbalik oleh hakim yang berbeda” [Cak Nun]

Rumah Maiyah Kadipiro kemudian melalui Helmi Mustofa menginisiasi penulisan peristiwa-peristiwa yang sudah dilalui oleh Cak Nun dan Maiyah hingga hari ini. Semangat yang diusung bukan dalam rangka menyombongkan diri, melainkan agar apa yang sudah dilakukan oleh Cak Nun bersama Maiyah dan juga Kiai Kanjeng dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi generasi yang akan datang. Sehingga generasi Maiyah yang akan datang tidak akan mengalami ketidaktahuan akan sejarahnya sendiri.

Cak Yus kemudian bercerita sedikit tentang peristiwa yang dialami pada saat kerusuhan bulan mei 1998 bermula hingga akhirnya Soeharto memutuskan mundur dari jabatan Presiden saat itu. Menurut Cak Yus, ada banyak sekali peristiwa-peristiwa yang seharusnya diberitakan, namun tidak diberitakan oleh media massa. Apa yang terjadi pada media massa sejak Soeharto lengser hingga hari ini menurut Cak Yus tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah praktek kapitalis, yang hanya mengabarkan sebuah informasi yang diperlukan dan menguntungkan kapitalis.

Rahmatan lil ‘alaminnya Mannna?

Pak Mustofa W. Hasyim dari Nahdhlatul Muhammdiyin menjelaskan bahwa landasan utama kemunculan Nahdhlatul Muhammadiyin sendiri sebenarnya adalah benar-benar ingin mewujudkan Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Karena yang terjadi saat ini Islam hanya dianggap Rahmatan bagi segelintir kelompok saja. Ada yang menganggap golongannya yang paling benar, ada yang menuduh bahwa golongan yang lain adalah salah, dan seterusnya sehingga yang terkesan saat ini Islam tidak rahmatan lil ‘alamiin. Label “rahmat” justru kemudian hanya disematkan pada ruangan yang sempit yang jelas lebih sempit dari alam semesta ini.

Haryanto menarik ke peristiwa yang lebih lampau, pada saat Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, menghadapi segala persoalan yang ada saat itu, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Madinah merupakan representasi dari Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri. Di Madinah, Rasulllah SAW menyiapkan semua perangkat yang diperlukan untuk peradaban Madinah saat itu, bukan hanya bidang spiritual saja, melainkan juga ekonomi, hukum, politik dan aturan kehidupan bermasyarakat. Puncak dari peristiwa saat itu adalah Fatkhu Makkah. Maiyah sudah menjadi salah satu episode kehidupan kita, tetapi bukan berarti bahwa selamanya kita akna berhenti di Maiyah. Haryanto kemudian kembali mengajak Jama’ah untuk memasuki ruang Maiyah saat ini, jika memang kita mengidam-idamkan “Fatkhu Makkah” kita saat ini, yang harus kita pertanyakan terlebih dahulu adalah apakah kita sudah mempersiapkan “Madinah”” kita?, apakah kita sudah benar-benar siap dengan “Fatkhu Makkah” kita? Maka dari itu, yang dilakukan oleh Maiyah saat ini adalah menyempurnakan “Madinah” yang kita bangun sendiri untuk mempersiapkan diri kita menuju gerbang “Fatkhu Makkah” kita sendiri juga.

