CakNun.com

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 25 menit

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo. Tentu saja sebagaimana pada Maiyahan dimanapun saja, semua selalu dipuncaki hingga menembus tengah malam. Termasuk di Sidoarjo, Maiyahan selesai hampir pukul 02:00 WIB pada tanggal 7-nya, kemudian Cak Nun dan KiaiKanjeng bergegas kembali ke Yogyakarta untuk kamis sorenya melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana cara mereka menjaga staminanya, menyusun peralatan gamelannya, lalu membongkarnya kembali, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menempuh berkilo-kilo meter dari satu desa ke desa, dari satu kota ke kota lainnya,  berturut-turut dijadwalkan oleh masyarakat dari satu tempat kesatu tempat lainnya untuk melayani masyarakat, bertemu dengan ribuan orang, berdiskusi, menampung dan mencari solusi dari berbagai masalah disetiap tempat dengan ragam problematika yang bermacam-macam. Tak heran apabila angka perjalanan mereka menembus ribuan perjalanan baik didalam negeri maupun dimancanegera. Tak ada wajah letih dimereka, sumringah, selalu menampakkan wajah yang segar dan akrab dalam melayani masyarakat.

Siang itu, sudah tampak kesibukan di lapangan parkir Taman Ismail Marzuki, tempat dimana Kenduri Cinta dilangsungkan selama hampir 15 tahun. Penggiat Kenduri Cinta menyiapkan beberapa keperluan teknis dilapangan, memeriksa tenda yang sudah terpasang, memasang backdrop, juga memastikan peralatan sound yang sudah mulai dipasang, sementara itu kru KiaiKanjeng mulai mengeluarkan perangkat gamelan dari bis yang digunakannya sejak dari Surabaya, kemudian menatanya. Sebagian penggiat Kenduri Cinta lainnya menemani KiaiKanjeng yang sedang beristirahat dan menyiapkan beberapa keperluan lainnya.

Tak terasa jam bergeser menuju pukul setengah delapan malam, tampak KiaiKanjeng masih melakukan check sound di panggung Kenduri Cinta. Beberapa jamaah yang sudah hadir pun turut menikmati beberapa nomor-nomor KiaiKanjeng yang dibawakan saat check sound. Sebagian lainnya tampak menikmati hidangan yang dijajakan di pojok angkringan, juga ada yang tampak asyik menikmati kopi panas dan kacang rebus yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang sudah menggelar lapaknya di sekitar pelataran Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta bulan Mei ini memang spesial, mengangkat tema “KiaiKanjeng Of The Unhidden Hand” untuk menggali perjalanan KiaiKanjeng, belajar dari proses hidup mereka, agar jamaah Maiyah Kenduri Cinta tidak ahistoris terhadap KiaiKanjeng. Jamaah Maiyah secara luas sangat perlu dan penting untuk mengetahui sejarah perjalanan Gamelan KiaiKanjeng.

Setelah menyelesaikan sesi check sound, personel KiaiKanjeng kemudian menuju tempat transit untuk melakukan breefing sebelum acara. Tepat pukul delapan malam Kenduri Cinta diawali dengan pembacaan surat Yasiin yang dibacakan untuk Wiwit Widyanto, salah satu Jamaah Maiyah yang meninggal pada jum’at siang dalam perjalanan menuju Kenduri Cinta, juga ditujukan untuk Ibu Hery Listyawati, Istri Duta Besar Indonesia untuk Pakistan yang meninggal dalam sebuah kecelakaan Helikopter di Pakistan, yang merupakan kerabat dari Cak Nun, juga tak lupa untuk Nazhim Abady jamaah Maiyah Bojonegoro yang meninggal 3 Mei lalu.

Belajar Kesetiaan dan Komitmen Kepada KiaiKanjeng

Setelah pembacaan Surat Yasiin, Fahmi dan Luqman memandu diskusi sesi pertama untuk menggali pengetahuan jamaah Kenduri Cinta tentang KiaiKanjeng berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. Beberapa jamaah cukup menarik dalam memberikan kesan-kesan mereka dalam persambungannya dengan KiaiKanjeng. Tidak bisa dipungkiri bahwa perjalanan Maiyah sejauh ini juga tidak bisa dilepaskan dari peran KiaiKanjeng yang hingga saat ini sudah melakukan pementasan lebih dari 3600 kali yang tidak hanya menjangkau wilayah Indonesia saja, melainkan sudah lintas negara bahkan lintas benua.

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand
KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Fachri misalnya, memiliki pengalaman tersendiri ketika pertama kali hadir dalam Maiyahan di UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2007 silam. Kesan pertama yang didapatkan oleh Fachri pada saat itu adalah bahwa Cak Nun bersama KiaiKanjeng menawarkan alternatif lain melihat persoalan di Indonesia. Eka yang pertama kali mengenal KiaiKanjeng melalui sebuah video di youtube memberikan sebuah kesan bahwa KiaiKanjeng bersama Cak Nun berhasil memadukan dan mengaransemen semua jenis genre musik untuk dimainkan oleh KiaiKanjeng. Eka sangat terkesan bagaimana KiaiKanjeng berhasil mengaransemen berbagai macam lagu yang berasal dari berbagai daerah dan bahkan lintas zaman. Syi’ir Tanpo Waton adalah salah satu nomor yang berhasil diaransemen ulang oleh KiaiKanjeng yang notabene tembang tersebut adalah tembang yang cukup lama tidak dikenal oleh masyarakat luas. Syi’ir Tanpo Waton seakan melengkapi karya-karya KiaiKanjeng sebelumnya yang berhasil diaransemen ulang; Tombo Ati dan Ilir-ilir. Pada dimensi yang lain, KiaiKanjeng juga berhasil mengaransemen Sholawat An Nabi dengan apik, begitu juga ketika mengaransemen ulang Heal The World milik Michael Jackson. 3 contoh nomor yang diaransemen ulang oleh KiaiKanjeng tersebut sudah cukup membuktikan bahwa KiaiKanjeng adalah grup musik yang mampu menampung semua jenis musik yang ada di dunia saat ini.

Adi Pudjo, salah satu penggiat Kenduri Cinta mengambil sebuah point yang paling penting dari KiaiKanjeng; Konsistensi. Konsistensi yang ditunjukkan oleh KiaiKanjeng sejauh ini merupakan wujud dari pelayanan kepada masyarakat luas yang benar-benar total. Dalam perjalanannya, KiaiKanjeng tidak hanya bersentuhan dengan masyarakat di kota-kota besar, namun juga menjangkau masyarakat yang ada di pedesaan. Segmentasi masyarakat yang disambangi oleh KiaiKanjeng juga lintas usia, mulai dari anak-anak kecil hingga orang yang sudah tua. Tidak jarang dalam perjalanannya KiaiKanjeng melatih anak-anak kecil untuk bersholawat, melatih bagaimana cara memukul terbang, bahkan ketika di Australia para siswa disana juga belajar bagaimana cara memukul Saron dan Demung.

