Membangun Kepengasuhan Perkauman Maiyah
Majelis Ilmu Maiyah digagas dan dibangun dengan terkandung cita-cita di dalamnya selain sebagai media tukar pikiran, tempat untuk menggodog gagasan, sarana untuk menggembleng cara berpikir, wahana untuk mengolah rasa, serta bisa saja perkembangannya untuk merancang strategi, juga diharapkan akan melahirkan manusia-manusia maiyah yang memiliki greget atau ghirah (compassion) yang berjiwa kepengasuhan baik bagi dirinya, keluarga, maupun komunitas di sekelilingnya.
Kita sangat sadar bahwa untuk menuju cita-cita itu bukanlah kerja semudah membalik tangan. Dibutuhkan prasyarat-prasyarat berupa sistem pendukung yang memadai. Fungsi mengelola dan mengolah pengalaman secara terus menerus harus berjalan dengan baik, sehingga tidak hanya sekadar mereproduksi pengetahuan yang sudah usang, tetapi juga memproduksi pengetahuan baru yang lebih bermakna dan berdayaguna.
Seorang pengasuh tidak hanya seperti seekor laba-laba yang membuat jejaring mirip seorang penenun, atau seekor lebah yang mirip arsitek yang sedang merancang satu kontruksi bangunan.
Seorang arsitek berbeda dengan seekor lebah karena sang arsitek memiliki rancangan sebelum merealisasikan gagasannya. Meskipun lebah sangat ahli mengidentifikasi bunga-bunga yang dibutuhkan untuk memproduksi madu, namun tetap saja makhluk itu hanya sebatas melakukan ‘adaptasi’ terhadap lingkungan alamnya. Manusia Maiyah justru ‘memaknai’ lingkungannya untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi. Walaupun laba-laba sangat terampil membuat jejaring dan lebah ahli memproduksi madu, laba-laba tetaplah laba-laba dan lebah tetaplah lebah, keduanya tidak akan dapat menjadi lebih dari laba-laba dan lebah.
Saya tidak ingin mempertandingkan antara laba-laba dan lebah dengan manusia — karena, dalam masa kapanpun dan keadaan apapun, laba-laba tidak terpengaruh dan berubah, tetap saja harus membuat jejaring seperti sediakala. Demikian juga lebah, tetap mengikuti irama alam untuk memproduksi madu. Berbeda dengan seorang pengasuh yang tidak serta merta dan dengan sendirinya menghasilkan suatu karya bersama umat manusia lainnya. Ada banyak faktor yang mendasari dan mempengaruhi karya kepengasuhan, yakni mengikhtiarkan tatanan kehidupan yang Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur.
Kerja-kerja kepengasuhan Maiyah di masyarakat akan semakin menghadapi berbagai perubahan, kesulitan, dan tantangan yang kian majemuk. Melihat realitas orang-orang Maiyah yang kini pada umumnya memilih berada di wilayah ‘pinggiran’, secara kultural biasanya juga secara geografis — jauh dari pusat-pusat arus utama sosial-politik dan ekonomi berkuasa, menghadapi berbagai carut-marut serta ingar-bingar kehidupan kontemporer modern. Semuanya itu dengan sangat mudah menjebak seorang “pengasuh” merasa terperangkap dalam ‘kesunyian’. Apalagi jika dia memang ternyata juga dilahirkan oleh zaman dari masa dan lingkungan kehidupan yang ‘bernafas pendek’ dan cenderung menyukai ‘jalan pintas’. Hanyalah greget atau ghirah (compassion) seorang pengasuh masyarakat yang mampu bertahan menghadapi seluruh tatanan kehidupan kita saat ini, suatu tatanan kehidupan yang cenderung semakin pragmatis. Pengalaman menunjukkan bahwa greget atau ghirah (compassion) semacam itu semakin berat, rumit, bahkan terkadang terasa musykil ditumbuhkan di zaman yang kian memuja berhala kebendaan.
Semakin ke depan, permasalahan yang dihadapi para pengasuh Maiyah jelas makin berat. Tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya modern saat ini dan di masa depan jelas makin menjauh dari ukuran-ukuran kebersamaan kolektif (perkauman Maiyah). Karena dalam kenyataannya, warga masyarakat kita semakin asik menyaksikan televisi di ruang tengah rumah masing-masing. Untuk mengajak mereka berkumpul dan bertukar pikiran menjadi suatu pekerjaan yang kian repot dan susah. Perbincangan langsung tatap-muka nyaris sudah tergantikan oleh pembicaraan melalui telepon genggam. Bahkan sampai ke pelosok desa terpencil pun, semakin banyak warga yang mengkonsumsi barang-barang yang tidak mereka hasilkan sendiri. Boleh dikata, seluruh tatanan nilai dan keyakinan tradisi, bahkan selurah gambaran tentang martabat, harga diri, dan cita-cita telah melesat justru ke arah yang berlawanan dari nilai-nilai kepengasuhan maiyah.
Bahkan institusi negara yang semula dibentuk untuk melindungi proses-proses daya kreatif dan produktif warganya, malah semakin cenderung membiarkan bahkan mendorong warganya untuk memamah apa saja yang sudah dihasilkan oleh ‘mesin-mesin kekuasaan raksasa’ bernama sistem pasar, partai politik, dan media massa. Sampai tingkat tertentu, dalam banyak hal, mesin-mesin mass production itu bahkan telah mempencundangi negara, sehingga tak heran jika ada yang mulai mempertanyakan: “Apakah negara memang masih ada dan perlu?”
Maka membayangkan perwujudan kehidupan Maiyah merupakan tantangan di masa kini dan mendatang. Ada yang telah mencibir dan mencabar cita-cita itu sebagai tak lebih dari suatu utopia, mimpi yang tak pernah tergapai.
Namun orang-orang Maiyah sudah terbiasa dengan segala macam keterbatasan, seluruh kelemahan, kekurangan bahkan juga kesalahan mereka selama ini, dan itu bukanlah dosa apalagi kejahatan. Maka pengakuan jujur atas seluruh kekurangan, kelemahan yang akan diutarakan dalam Silaturahmi Nasional Penggiat Maiyah di Magelang justru merupakan penolakan terhadap pembohongan atau penelikungan terhadap kenyataan bagi diri sendiri.
Selamat Bermesraan Melingkar,
Toto Rahardjo (Tohar)