Kyai Muzammil dan Tanto Mendut
Kyai Muzammil dan Tanto Mendut

Cak Nun menambahkan, dalam definisi sederhana terminologi Rahmatan Lil ‘Alaamiin maka bisa juga diartikan bahwa rahmat itu tidak hanya lil muslimiin saja, lil mu’miniin saja, lil muhammadiyin saja, atau lil nahdhliyin saja. Tetapi benar-benar lil ‘alamiin, untuk alam semesta. Pemahaman Rahmatan lil ‘alamiin ini harus disadari bahwa Islam bukan hanya rahmat bagi Islam itu sendiri, tidak juga hanya untuk penduduk bumi saja, melainkan benar-benar rahmat untuk alam semesta dan yang ada didalamnya, termasuk makhluk-makhluk Allah baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Dalam dimensi yang lain kita mendapati bahwa gula itu manis dan api itu panas, sehingga ketika kita menemukan gula tetapi tidak manis maka bisa jadi itu bukan gula. Namun, kita harus tetap memiliki kesadaran bahwa manis itu tidak hanya berasal dari gula saja. Cak Nun kemudian melemparkan sebuah pertanyaan “Jadi mungkin nggak, rahmatan lil ‘alamiin itu muncul dari yang bukan muslimuun?”

“Maiyah tidak meng-ada-kan dirinya” [Cak Nun]

Maiyah mencoba menjadi produsen Rahmatan lil ‘alamiin, sehingga setiap orang yang berhubungan dengan Maiyah memiliki tanggung jawab sosial bahwa dirinya melalui output sosialnya berupa akhlak, perilaku, dan sebagainya menjadi rahmatan lil ‘alamiin, setidaknya rahmatan bagi ornag-orang di sekitarnya. Sehingga dalam Maiyah sendiri pun tidak dipersyaratkan siapa dia, dari mana dia berasal, bahkan sampai agamanya apa, tidak dipersoalkan oleh Maiyah. Karena yang menjadi landasan berfikirnya adalah kebaikan dalam dirinya yang menjadi produk sosialnya di mata masyarakat.

Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa Rahmatan lil ‘alamiin itu bukan hanya sholatnya atau puasanya seseorang saja. Melainkan ia adalah produk dari proses seseorang melatih dirinya, menempa dirinya ketika ia sholat atau ketika ia berpuasa. Kesalah fahaman manusia saat ini adalah bahwa agama diletakkan di ruang etalase, sehingga semua berdebat untuk mengaku siapa yang paling benar. Seharusnya, agama merupakan produsen dari sebuah produk yang diletakkan di etalase, sehingga tidak ada perdebatan apakah produk itu dibuat oleh NU, Muhammadiyah, LDII atau golongan yang lain, selama produk itu sehat dan halal maka kita tidak akan memperdebatkan siapa yang memproduksinya.

Dalam terminologi yang lain, Cak Nun mengibaratkan bahwa agama itu seperti seorang istri. Seorang suami tidak perlu memperdebatkan bahwa istrinya adalah yang paling cantik dihadapan laki-laki lainnya yang juga sudah memiliki istri masing-masing. Karena istri adalah bagian dari nyawa seorang suami bahkan seorang istri juga merupakan aurat bagi suaminya, sehingga tidak perlu seorang suami mempertandingkan istrinya dengan istri orang lain. Yang terjadi saat ini, orang mempertandingkan agama yang dianutnya dihadapan orang lain yang juga memiliki keyakinan sendiri terhadap agama yang dianutnya. Yang terjadi saat ini adalah seorang suami memaksakan laki-laki lain untuk bersepakat bahwa seorang wanita yang cantik adalah yang wajahnya bulat, hidungnya mancung dan sebagainya, padahal setiap orang memiliki selera yang berbeda.

Setelah Kiai Kanjeng membawakan nomor “Selaksa Cahaya”, Cak Yus kemudian mengutip pernyataan salah seorang sahabatnya tentang konsep Rahmatan lil ‘alamiin. Ada 3 jenis output dari Rahmatan lil ‘alamiin dalam diri seseorang, pertama; dia tidak merepotkan orang lain, kedua; bermanfaat untuk orang lain, ketiga; bermanfaat bagi seluruh alam semesta.