Imam Sapargo yang pertama kali hadir di Kenduri Cinta tahun 2007 dimana pada saat itu tidak memiliki gambaran apa-apa tentang Kenduri Cinta atau sosok Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sepakat dengan apa yang disampaikan Adi Pudjo sebelumnya, menurut Imam bahwa konsistensi KiaiKanjeng dalam menemani masyarakat adalah sebuah hal yang sudah selayaknya kita apresiasi bersama. Imam kemudian bercerita pengalaman mengikuti Maiyah Situ Gintung pasca jebolnya tanggul Situ Gintung pada tahun 2009 silam. Lain lagi dengan kesan Didik Setiawan yang memiliki kesan tersendiri tentang persambungan KiaiKanjeng dengan alm Mbah Surip. Bagi Didik, sosok Mbah Surip begitu memberi pelajaran yang sangat berharga tentang orisinalitas. Didik sendiri yang pernah menjadi pengamen dan pernah ngobrol bersama Mbah Surip, pada satu kesempatan dia dinasehati oleh Mbah Surip agar bangga membawakan lagu karya sendiri. KiaiKanjeng seakan melengkapi pesan Mbah Surip tersebut, bahwa sudah sepatutnya kita bangga dengan karya-karya sendiri. KiaiKanjeng, selain menghasilkan karya-karya yang baru, hasil aransemen ulang lagu-lagu asli bangsa Indonesia merupakan sebuah ijtihad yang nyata untuk kembali mempopulerkan dan mengenalkan lagu-lagu lawas tersebut kepada masyarakat luas.

Musthofa, salah seorang jama’ah asal Tegal yang ternyata akhir-akhir ini selalu “mengejar” pagelaran KiaiKanjeng memiliki kesan yang begitu dalam tentang lagu Ilir-Ilir. Pada suatu hari, bersama keluarganya ketika ia masih kecil mendengarkan lagu ilir-ilir aransmen KiaiKanjeng dari sebuah tape recorder yang kecil, berkumpul bersama anggota keluarganya mendengarkan lagu tersebut, bahkan lagu tersebut sampai dihafalkan oleh seluruh anggota keluarganya. Lagu Jaman Wis Akhir juga memiliki kesan tersendiri bagi Musthofa.

Dari penggalian-penggalian beberapa jama’ah ternyata kesan mereka terhadap KiaiKanjeng sendiri sangat beragam. Ada yang mengenal KiaiKanjeng lebih dahulu daripada sosok Cak Nun sendiri, ada yang mengenal melalui youtube. Ada yang mengenal KiaiKanjeng sejak masih zaman kaset, sehingga mengoleksi album-album awal KiaiKanjeng seperti Kado Muhammad dan Jaman Wis Akhir. KiaiKanjeng memiliki tempat tersendiri di hati jamaah Kenduri Cinta.

Ada salah satu jamaah Kenduri Cinta awal yang juga memberikan kesan yang cukup mendalam, Immanuel Simson. Kesan yang ia tangkap adalah bagaimana Cak Nun bersama KiaiKanjeng sangat menjunjung dan menghormati perbedaan. Menurutnya, KiaiKanjeng berhasil membongkar sekat-sekat yang sebelumnya memisahkan antar kelompok. Ia juga sangat berkesan dengan aransemen Silent Night yang pernah dibawakan di Kenduri Cinta oleh KiaiKanjeng yang kemudian dipadukan dengan Sholawat.

Nanang, yang berasal dari Magelang bercerita bagaimana proses perkenalannya dengan KiaiKanjeng melalui Kado Muhammad dan Tombo Ati. Ia bercerita bagaimana dulu ada sebuah radio di Jogja; Prima Nusa yang hampir selalu menyiarkan pagelaran KiaiKanjeng di Jogja dan sekitarnya melalui radio. Apa yang dilakukan oleh Radio Prima Nusa saat itu hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh AdiTV Jogja saat ini.

Sulitnya Menentukan Posisi yang Tepat bagi Gamelan KiaiKanjeng

Setelah sesi berbagi cerita dan pengalaman terkait persentuhan jamaah dengan KiaiKanjeng, Kenduri Cinta melanjutkan sesi Sinau Sholawat yang langsung dipandu oleh Islamiyanto dan Imam Fatawi dari KiaiKanjeng. Jamaah secara bersama-sama dipandu untuk melantunkan Wirid Padhang Bulan, Hasbunallah dan Shohibu Baiti.

Setelah memimpin wirid dan sholawat, Islamiyanto kemudian diminta oleh Luqman untuk bercerita tentang KiaiKanjeng. Islamiyanto mengibaratkan KiaiKanjeng seperti santan hasil dari buah kelapa yang telah mengalami proses sedemikian panjang sebelum menjadi santan. Tetapi ketika santan tersebut kemudian dicampur dengan bahan makanan lain, ia tidak disebut. Kolak Pisang misalnya, tidak ada yang menyebut Santan Pisang misalnya. Disitulah KiaiKanjeng menurut Islamiyanto.

Erik Supit bersama Beben Jazz menyambungkan dari diskusi sesi pertama menuju sesi berikutnya untuk menggali lebih dalam lagi mengenai KiaiKanjeng. Jika pada diskusi sesi pertama jamaah yang dimintai pendapat tentang KiaiKanjeng, pada diskusi sesi kedua lebih kepada penggalian internal KiaiKanjeng. Hadir pula Bambang Isti Nugroho dan Simon HT, dua orang sahabat Cak Nun yang juga merupakan saksi perjalanan KiaiKanjeng. “Ibaratnya malam ini adalah malam KiaiKanjeng. Segala sesuatu tentang KiaiKanjeng akan kita bicarakan malam ini”, lanjut Erik.

Toto Rahardjo yang juga merupakan salah satu pendiri KiaiKanjeng kemudian bercerita bagaimana awal mula KiaiKanjeng lahir. Pada awalnya, Cak Nun menyusun sebuah naskah teater yang berjudul “Pak Kanjeng”, dimana dalam pementasan ini tokoh Pak Kanjeng mewakili sosok salah satu tokoh masyarakat di Kedungombo; Pak Jenggot, yang menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali pada saat Pemerintahan Soeharto berkuasa. Pembangunan waduk ini pada prosesnya kemudian menggusur persawahan milik warga sekitar untuk dijadikan waduk Kedungombo. Tokoh Pak Kanjeng sendiri diperankan oleh 3 orang yang berbeda dalam pementasan ini; Joko Kamto, Novi Budiyanto dan Butet Kertarejasa. Djadug Ferianto juga terlibat dalam pementasan ini sebagai pengaransemen musik yang mengiringi “Pak Kanjeng”. Teater “Pak Kanjeng” ini adalah titik awal perjalanan kesenian KiaiKanjeng yang langsung bersentuhan dengan dinamika politik Indonesia di zaman Orde Baru.

“Perjalanan KiaiKanjeng hampir tidak pernah lepas dari konteks sosial, budaya dan politik” – Erik Supit –

Pementasan “Pak Kanjeng” ini kemudian dicekal di beberapa kota, hingga kemudian diputuskan untuk tidak dipentaskan kembali. Kemudian lahirlah Komunitas Pak Kanjeng. Pada prosesnya kemudian Djadug dan Butet memutuskan keluar dari Komunitas Pak Kanjeng. Sedangkan Joko Kamto dan Novi Budiyanto bertahan di Komunitas Pak Kanjeng bersama Cak Nun, hingga kemudian lahirlah Gamelan KiaiKanjeng. Lebih jauh lagi, Toto Raharjo berkisah bagaimana Kelompok Karawitan Dinasti yang menjadi embrio awal Komunitas Pak Kanjeng. Novi Budianto bersama Cak Nun melalui Karawitan Dinasti melahirkan konsep Musik Puisi yang merupakan sebuah genre baru dalam pembacaan puisi saat itu.