“Dengan sistem itu (Rahmatan lil ‘alamiin), selain dia selamat dan berguna dalam rentang hidupnya, dia juga selamat dan berguna dalam rentang nyawanya” [Sabrang]

Sabrang kemudian mengajak Jama’ah untuk berfikir secara logika. Dalam sebuah ayat di Al Qur‘an dijelaskan; wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin. Dari ayat ini dijelaskan bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidaklah diutus sebagai rasul melainkan untuk menjadi Rahmatan lil ‘alamiin. Sabrang mencoba menangkap pesan dari ayat ini secara logika sederhana, bahwa jika memang Nabi Muhammad SAW ini sebagai rahmatan lil ‘alamiin, maka ada sebuah sistem yang ditinggalkan dan diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada ummat manusia, bahkan untuk alam semesta. Anggaplah bahwa Rahmatan lil ‘alamiin ini adalah sebuah sistem. Sehingga memungkinkan apabila sistem tersebut berjalan maka orang-orang yang berada dalam sistem itu menjadi agen-agen yang tidak hanya menyebarluaskan tetapi juga menumbuhkan dan menyuburkan Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri.

“Dengan sistem itu (Rahmatan lil ‘alamiin), selain dia selamat dan berguna dalam rentang hidupnya, dia juga selamat dan berguna dalam rentang nyawanya”, lanjut Sabrang. Rentang hidup yang dimaksudkan oleh Sabrang adalah rentang waktu sejak manusia lahir dari rahim ibunya sampai kelak ia dicabut nyawanya, kemudian mati secara fisik. Sedangkan rentang nyawa adalah sejak pertama kali ruh ditiupkan (muncul kesadaran) hingga kelak ia nyawiji dengan Allah SWT. Ketika sistemRahmatan lil ‘alamiin ini kita sepakati sebagai sebuah sistem untuk menjadikan manusia aman dihadapan Allah, maka untuk mewujudkannya dan menjalankan sistem ini diperlukan sebuah metode dan analisis yang sangat mendalam, ditengah kesulitan yang kita hadapi saat ini dalam mencerna seperti apa sistem Rahmatan lil ‘alamiin yang dikehendaki oleh Allah sebenarnya. Kesulitan yang dihadapi oleh manusia saat ini bukan hanya soal apakah ia sudah bertemu dengan Tuhan atau belum, melainkan dalam proses perjalanan menuju Tuhan itu sendiri manusia harus berhadapan dengan berbagai macam madzhab dan golongan yang mengaku dirinya paling benar.

Sabrang menjelaskan bahwa “rahmat” itu sendiri bentuknya tidak bisa diidentifikasi dengan detail, bahkan tidak selamanya menyenangkan. Dalam satu momentum, hancurnya sebuah pohon bisa saja menjadi rahmat bagi pohon itu sendiri, atau juga bagi makhluk yang ada di sekitarnya. Salah satu contohnya ketika pohon ditebang, kemudian kayu dari pohon tersebut diolah menjadi barang yang baru seperti meja misalnya. Seperti halnya anak kecil, kasih sayang yang dia harapkan atau dia dambakan mungkin hanya sebatas tamasya bersama keluarga ke kebun binatang atau terwujud dalam sebuah mainan yang dibelikan oleh orang tuanya, setiap manusia akan menemukan dimensi-dimensi yang berbeda dalam menemukan rahmatnya sendiri.

Selayaknya sebuah alat atau media, maka sistem Rahmatan lil ‘alamiin ini juga sudah disiapkan buku panduannya; Al Qur’an. Sabrang mencoba menawarkan sebuah metode bagaimana menerapkan sistem Rahmatan lil ‘alamiin dengan menggunakan buku panduan Al Qur‘an.