Bambang Isti Nugroho yang merupakan salah satu saksi sejarah Teater Karawitan Dinasti kemudian bercerita bagaimana awal perkenalan dengan Cak Nun. Melalui puisi-puisi Cak Nun yang ia temukan di Majalah Horison yang ia beli di toko-toko loak, Isti Nugroho kemudian mengikuti perjalanan Kelompok Karawitan Dinasti. Jangan dibayangkan bahwa pada saat itu acara seperti Kenduri Cinta diberi kebebasan untuk dilaksanakan, kebebasan adalah sebuah hal yang sangat mahal ketika Orde Baru berkuasa. Isti Nugroho yang sempat ditahan di LP Wirogunan, Yogyakarta selama 8 tahun atas tuduhan tindakan subversif ini tidak mengikuti proses lahirnya Gamelan KiaiKanjeng. Namun dari kisah yang ia ceritakan dapat digambarkan bagaimana perjalanan Cak Nun bersama sahabat-sahabatnya sudah sangat keras menentang Soeharto saat itu. Sehingga dalam sebuah pementasan saat itu, ketika selesai pementasan salah satu yang tersirat dalam benak setiap orang yang terlibat dalam pementasan adalah borgol. Karena ekspresi protes terhadap rezim Orde baru, dalam bentuk apapun sudah pasti akan ditangkap oleh aparat, dan Isti Nugroho adalah salah satu orang yang pernah merasakan penjara di masa Orde Baru.

“KiaiKanjeng sudah melewati berbagai rezim, mulai dari Soeharto sampai hari ini. KiaiKanjeng sudah melewati berbagai dinamika sosial, politik dan kebudayaan. Dan sampai detik ini, KiaiKanjeng masih eksis. KiaiKanjeng sangat fenomenal dan memiliki masa depan” – Bambang Isti Nugroho –

Tidak banyak kelompok musik yang mampu bertahan seperti yang dijalani oleh Gamelan KiaiKanjeng yang dimulai dari Kelompok Musik Karawitan Dinasti ini. Menurut Isti Nugroho, Cak Nun bersama Gamelan KiaiKanjeng bukan hanya sekedar musik, tetapi alunan nada yang keluar dari alat-alat musik Gamelan KiaiKanjeng sanggup mengisi relung-relung jiwa manusia yang hadir dalam setiap pementasan Gamelan KiaiKanjeng itu sendiri. KiaiKanjeng mampu memasuki jiwa-jiwa manusia yang ingin menemukan kebenaran, ingin menemukan keadilan yang disuarakan. Musik Puisi yang ditampilkan oleh Kelompok Musik Karawitan Dinasti sendiri diakui oleh Bambang Isti Nugroho adalah salah satu faktor yang merubah cara berfikirnya pada saat itu, hingga pada akhirnya ia menemukan ruangan dan wilayahnya sendiri dalam dunia pergerakan pemuda pada dekade 80-an.

Simon Hasbuan Tambunan, atau yang lebih dikenal dengan Simon HT yang juga merupakan salah satu sahabat Cak Nun kemudian dipersilahkan oleh Toto Rahardjo untuk berkisah tentang kesaksiannya terhadap perjalanan Gamelan KiaiKanjeng dan Cak Nun. Gamelan KiaiKanjeng, dan sudah diawali oleh Kelompok Musik Karawitan Dinasti memiliki nilai lebih yang menurut Simon HT tidak dimiliki oleh Kelompok atau Grup musik yang lain, nilai lebih yang dimaksud adalah pendidikan politik yang murni yang selalu disampaikan oleh Cak Nun dalam setiap pementasannya bersama Gamelan KiaiKanjeng atau dulu bersama Kelompok Musik Karawitan Dinasti. Selain itu, Gamelan KiaiKanjeng ini menawarkan cara berfikir yang berbeda dari kebanyakan cara berfikir yang sudah ada dalam menyikapi sebuah persoalan yang dihadapi masyarakat, baik itu persoalan sosial, budaya, hukum, politik hingga agama. Hal ini yang juga menjadi daya tarik tersendiri dari Gamelan KiaiKanjeng.

Gamelan KiaiKanjeng ini menawarkan cara berfikir yang berbeda dari kebanyakan cara berfikir yang sudah ada dalam menyikapi sebuah persoalan yang dihadapi masyarakat, baik itu persoalan sosial, budaya, hukum, politik hingga agama. – Simon HT –

Keindahan lain yang tidak kalah menarik dari Gamelan KiaiKanjeng menurut Simon HT adalah jika kelompok musik mainstream biasanya memiliki wadah fans club untuk para pemujanya, hal ini tidak berlaku dengan KiaiKanjeng. Siapapun yang mencintai KiaiKanjeng tidak terbatas dalam sebuah ruangan kecil bernama fans club. Dimanapun KiaiKanjeng hadir, masyarakat selalu ramai memadati tempat pagelaran Gamelan KiaiKanjeng tampil. Toto Rahardjo kemudian nyelethuk; “Saya juga tidak tahu apakah setiap pagelaran KiaiKanjeng ini ada surat izinnya atau tidak?”.

Karena memang pada setiap pagelaran Gamelan KiaiKanjeng ini terdapat situasi yang unik, yang berbeda dengan pementasan kelompok musik lainnya. Dari segi penataan panggung, jarak antara panggung dengan audien-nya, hingga pada persoalan keamanan acara. Jika kelompok atau grup musik lain menyelenggarakan konser atau pagelaran, paling tidak pihak aparat kemanan setempat mengerahkan personel untuk urusan keamanan, tetapi Gamelan KiaiKanjeng hampir tidak pernah terlihat aparat kemanan yang bertugas sebagai petugas kemanan ketika pagelaran berlangsung. Belum lagi nomor-nomor yang dibawakan oleh Gamelan KiaiKanjeng tidak selalu merupakan nomor-nomor yang sebelumnya dimainkan pada saat latihan di Rumah Maiyah, Kadipiro. Cak Nun seringkali secara spontan meminta nomor-nomor yang bahkan bukan hanya tidak disiapkan sebelumnya, seringkali Cak Nun meminta nomor-nomor lawas yang sudah lama tidak dimainkan. Hal ini merupakan tantangan Gamelan KiaiKanjeng yang harus dihadapi dalam setiap pementasannya.

Keindahan-keindahan yang Terpancar dalam Gamelan KiaiKanjeng

Novi Budianto kemudian bercerita tentang awal mula KiaiKanjeng, bahwa sebenarnya KiaiKanjeng adalah nama sebuah Gamelan. Nama KiaiKanjeng sendiri memang terinspirasi dari sebuah pementasan Teater “Pak Kanjeng”. Episode berikutnya lahirlah Komunitas Pak Kanjeng yang kemudian mengakomodir keinginan Cak Nun untuk kembali menampilkan pementasan Musik Puisi yang sebelumnya sudah pernah dilakukan bersama Kelompok Musik Karawitan Dinasti di awal 80-an. Kemudian Cak Nun meminta Novi Budianto (Pak Nevi) untuk kembali membuat Gamelan. Penyematan Kiai pada KiaiKanjeng berdasarkan kebiasaan masyarakat jawa yang selalu menyematkan kata “Kiai” pada sebuah benda atau mahkluk yang dikeramatkan.

Pada pagelaran kali ini, Gamelan KiaiKanjeng di awal-awal menampilkan nomor-nomor yang menghentak seperti Gundhul-Gundhul Pacul yang diaransemen sedemikian rupa sehingga tersusun berbagai genre dalam satu aransemen; etnik, pop, rock dan jazz. Begitu juga nomor Terbit Rembulan, sebuah lagu yang diciptakan khusus oleh Novi Budianto untuk alm Gito Rollies, satu nomor yang lebih menghentak lagi dengan genre Rock, sesuai dengan ciri khas Gito Rollies yang dikenal sebagai penyanyi dengan genre rock saat itu. Keindahan pukulan saron, demung dan bonang saling bersahutan melengkapi hentakan drum, gesekan biola, betotan bass, alunan suling dan piano dan juga petikan gitar. Suara vokal khas Donni kemudian membawakan Just The Way You Are milik Bruno Mars diaransemen ulang oleh Gamelan KiaiKanjeng semakin menghangatkan suasana Kenduri Cinta edisi Spesial KiaiKanjeng kali ini. Melengkapi nomor-nomor sebelumnya, Gamelan KiaiKanjeng kemudian membawakan satu nomor dangdut karya Rhoma Irama yang berjudul Indonesia dengan vokal khas Imam Fatawi.