Dalam Islam, ketika seseorang akan membaca Al Qur’an salah satu syaratnya adalah dia harus suci (bersih dari hadats kecil maupun besar), dalam sebuah ayat disebutkan : Laa yamassuhu illa-l-muthohharuun. Secara kasat mata, untuk bersuci dari hadats kita bisa menggunakan Wudhlu untuk bersuci. Ketika kita berwudhlu, Islam pun mengatur sedemikian rupa kalsifikasi air yang boleh digunakan untuk berwudhlu. Jenis air yang diperbolehkan untuk berwudhlu diantaranya adalah air mutlak (kudus) dan air musyammas (terjemur matahari). Sedangkan air yang tidak boleh digunakan untuk Wudhlu diantaranya adalah air musta’mal (yang sudah terpakai) dan air mutanajjis (yang tercampur dengan najis).

Sabrang menjelaskan bahwa proses Wudhlu seharusnya tidak hanya membersihkan secara wadag (kasat mata) saja, melainkan juga mampu mensucikan fikiran dan hati seseorang yang telah berwudhlu. Ketika ia akan membaca Al Qur’an setelah diawali dengan berwudhlu, maka ia sudah berada dalam situasi kesucian fikiran dan hati. Sehingga Al Qur’an benar-benar akan memberikan petunjuk kepada yang membacanya itu bahkan bisa jadi memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada dalam fikirannya, dan informasi yang terambil dari Al Qur’an akan dia dapatkan secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan dan relevansinya.

Sabrang mengibaratkan 4 jenis air tadi kedalam cara berfikir manusia. Air mutlak digambarkan dalam ruang fikiran yang jernih. Yang dimaksud dengan fikiran yang jernih atau murni adalah ketika cara berfikir manusia atau akal itu sendiri dibiarkan menemukan pengetahuan dengan kemurnian berfikirnya sendiri, ketika ia mencari tahu ia tidak investasi pendapat atau asumsi dalam fikirannya, yang dilakukan adalah melihat data dan mengumpulkan konsistensi data tersebut. Dalam ranah ilmu pengetahuan, lambang kesucian ini diibaratkan seperti Matematika. Dalam matematika 2 + 2 = 4, manusia tidak memiliki peluang untuk berdebat, berdiskusi atau bernegosiasi untuk kemudian merubah hasil dari 2 + 2 menjadi selain 4.

Air Musyammas jika digambarkan dalam cara berfikir manusia adalah sebuah cara berfikir yang tidak hanya menggunakan akal secara murni, tetapi sudah dipengaruhi oleh faktor yang lain. Misalnya, bagaimana manusia mencari pengetahuan melalui manusia yang lainnya sehingga cara pandangnya sudah terpengaruh oleh orang lain yang ia temui itu. Sehingga, dalam terminologi ini seorang manusia sudah melakukan investasi pendapat dan asumsi tentang apa yang ia cari ketika berfikir. Dalam ilmu pengetahuan, cara berfikir seperti ini adalah Fisika. Dalam Fisika, setiap eksperimen yang dilakukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya sudah ada, tidak murni sebagai eksperimen yang berdiri sendiri tanpa campur tangan pengetahuan sebelumnya. Sehingga yang terjadi adalah pengetahuan yang selalu berkembang.

Air musta’mal digambarkan oleh Sabrang dalam ranah cara berfikir adalah ketika kita menggunakan tafsir-tafsir orang lain yang digunakan untuk memahami sebuah pengetahuan. Misalnya dalam Ilmu Tafsir Al Qur’an itu sendiri dimana saat ini kita dihadapkan dengan berbagai jenis buku tafsir menurut ulama-ulama yang jumlahnya sangat banyak, ada Tafsir Ibnu Katsir, ada Tafsir Jalalain, ada Tafsir Al Misbah dan sebagainya.

Metode ini menurut Sabrang tidak bisa digunakan manusia lain selain penulisnya atau pentafsirnya sendiri untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan. Bahwa kemudian kita menggunakan metode si pentafsir dalam menafsirkan sebuah pengetahuan itu adalah sebuah cara, tetapi hasil tafsiran orang tersebut tidak bisa digunakan oleh kita, karena tafsirnya itu sudah menjadi media bagi si pentafsir untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan sebelumnya, sehingga ia adalah seperti air musta’mal. Ia adalah hasil perasan sebuah pengetahuan yang sudah digunakan oleh si pentafsir.

Jenis air yang keempat, Air mutanajjis jika dalam istilah air ia adalah air yang sudah terkontaminasi oleh kotoran. Dalam rangkaian cara berfikir, air mutanajjis adalah cara berfikir yang sudah terkontaminasi oleh motif dan tujuan sumber pemberi informasi. Yang paling dekat dengan istilah air mutanajjis dalam kerangka berfikir ini adalah informasi dari media massa. Karena informasi di media massa saat ini hampir semuanya mengandung pembiasan, tujuan dan agenda-agenda dari penulis informasi atau yang berkuasa dalam corong informasi yang kita sebut media massa itu sendiri. Sabrang menjelaskan bukan berarti kita menolak 100% kepada informasi yang diberikan oleh media massa, tetapi yang harus disadari adalah bahwa informasi dari media massa tidak bisa kita gunakan untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan layaknya air mutlak atau air musyammas tadi. Yang paling mungkin dilakukan dari informasi yang didapatkan dari media massa adalah menyaringnya dan mensucikan kembali informasi tersebut. Sehingga sangat mustahil manusia akan menjadi Rahmatan lil ‘alamiin jika air yang digunakan untuk bersuci ketika membaca buku manual Al Qur‘an adalah air mutanajjis.

“Semakin dekat kita bersuci kepada Tuhan, maka akan semakin dekat posisi kita untuk bisa mengejawantahkan Rahmatan lil ‘alamiin di dunia” [Sabrang]

Sabrang juga mengingatkan bahwa apa yang disampaikan olehnya merupakan bentuk air musta’mal, sehingga Jama’ah diminta untuk mengolah kembali dan meng-ijtihadi kembali, bahkan harus memiliki daulat dalam dirinya sendiri dalam menggunakan metode ini. Menurut Sabrang, ketika kita memiliki kemerdekaan dalam mengambil ilmu pengatahuan yang ada, baik dari Al Qur’an, alam atau dari diri sendiri, kita akan memiliki kemampuan yang lebih jelas lagi dalam menentukan diri kita untuk menjadi agen Rahmatan lil ‘alamiin sekaligus untuk “berwudhlu” dihadapan Tuhan. Tetapi kita harus tetap waspada terhadap informasi-informasi yang sampai kepada kita, sehingga pada sebuah momentum kita bisa mencapai tingkatan “air mutlak” dalam menggunakan Al Qur‘an untuk menuju sistem Rahmatan lil ‘alamiin.

Mas Tanto Mendut kemudian mencoba menjelaskan bagaimana konsep Rahmatan lil ‘alamiin dalam khasanah budaya Jawa. Mas Tanto hanya mencontohkan satu dari sekain banyak budaya; Wayang. Dari sekian banyak tokoh-tokoh pewayangan yang ada, jika dicermati akan kita dapati kekayaan pengetahuan si pencetus kesenian Wayang itu sendiri. Dalam Wayang, kita akan menemukan representatif dari sekian jenis manusia berdasarkan ras, suku dan agama. Fakta ini menurut Mas Tanto merupakan hasil dari pembelajaran yang menggunakan alam sebagai sumber utama pengetahuan si pembuat Wayang sehingga ia mampu mewujudkan keanekaragaman bentuk mahkluk Allah dalam wujud Wayang. Dari contoh ini saja Mas Tanto mendut sudah memiliki kesimpulan bahwa Jawa juga sudah mencapai tingkatan Rahmatan lil ‘alamiin sejak zaman dahulu.