“Jika anda pernah mengenal kata multitalenta, malam ini definisi dari multitalenta adalah KiaiKanjeng. Jika ada sebuah pertanyaan apakah genre musik yang dibawakan oleh Gamelan KiaiKanjeng?, jawabannya adalah KiaiKanjeng” – Erik Supit –

Beben Jazz kemudian berkesempatan mengeksplorasi Gamelan KiaiKanjeng melalui sisi musikalitasnya. Menurut Beben Jazz, dalam sebuah kelompok musik jika melihat komposisi personel Gamelan KiaiKanjeng, dalam musik Jazz disebut dengan Big Band. Jika dalam aliran musik klasik, maka Gamelan KiaiKanjeng adalah Orkestra. Untuk memimpin sebuah Orkestra dibutuhkan seorang Komposer yang sudah pasti sangat memahami ilmu musik secara total, dia yang bertugas sebagai pengaransemen sebuah lagu yang akan dibawakan oleh orkestra yang ia pimpin. Ia yang mengetahui persis partitur nada yang harus dimainkan oleh setiap pemain dalam sebuah orkestra yang ia pimpin.

Beben Jazz kemudian bercerita pertama kali bertemu dengan Gamelan KiaiKanjeng di Kadipiro, pada saat itu menjelang pementasan Jazz 7 Langit di Kenduri Cinta dua tahun silam. Dalam sebuah kolaborasi dua kelompok musik maka yang pertama kali yang harus dicari adalah titik temu antara dua kelompok musik yang akan berkolaborasi. Beben Jazz sendiri mengakui, pada dasarnya Gamelan pada umumnya akan sangat sulit berkolaborasi dengan musik barat.

Novi Budianto kemudian menjelaskan bahwa susunan tangga nada Gamelan KiaiKanjeng ia ciptakan secara spontan. Susunan tangga nada Gamelan KiaiKanjeng adalah; Sol-La-Si-Do-Re-Mi-Fa-Sol dimana Do=G. Berjalan sesuai prosesnya, kemudian Gamelan KiaiKanjeng diwarnai beberapa personel yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang musik yang lebih dalam, ditemukanlah metode Sorogan, yaitu sebuah metode yang memungkinkan Gamelan KiaiKanjeng memainkan berbagai aliran musik, sehingga dalam susunan tangga nadanya tidak selalu Do=G, tetapi juga bisa Do=C, Do=D, Do=E dan seterusnya. Dalam metode Sorogan ini, Saron dan Demung akan diganti beberapa bilahnya (lempengan besi) agar kemudian bisa menentukan Do=D, Do=C dan sebagainya.

Inna Kamarie kemudian membawakan sebuah nomor yang berjudul Over The Rainbow diiringi Gamelan KiaiKanjeng untuk membuktikan bagaimana metode Sorogan dalam Gamelan KiaiKanjeng itu digunakan. Dalam proses aransmen lagu ini, Beben Jazz bercerita bagaimana awalnya bersama personel Gamelan KiaiKanjeng menentukan nada dasar yang akan digunakan, yang kemudian disepakati menggunakan nada dasar A, sehingga kemudian Gamelan KiaiKanjeng mampu mengaransemen lagu ini dengan baik. Ada dua poin yang digarisbawahi oleh Beben Jazz dalam Gamelan KiaiKanjeng ini; sistem tuning yang sudah pasti dan metode Sorogan.

“Pada akhirnya Gamelan hanyalah Gamelan, tetapi si pelaku yang ada dibelakangnya lah yang menghiasinya” – Beben Jazz –

Jijit, personel Gamelan KiaiKanjeng pada posisi perkusi dan drum notabene adalah seorang Sarjana Seni Tari Klasik. Kemudian ia ditanya oleh Beben Jazz bagaimana ceritanya seorang Penari bisa menjadi seorang pemusik di Gamelan KiaiKanjeng?. Jijit menjelaskan, pada dasarnya seorang seniman yang menggeluti kesenian tradisional (jawa khususnya), maka ia minimal mengenal atau mengetahui bentuk kesenian tradisional yang lain. Jijit mencontohkan bagaimana dia yang pada awalnya adalah seorang penari tetapi ia harus mengenal Gamelan karena Gamelan yang akan menjadi pengiring musik ketika ia menari. Begitu juga ketika ia berakting dalam sebuah lakon Wayang Orang, maka mau tidak mau ia harus belajar Nembang, karena hal tersebut merupakan bagian dari Wayang Orang.

Beben Jazz menambahkan bahwa menurutnya Gamelan KiaiKanjeng saat ini sudah berada di fase ketiga dalam bermusik. Ketika seseorang bermusik, pada fase pertama motivasinya adalah mencari uang, memasuki fase kedua adalah bermain musik karena mereka mencintai musik. Gamelan KiaiKanjeng sudah berhasil menembus fase ketiga dimana mereka bermain musik untuk melayani masyarakat, bahwa bermain musik adalah ibadah pelayanan kepada sesama manusia. Erik Supit kemudian menegaskan bahwa apabila ada yang menanyakan seperti apa nuansa musik Indonesia (bukan hanya Jawa, Sunda, Bugis, Batak dll), maka jawabannya adalah Gamelan KiaiKanjeng. Beben Jazz menambahkan bahwa Gamelan KiaiKanjeng merupakan bentuk Musik Progressif di Indonesia. Karena menurutnya, bukan hanya Gamelan KiaiKanjeng-nya saja yang memiliki jiwa Jazz, melainkan jiwa-jiwa para personelnya juga sudah tertanam daya spontanitas, improvisasi dan kreatifitas dalam bermusik.

Gamelan KiaiKanjeng kemudian membawakan nomor Ghonilli, sebuah lagu Timur Tengah yang juga berhasil diaransemen dengan apik oleh Gamelan KiaiKanjeng. Forum Kenduri Cinta yang sudah berlangsung selama 15 tahun seakan menjadi sebuah oase bagi warga Ibukota. Jamaah yang hadir tampak masih banyak yang bersepatu, berbaju rapi dan tidak sedikit yang masih mengenakan batik. Pandangan suasana wajah-wajah para pekerja yang baru saja pulang dari kantor. Bisa jadi pada saat mereka di Kantor, mereka menyerahkan kedaulatan mereka kepada sistem dan budaya yang sudah terbangun di perusahaan tempat mereka bekerja, tetapi di Kenduri Cinta mereka mempercayakan kedaulatan mereka pada air mata spiritual kultural yang mereka temui di Kenduri Cinta. Terlebih malam ini sangat kaya akan nomor-nomor Gamelan KiaiKanjeng. Mereka datang tanpa sedikitpun dipungut biaya, selain keikhlasan dan kesediaan untuk berbagi dan memetik ilmu bersama-sama.