Menyambung dari penjelasan Sabrang, menurut Mas Tanto Mendut saat ini manusia kebanyakan mendefinisi sebuah kebenaran berdasarkan “adalah” yang dikembangkan oleh orang lain, manusia pada akhirnya tidak memiliki kemerdekaan dalam berfikir karena yang ia gunakan adalah hasil fikiran orang lain. Manusia saat ini mendefinisikan sesuatu bukan hasil dari ijtihadnya sendiri. Mas Tanto sendiri mencontohkan bahwa dalam hubungannya selama ini dengan Cak Nun, Mas Tanto lebih mendefinisikan Cak Nun sebagai seorang musisi, bukan sebagai sastrawan.

Ini merupakan kebebasan seorang Mas Tanto Mendut dalam menakar kualitas seseorang, jika di mata orang lain Cak Nun mungkin dianggap sebagai seorang Sastrawan atau Penyair, tetapi dimata Mas Tanto Mendut, Cak Nun adalah seorang musisi. Menarik benang merah kedalam pengertian agama, seharusnya manusia mendefiniskan agama berdasarkan “adalah”-nya Tuhan, bukan berdasarkan manusia lainnya, sehingga tidak akan terjadi perdebatan dan pertentangan satu sama lain yang menganggap dirinya merasa paling benar.

Pemahaman Mas Tanto Mendut pada kata Alam yang terdapat dalam Rahmatan lil ‘alamiin adalah Alam. Alam dijadikan sebagai sumber utama pengetahuan, sehingga hasil dari olahan pengetahuan itu sendiri adalah kebenaran yang alami.

Kyai Muzammil kemudian bercerita bahwa pada awalnya ia ingin memberi nama Pondok Pesantrennya dengan nama Rahmatan lil ‘alamiin, tetapi beliau khawatir suatu hari dianggap yang tidak-tidak sehingga kemudian dinamai Rohmatul Umam. Kiai Muzammil kemudian menjelaskan bahwa umam adalah jamak dari umat, dan dalam Al Qur’an umat dijelaskan bukan hanya umat islam saja, bahkan juga bukan hanya manusia. Sehingga cakupan Rahmatan lil ‘alamiin sudah pasti akan luas sekali.

Mengutip ayat Al Qur’an yang berbunyi; wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin, Kiai Muzammil memiliki pemahaman yang mungkin berbeda dengan kebanyakan orang. Dalam ayat ini yang difahami oleh Kiai Muzammil konteks Rahmatan lil ‘alamiin ini bukan sosok Muhammad-nya, melainkan peristiwa Allah mengutus Muhammad menjadi Rasul di muka bumi ini yang kemudian diejawantahkan menjadi Rahmatan lil ‘alamiin. Bahwa dalam kalimat illa rahmatan lil ‘alamiin dalam ayat itu kemudian menjadi sebuah pakem bahwa diutusnya Muhammad SAW sebagai Rasul adalah untuk menjadi Rahmatan lil ‘alamiin itu sendiri, dan dapat difahami dari ayat ini bahwa Nabi Muhammad SAW juga menjadi Rahmat tidak hanya untuk umat Islam saja, melainkan untuk seluruh alam semesta ini. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas lagi Kiai Muzammil menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya yang Rahmatan lil ‘alamiin, seandainya ada elemen dalam Islam yang kemudian membuat dirinya tidak Rahmatan lil ‘alamiin, maka dia bukan Islam.

Kyai Muzammil kemudian bercerita pengalamannya ketika dalam sebuah pertemuan dengan beberapa Ulama di Jawa Timur ketika membahas sebuah tema dibolehkannya membunuh orang yang murtad. Ulama tersebut menggunakan sebuah landasan peristiwa ketika Khalifah Abu Bakar Ashiddiq membunuh orang-orang yang murtad. Kyai Muzammil memiliki penafsiran yang berbeda dalam peristiwa ini, bahwa menurut Kyai Muzammil saat itu Abu Bakar memposisikan dirinya sebagai pemimpin umat, sehingga dia berada dalam ruang jabatan politik. Penyebab dibunuhnya orang-orang murtad oleh Khalifah Abu Bakar saat itu, karena mereka dianggap sebagai gerakan separatis yang berpotensi mengganggu jalannya roda pemerintahan dibawah kepemimpinan Abu Bakar Asshiddiq saat itu, sehingga landasan utama membunuh orang-orang murtad tersebut bukan kemurtadannya melainkan potensi separatisnya yang mengganggu pemerintahan. Dan hal ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan agama. Kalaupun kemudian menjadi landasan pemikiran politik, itu merupakan suatu hal yang masih mungkin dilakukan, karena setiap penguasa politik pasti memiliki sensitifitas yang tinggi terkait ancaman terhadap kekuasaannya.