Mereka sangat terhibur dan tampak mata dan telinga mereka tidak lelah menyerap lompatan-lompatan ilmu dan hentakan-hentakan nada dari Gamelan KiaiKanjeng, mulai dari Wirid dan Sholawat, Tembang Jawa, lagu-lagu Barat, irama khas Timur Tengah hingga Dangdut. Pemilihan busana batik bebas yang dikenakan oleh para personel Gamelan KiaiKanjeng seakan menegaskan bahwa setiap individu dalam Gamelan KiaiKanjeng sangat berdaulat atas dirinya meskipun demikian mereka tetap mampu memainkan musik sepenuh hati untuk menyuguhkan nomor demi nomor untuk dipersembahkan kepada Jamaah Maiyah Kenduri Cinta.

Khazanah Timur Tengah yang mewarnai Gamelan KiaiKanjeng tidak lain dan tidak bukan adalah Umi Kultsum, seorang musisi Mesir. Novi Budianto sendiri mengakui bahwa dirinya sangat nyandu dengan Umi Kultsum. Pada prosesnya, Gamelan KiaiKanjeng pernah menyambangi Mesir dan pada saat itu Gamelan KiaiKanjeng membawakan beberapa nomor-nomor Ummi Kultsum dan mendapat apresiasi yang sangat meriah dari penonton di Mesir. Mereka sangat takjub bahwa ternyata Gamelan KiaiKanjeng berhasil mengaransemen nomor-nomor Ummu Kultsum dengan sangat bagus dan indah.

Joko SP, gitaris KiaiKanjeng yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa menceritakan bagaimana awalnya Cak Nun dan Novi Budianto “meracuni” personel Gamelan KiaiKanjeng dengan nomor-nomor Umi Kultsum. Pada awalnya, mereka merasakan kesulitan yang luar biasa untuk mengaplikasikan nomor-nomor Umi Kultsum dalam Gamelan KiaiKanjeng. Sejalan dengan ilmu Maiyah, yang dilakukan oleh Gamelan KiaiKanjeng adalah meng-ijtihadi Gamelan KiaiKanjeng sehingga kemudian mampu mengakomodir nomor-nomor Ummi Kultsum. Beberapa nomor Umi Kultsum kemudian di-KiaiKanjeng-kan (istilah Cak Nun dalam proses aransemen lagu-lagu di Gamelan KiaiKanjeng) sehingga dapat dimainkan dengan apik menggunakan Gamelan KiaiKanjeng.

Ari “Blothong” Sumarsono pemain violin KiaiKanjeng, kemudian menjelaskan jawaban dari sebuah pertanyaan Beben Jazz tentang apakah Gamelan KiaiKanjeng ini memiliki form dalam setiap lagu-lagu yang dimainkan atau tidak?. Ari Blothong yang memang memiliki latar belakang pendidikan musik menjelaskan bahwa kompleksitas para pemain Gamelan KiaiKanjeng memiliki tantang tersendiri. Ari Blothong yang sebelumnya memiliki kebiasaan membaca ketika memainkan violin pada awalnya kaget dengan metode Sense of Ngeng yang digunakan oleh Novi Budianto di Gamelan KiaiKanjeng. Karena tidak jarang susunan nada yang dimainkan jika ditulis dalam sebuah form akan berbeda ketika dimainkan di panggung jika dibandingkan dengan ketika latihan di Kadipiro. Tetapi, Ari Blothong sendiri mengakui bahwa metode Sense of Ngeng inilah yang justru kemudian menjadi sebuah metode bersama dalam komposisi nada Gamelan KiaiKanjeng sehingga ketika aransemen sebuah lagu akan dituliskan dalam susunan chord, angka ji-ro-lu-pat-mo-nem, atau susunan not balok pun tetap bisa.

Maestro Multidimensi

Suasana diskusi semakin hangat ketika Cak Nun kemudian bercerita bagaimana pengalaman Gamelan KiaiKanjeng berkunjung ke Napoli, di Conservatorio Di Napoli, sebuah museum musik klasik yang juga menjadi pusat musik klasik di dunia. Pada saat melakukan re-check di tempat pementasan tersebut, Cak Nun mendapati bahwa tempat tersebut pernah disinggahi oleh pemain-pemain musik ternama, sehingga Cak Nun kemudian merasakan tanda “bahaya” bahwa akan disematkan gelar Maestro pada beliau.

Sekembalinya dari Napoli saat itu, ketika sampai di Roma, Cak Nun bertanya kepada Jijit untuk menjelaskan apa maksud dari istilah Mestro. Jijit kemudian menjelaskan bahwa seorang Maestro Musik tidaklah harus seorang yang bisa memainkan alat musik atau mengetahui teori-teori keilmuan tentang musik. Menurut Jijit, ke-Maestro-an Cak Nun lebih disebabkan oleh kemampuan beliau meramu banyak hal untuk komposisi musik Gamelan KiaiKanjeng. Cak Nun sendiri memang mengakui tidak bisa memainkan satupun alat musik apalagi memiliki pengetahuan tekstual tentang musik itu sendiri, sehingga Cak Nun perlu meminta izin kepada KiaiKanjeng sebelum menerima gelar Maestro di Napoli, karena Cak Nun tidak ingin di-Maestro-kan.

Cak Nun kemudian menambahkan bahwa apa yang beliau lakukan di Gamelan KiaiKanjeng tidak lebih dari seorang pengawas yang menentukan tinggi-rendahnya dan panjang-pendeknya suatu nada dalam sebuah aransemen.

“Perhitungan saya (dalam Gamelan KiaiKanjeng) adalah; perhitungan musikal, perhitungan koordinat musik KiaiKanjeng ditengah dunia musik yang lain dan yang ketiga adalah kehadiran musik ini dalam peta fikiran dan hati masyarakat yang sedemikian rupa sehingga (Gamelan KiaiKanjeng) harus saya aransir sedemikian rupa” – Cak Nun –

Cak Nun kemudian bercerita bahwa KiaiKanjeng dari satu pementasan ke pementasan berikutnya tidak selalu sama dalam membawakan jenis musiknya. Gamelan KiaiKanjeng tidak hanya membutuhkan seorang Komposer yang hanya mengerti susunan tangga nada, tetapi juga harus mampu membaca audien yang hadir pada setiap pementasan, sehingga Komposer yang memimpin Gamelan KiaiKanjeng harus mampu menentukan nomor-nomor mana saja yang akan dibawakan dalam sebuah pementasan. Bahwa benar adanya tidak semua nomor-nomor yang sebelumnya dimainkan saat latihan di Kadipiro belum tentu akan dimainkan pada saat pementasan, hal ini dikarenakan kebutuhan akan audien yang hadir pada sebuah pementasan Gamelan KiaiKanjeng itu sendiri. Ke-Maestro-an seorang Komposer yang memimpin Gamelan KiaiKanjeng bukan hanya Maestro dalam bidang musik, melainkan juga seorang Maestro dalam bidang Politik, Sosial dan Budaya.

“Bahkan di KiaiKanjeng, Maestro Musik tidak mungkin bisa memimpin Gamelan KiaiKanjeng” – Cak Nun –

Cak Nun menambahkan penjelasan bagaimana Umi Kultsum begitu mewarnai Gamelan KiaiKanjeng. Dalam Gamelan KiaiKanjeng kuncinya ada pada Bonang, Saron dan Demung. Ketika Gamelan KiaiKanjeng berhasil menampilkan nomor-nomor Umi Kultsum pada sebuah pementasan di Mesir tahun 2003 silam di Gedung Jumhuriyah, orang-orang yang hadir disana begitu kagum menyaksikan karya-karya Umi Kultsum dibawakan dengan apik hasil aransemen Gamelan KiaiKanjeng. Alat musik Qonun dan Gambus yang biasa digunakan untuk memainkan nomor-nomor milik Umi Kultsum digantikan oleh Bonang, Saron dan Demung. Hal inilah yang dianggap sangat luar biasa oleh publik Mesir yang pada saat itu menyaksikan penampilan Gamelan KiaiKanjeng. Cak Nun kemudian menegaskan bahwa 90% pencipta notasi Saron dalam Gamelan KiaiKanjeng.

“Sebagus-bagus aransemen dan partiturnya, tetapi kalau pemain musiknya tidak bisa memainkannya akhirnya justru tidak indah” – Cak Nun –

Suasana Kenduri Cinta semakin gerr dengan dagelan-dagelan Cak Nun yang menceritakan kisah-kisah ndagel-nya seorang Novi Budianto. Bahkan mungkin jika orang tidak mengenal siapa itu Novi Budiyanto, orang tidak akan percaya bahwa dia adalah seorang Jenius dalam bidang musik. Tidak lain dan tidak bukan, Gamelan KiaiKanjeng adalah Masterpiece terbaik karya Novi Budiyanto. Cak Nun kemudian menyampaikan sebuah hikmah, bahwa Allah memberikan kelebihan-kelebihan yang berbeda satu sama lain dalam setiap diri manusia, sehingga tidak ada sedikit kesempatan pun bagi seorang manusia untuk merasa unggul dari manusia yang lainnya. Cak Nun kemudian meminta KiaiKanjeng untuk memainkan nomor Pambuko II dan secara spontan berkolaborasi dengan Inna Kamarie. Kemudian KiaiKanjeng memainkan kembali ending dari Pambuko II berkolaborasi dengan Cak Nun yang melantunkan salah satu syair Sholawat Tarhim karya Syeikh Mahmud Khalil Al Hussairy. Dari dua kali cuplikan Pambuko II ini sudah membuktikan bahwa Gamelan KiaiKanjeng yang sebelumnya sudah dinyatakan sebagai Musik Indonesia adalah musik yang mampu memangku musik dari bangsa lain untuk kemudian berkolaborasi bersama Gamelan KiaiKanjeng.

Sejengkal kemudian Gamelan KiaiKanjeng membawakan nomor Pambuko I berkolaborasi bersama Inna Kamarie, Cak Nun dan Imam Fatawi dengan melantunkan Syair awal Sholawat Tarhim Syeikh Mahmud Khalil Al Hussairy. Untuk melengkapi khasanah musik Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun meminta Inna Kamarie untuk membawakan nomor Angin Mamiri yang oleh Gamelan KiaiKanjeng diaransemen dalam sebuah nomor medley Nusantara dan dilanjutkan dengan nomor Wa Makaru dengan vokal Imam Fatawi, Islamiyanto dan Donny dan dipungkasi dengan Imagine yang dibawakan oleh Cak Nun sendiri.

“Anda diwajibkan oleh Allah menjadi orang Indonesia. Rumput diwajibkan menjadi Rumput, begitu juga Ayam diwajibkan menjadi Ayam. Jangan sampai Ayam bercita-cita menjadi Burung” – Cak Nun –

Cak Nun kemudian kembali mengelaborasi tentang halal-haramnya sebuah benda. Bahwa sejatinya kita tidak bisa menghukumi halal atau haramnya sebuah benda karena hal tersebut membutuhkan proses yang sangat panjang dan komferhensif. Nasi memang halal, tetapi ketika nasi itu didapatkan dengan cara mencuri maka akan haram hukumnya. Begitu juga dengan sertifikasi halal pada sebuah makanan, hal ini menjadi hal yang cukup aneh. Jika beberapa bulan yang lalu Cak Nun memberi penjelasan bahwa sertifikasi halal sebenarnya justru sangat dibutuhkan di sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya adalah non muslim, sehingga makanan yang halal perlu disertifikasi. Pada lompatan berikutnya, Cak Nun melempar sebuah pertanyaan; siapa yang bisa menjamin bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk mengolah makanan ketika disertifikasi juga digunakan ketika sertifikasi halal sudah didapatkan?. Karena tidak mungkin lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal akan mengawasi terus menerus setiap hari perusahaan makanan yang sudah mendapatkan sertifikasi halal tadi.

Begitu juga dengan musik, tidak bisa kita menghukumi musik itu halal atau haram. Karena ia adalah benda. Pisau, juga tidak bisa dihukumi halal atau haram meskipun pisau tersebut digunakan untuk membunuh. Yang dihukumi halal atau haram adalah perbuatan membunuhnya, bukan pisaunya. Begitu juga ketika kita menggunakan pisau untuk menyembelih hewan kambing atau ayam, bukan pisaunya yang dihukumi halal atau haram, tetapi proses penyembelihannya yang paling utama diperhatikan, karena kemudian hal tersebut akan berdampak pada hukum hewan yang disembelih. Apabila tata cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka hewan tersebut menjadi haram. Cak Nun mengajak jama’ah untuk mengeksplorasi lebih dalam lagi terminologi halal dan haram sebuah benda.

“Allah mengatakan; kebanyakan manusia tidak mau menggunakan akal sehat, aktsaruhum laa ya’qiluun. Maka saya berdo’a kepada Allah semoga orang-orang yang datang ke Kenduri Cinta dan Maiyahan tidak termasuk kedalam golongan orang yang tidak mau menggunakan akal sehat” – Cak Nun –

Yang Berkepentingan Dilarang Masuk

Mohammad Sobary yang akrab disapa Kang Sobary kemudian bercerita bagaimana masyarakat Temanggung yang mayoritas adalah Petani Tembakau begitu berdaulat atas dirinya sendiri ketika pada 12 April 2012 berkumpul di Lapangan Sepakbola Maron, Temanggung. 10.000 warga merokok berbarengan di pinggir jalan menuju Lapangan Sepakbola Maron sebagai wujud perlawanan kepada Pemerintah yang akan meresmikan RPP Tembakau sebagai PP Tembakau saat itu. Peristiwa itu disebut oleh Kang Sobary sebagai ideologi perlawanan terhadap kerangka aturan internasional yang mengontrol efek negatif dari merokok. Secara gamblang Kang Sobary menjelaskan bagaimana kepentingan politik global terlibat sangat jauh dalam kampanye anti rokok saat ini. Menurut Kang Sobary, kedaulatan Indonesia saat ini tidak dimiliki oleh rakyat Indonesia karena dalam waktu yang bersamaan kedaulatan itu diinjak-injak oleh rakyat Indonesia yang lainnya.

Cak Nun kemudian menambahkan penjelasan Kang Sobary terkait Kedaulatan. Mengambil contoh bagaimana seorang perempuan berjilbab, bahwa dia tidak memendam rasa benci terhadap perempuan disebelahnya yang tidak berjilbab. Begitu juga sebaliknya, seorang perempuan yang tidak berjilbab tidak memiliki rasa curiga sedikitpun terhadap perempuan disebelahnya yang berjilbab. Inilah wujud kedaulatan setiap individu yang selalu dihadirkan dalam setiap forum Maiyah berlangsung. Dalam kasus jilbab, jika ditarik kedalam dunia kapitalisme jilbab maka seorang pedagang jilbab akan merayu setiap perempuan yang lewat didepan lapaknya untuk membeli jilbab, satu dimensi kapitalisme muncul sehingga kedaulatan seorang perempuan yang tidak memakai jilbab merasa terganggu.