Nabi Muhammad SAW benar-benar mengaplikasikan konsep Rahmatan lil ‘alamiin ini selama hidupnya, ketika beliau masih muda beliau sudah diberi gelar Al Amiin, sehingga banyak sekali orang yang sangat percaya kepada beliau. Begitu juga ketika sudah dilantik secara resmi menjadi Rasul, beliau tidak pernah dendam kepada orang-orang yang menyakitinya, bahkan seorang Abu Jahal sekalipun ketika sakit justru Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama kali menjenguknya. Kyai Muzammil kemudian menyimpulkan, apabila landasan berfikir dibunuhnya seseorang karena kemurtadannya maka hal ini jelas akan bertentangan dengan konsep Rahmatan lil ‘alamiin.

Terkait kesalah fahaman pemaknaan kata Jihad, Kyai Muzammil menduga salah satu akibatnya adalah kesalah fahaman pembelajaran dalam Kitab Fatkhul Mu’in. Dalam Kitab tersebut dinyatakan bahwa Jihad hukumnya Fardlu Kifayah dan harus dilaksanakan minimal setahun sekali. Salah satu kesalahan pemahamanannya adalah bahwa Jihad hanya dimakanai dengan memerangi orang kafir dengan berperang menggunakan senjata. Ada hal yang cukup membahayakan menurut Kyai Muzammil tentang kesalahan penafsiran Jihad dalam kitab ini, pertama; Jihad ditafsirkan sebagai kegiatan memerangi orang-orang kafir dalam bentuk peperangan. Kedua; jihad dihukumi dengan fardhlu kifayah, sehingga apabila tidak ada satupun umat Islam yang melakukannya maka seluruh umat Islam di dunia akan berdosa.

Tidak mengherankan ketika banyak ulama-ulama yang kemudian terinfiltrasi oleh sekelompok golongan atau aliran yang menyaurakan propaganda bahwa Jihad adalah memerangi orang-orang kafir. Kitab Fatkhul Mu’in ini sendiri merupakan sebuah kitab yang dikarang oleh bukan orang Arab, melainkan oleh orang India. Kyai Muzammil kemudian memiliki kesimpulan, bahwa kata Jihad ini juga perlu ada pembahasan ulang lagi, sehingga dapat mendefinisikan kembali apa hukum berjihad dan peristiwa apa saja yang memang kemudian dapat disebut sebagai Jihad. Kiai Muzammil berpendapat bahwa kitab-kitab kuning disusun di belahan bumi Arab yang situasi dan kondisinya tidak sama dengan Indonesia, sehingga perlu pengkajian ulang untuk memahami apa yang dituliskan oleh ulama-ulama dalam kitab-kitab tersebut.

Cak Nun kemudian memuncaki Mocopat Syafaat dengan sebuah harapan bersama agar semua yang hadir diceraikan dari selain air mutlak dalam pribadi masing-masing, dan yang tersisa hanyalah kesucian yang berasal dari Allah swt.

Mocopat Syafaat ditutup dengan rangkaian sholawat “Alfu Salam” dan “Nurul Musthofa” yang dipimpin oleh Cak Nun dan diiringi Kiai Kanjeng kemudian do’a oleh Kyai Muzammil. [Red KC/Fahmi Agustian]

Foto: Array
Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version