“Saya sangat terikat kepada Allah. Kalau ada orang datang kepada saya untuk minta tolong, entah dia benar atau salah, saya punya kewajiban untuk menolongnya. Meskipun saya tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadanya.” – Cak Nun –

Begitu juga bagaimana yang terjadi di setiap Maiyahan berlangsung, orang yang merokok memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri untuk merokok dan orang yang tidak merokok berdaulat atas dirinya sendiri sehingga tidak merasa terganggu dengan asap rokok dari orang yang merokok. Cak Nun menegaskan bahwa beliau tidak pernah sekalipun menganjurkan orang lain untuk merokok. Dan begitu juga sebaliknya, Cak Nun tidak menganjurkan orang lain untuk tidak merokok, bahkan untuk keputusan-keputusan yang paling prinsip dari setiap orang yang bersambungan dengan Cak Nun, tidak sekalipun beliau mengintervensi terhadap keputusan yang dipilihnya. Maiyah mengajarkan kepada seluruh jama’ah agar mampu berdaulat atas dirinya sendiri.

Berdaulat Atas Diri Sendiri

Yang dilakukan oleh Kenduri Cinta dan forum Maiyahan diberbagai tempat lainnya adalah semua yang hadir memiliki kedaulatannya masing-masing. Dan yang dilakukan adalah memperluas wacana kemudian diserap bersama-sama dan masing-masing memiliki filter sendiri, sehingga kemudian setiap yang hadir memiliki kedaulatan untuk menghasilkan keputusan yang paling rasional dalam diri masing-masing, bukan berdasarkan kata si A atau kata si B. Sehingga setiap individu yang hadir selalu terbiasa menggunakan kedewasaan dalam berfikir dan bergaul satu sama lain. Bahkan setiap jama’ah ketika berkumpul di forum Maiyahan sudah terlatih untuk tidak lagi membawa kesadaran laki-laki atau perempuan, karena yang dibawa adalah kesadaran sebagai manusia yang membawa akal yang sehat, hati yang jernih dan jiwa yang merdeka.

Menyambung penjelasan Kang Sobary tentang hilangnya kedaulatan di Indonesia, Cak Nun menyitir kalimat yang sering terpasang di pintu-pintu kantor birokrasi di Indonesia; “Yang tidak berkepentingan dilarang masuk”. Penggunaan kalimat ini pada akhirnya justru membuktikan bahwa orang-orang yang memiliki kepentingan justru adalah orang-orang yang merusak dan menginjak-injak kedaulatan Indonesia. Sehingga yang seharusnya ditulis di pintu-pintu kantor birokrasi di Indonesia adalah “Yang berkepentingan dilarang masuk”.

Cak Nun selalu mengingatkan betapa pentingnya kedewasaan dalam hidup manusia agar setiap manusia tidak memiliki keinginan untuk bertengkar satu sama lain, seandainya memang harus berduel secara fisik maka harus berani bertemu saling berhadap-hadapan, bukan dengan cara saling melempar dari jauh. Cak Nun menyindir fenomena saat ini dimana begitu banyak kekeliruan orang menggunakan media sosial untuk menyerang orang lain di dunia maya saat ini.

 “KiaiKanjeng adalah contoh musisi yang berdaulat karena sejak awal sudah memiliki kesadaran berdaulat atas dirinya. Dengan kedaulatan atas dirinya itu, maka KiaiKanjeng itu ada dan selalu mendapatkan undangan dari publik yang sejati” – Cak Nun –

Berturut-turut kemudian Gamelan KiaiKanjeng membawakan sebuah nomor yang berjudul Give Me One Reason dan dilanjutkan dengan nomor medley Man On The Land – Manungso yang berkolaborasi dengan Inna Kamarie sebagai vokal. Jamaah yang hadir tampak begitu menikmati sajian-sajian Gamelan KiaiKanjeng kali ini, keterbatasan pelataran Taman Ismail Marzuki tidak mengurangi sedikitpun antusias mereka karena mereka memang memendam kerinduan terhadap Gamelan KiaiKanjeng. Tampak sebagian dari mereka hanya menikmati alunan musik yang keluar dari sound system, duduk di sela-sela mobil yang berjejer di parkiran sembari menikmati kopi panas dan kudapan-kudapan ringan yang dijajakan oleh angkringan di pojok pelataran dan beberapa pedagang kaki lima yang juga menikmati suasana Kenduri Cinta kali ini.

“Yang saya anjurkan kepada anda adalah; anda menjalani hidupmu dengan memahami hidupmu melalui ilmu yang jelas” – Cak Nun –

Beben Jazz kemudian menambahkan penjelasan tentang mengapa Cak Nun memang layak disebut sebagai Maestro musik. Menurut Beben Jazz, tingkatan yang paling tinggi dalam bermusik adalah ketika seseorang terlibat dalam sebuah permainan musik, yang ia lakukan tidak hanya berkonsentrasi pada perannya saja sesuai dengan posisinya. Tetapi dalam bersamaan ia mampu mendengar dan mengamati apa yang sedang dimainkan oleh personel musik yang lainnya, inilah yang beberapa kali juga menjadi perhatian Beben Jazz dalam setiap pementasan Gamelan KiaiKanjeng dimana Cak Nun sering sekali terlihat memperhatikan dan fokus pada irama nada yang dimainkan oleh Gamelan KiaiKanjeng.

Pada satu momen bahkan ditengah-tengah permainan musik Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun tampak memejamkan mata untuk memfokuskan dirinya mempehatikan setiap ketukan-ketukan nada yang dialunkan oleh Gamelan KiaiKanjeng. Kemampuan Cak Nun memahami suasana audien yang hadir juga diakui oleh Beben Jazz sebagai salah satu kemampuan seorang musisi yang tidak banyak dimiliki oleh Maestro musik di dunia saat ini. Sehingga nomor-nomor yang dimainkan oleh Gamelan KiaiKanjeng dalam setiap pementasan benar-benar merupakan nomor-nomor yang dimainkan sesuai dengan kebutuhan pada saat pementasan berlangsung dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial serta budaya masyarakat yang hadir saat itu.

“Cak Nun tidak hanya memiliki kepekaan bermusik, namun lebih dari itu Cak Nun memiliki kepekaan sosial dan budaya yang semakin meneguhkan ke-Maestro-an dalam dunia musik” – Beben Jazz –

Fragmen dan Romantisme Perjalanan Gamelan KiaiKanjeng

Layaknya sebuah komunitas, konflik internal merupakan sebuah bumbu yang mewarnai Gamelan KiaiKanjeng. Joko SP sendiri mengakui bahwa benturan-benturan antar personel yang memiliki latar belakang berbeda-beda bahkan lebih banyak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan musik ini sangat sering terjadi. Namun menurutnya, benturan-benturan yang terjadi bukan disebabkan oleh hal-hal yang prinsipil, melainkan benturan-benturan yang memang harus terjadi demi orisinalitas Gamelan KiaiKanjeng itu sendiri. Ketika ditanya oleh Erik Supit apakah pernah ada wacana bubar dalam Gamelan KiaiKanjeng, Joko SP menjawab dengan tegas tidak pernah sedikitpun muncul keinginan dari para personel untuk membubarkan  Gamelan KiaiKanjeng.

Yoyok, bassist Gamelan KiaiKanjeng yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan dan saat ini bertugas sebagai penyuluh kesehatan menambahkan bahwa benturan-benturan yang terjadi di Gamelan KiaiKanjeng menjadi romantisme tersendiri. Yoyok kemudian bercerita bagaimana Album Maiyah Nusantara yang lahir pasca terjadinya benturan internal Gamelan KiaiKanjeng yang kemudian menjadi era transformasi musik sholawat menuju musik ritual, yang kemudian Maiyah lahir dan dikenal lebih luas.

Inna Kamarie tidak ketinggalan bercerita pengalamannya ketika berkolaborasi bersama Gamelan KiaiKanjeng di Indonesia Jass Festival 2013 yang lalu. Dari sekian pengalamannya berkolaborasi dengan beberapa komposer dan kelompok musik, Inna Kamarie menyadari bahwa Gamelan KiaiKanjeng yang kemudian justru mengingatkan dirinya bahwa segala sesuatu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Tuhan. Menurut Inna, ketika seorang pemain musik bermusik hanya bertujuan untuk musik, sangat sia-sia. Inna menambahkan bahwa Gamelan KiaiKanjeng menyalurkan spirit melayani dalam setiap pementasannya, dan hal itulah yang selalu Inna rasakan dalam setiap kolaborasi bersama Gamelan KiaiKanjeng. Jika sebelumnya Erik menyatakan bahwa Gamelan KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang mewakili Musik Indonesia, Inna Kamarie justru merasa bahwa Gamelan KiaiKanjeng lebih dari sekedar Musik Indonesia. Karena Gamelan KiaiKanjeng menurut Inna juga mampu melahirkan suasana yang khusyuk untuk menemukan Tuhan.

“Ketika berkolaborasi dengan Gamelan KiaiKanjeng yang saya rasakan bukan sekedar Jazz-nya saja, karena itu terlalu sempit bagi saya. Tetapi yang saya rasakan adalah musik KiaiKanjeng yang sangat sulit saya deskripsikan karena begitu luasnya nuansa Gamelan KiaiKanjeng” – Inna Kamarie –

Terhadap sosok Cak Nun yang sangat sentral perannya di Gamelan KiaiKanjeng, Inna Kamarie melihat sosok Cak Nun bukan hanya sekedar Maestro dalam bidang musik yang bukan sekedar Jazz, tetapi Maestro dalam semua genre musik. Sikap hidup Cak Nun sendiri menurut Inna Kamarie adalah impelemntasi dari musik Jazz yang penuh improvisasi dan spontanitas. Sehingga menurut Inna, siapapun yang belajar kepada Cak Nun dan mempelajari sikap hidupnya, kemudian mampu diimplementasikan dalam kehidupan pribadinya akan tumbuh sikap optimisme dalam dirinya. Digambarkan oleh Inna, apabila besok hari Tuhan memberi manusia lubang yang dalam maka manusia harus berani berimprovisasi secara spontan untuk keluar dari lubang tersebut, apakah dengan tangga atau dengan meniti dinding lubang tersebut.

“Di Gamelan KiaiKanjeng ukuran utamanya adalah Akhlak. Di Gamelan KiaiKanjeng tidak ada rekruitmen dan tidak ada pemecatan. Tidak ada sejarahnya narik orang masuk (kedalam KiaiKanjeng) dan nyuruh orang keluar. Belum pernah dan tidak akan pernah. Semua berkumpul murni secara alami berdasarkan interaksi  murninya hati mereka dan bersatunya gelombang serta frekuensi mereka”, Cak Nun merespon pertanyaan Erik Supit dan pemaparan Inna Kamarie. Cak Nun menegaskan bahwa dalam Gamelan KiaiKanjeng yang paling utama adalah Akhlak, kemudian Martabat dan yang ketiga adalah Aqidah. Dengan Akhlak yang menjadi pertimbangan utama dalam KiaiKanjeng, Cak Nun menjelaskan bagaimana seorang personel yang melakukan pelanggaran dalam wilayah Akhlak akan dihukum, dan pelanggaran Akhlak itu bisa saja bersifat personal (pribadi) atau pelanggaran komitmen dalam Gamelan KiaiKanjeng.

“Gamelan KiaiKanjeng tidak akan menerima undangan pementasan semahal apapun apabila itu mengganggu martabatnya”, lanjut Cak Nun. Dalam sejarahnya, Gamelan KiaiKanjeng belum pernah menerima undangan dari pejabat diatas Bupati. Cak Nun menjelaskan mengapa Gamelan KiaiKanjeng mau menerima undangan dari seorang Bupati, hal tersebut lebih karena pertimbangan sosiologis di Indonesia dimana persambungan antara seorang Bupati dengan rakyatnya memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dan dalam setiap undangan Bupati yang disepakati oleh Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun selalu memandu dengan serius jalannya pementasan tersebut sehingga apa yang disuguhkan oleh Gamelan KiaiKanjeng bukan sekedar pementasan musik saja, melainkan sebuah pertunjukan yang mampu menciptakan sebuah formula kepemerintahan dan pengelolaan komperhensif seluruh pembangunan manusianya.

Menjelaskan mengapa Aqidah bukan hal yang paling utama dalam Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun menyatakan bahwa selama ini antara personel satu sama lain tidak pernah mempengaruhi untuk sholat atau tidak sholat. Dalam Maiyah semua sudah memahami bahwa untuk persoalan Aqidah setiap individu manusia akan bertanggung jawab penuh kepada Allah secara langsung. Dalam Gamelan KiaiKanjeng hanya Islamiyanto yang memiliki latar belakang pesantren dan saat ini juga menjadi tenaga pengajar di salah satu pondok pesantren, tetapi pada perjalanannya kita justru akan melihat bahwa seluruh personel Gamelan KiaiKanjeng adalah santri. Cak Nun kemudian bercerita secara snapshoot tentang masing-masing pribadi personel Gamelan KiaiKanjeng diwarnai dengan kisah-kisah perjalanan Gamelan KiaiKanjeng di beberapa negara, termasuk salah satunya ketika mereka melakukan Ibadah Umroh dimana seorang Toto Rahadrjo sangat terharu hingga meneteskan air mata ketika pertama kali melihat Ka’bah.

Cak Nun menegaskan bahwa perjalanan Gamelan KiaiKanjeng yang sudah mencapai 3640 ini sangat berlandaskan hati yang murni sehingga yang terjadi adalah bertajallinya Allah dengan hati setiap personel KiaiKanjeng, sehingga pandangan orang terhadap Gamelan KiaiKanjeng bahwa mereka adalah pemusik itu meleset, karena mereka adalah manusia-manusia yang berani mempertaruhkan nyawa mereka bahkan nyawa keluarganya untuk membuktikan bahwa Allah bertanggung jawab dan sayang kepada manusia yang cinta kepada-Nya. Dan Cak Nun menjelaskan bahwa tajallinya Allah di Gamelan KiaiKanjeng tidak hanya terwujud dalam kreatifitas para personelnya ketika memainkan alat musik dan menghasilkan karya-karya yang berhasil di aransemen sebelumnya, tetapi juga terwujud dalam bentuk nafkah bagi keluarga mereka masing-masing yang sangat sering mereka tinggalkan di rumah.  Jika ada pihak yang mempertanyakan siapa sponsor tetap Gamelan KiaiKanjeng maka jawabannya adalah kasih sayang Allah SWT kepada mereka. Dan Gamelan KiaiKanjeng sudah membuktikan kasih sayang Allah tersebut selama 22 tahun perjalanannya.

“Saya sangat percaya kepada manusia dan saya tidak boleh menjadi sebab seseorang menjadi Islam. Karena setiap manusia harus memiliki landasan yang otentik untuk menemukan Tuhan” – Cak Nun –

Menanggapi banyaknya fenomena di masyarakat yang masih sering terjadi ketidaksefahaman tentang hukum musik dalam Islam, Kyai Muzammil menjelaskan bahwa hukum musik itu tergantung pada situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Cak Nun sebelumnya, pada momentum tertentu musik bisa aja haram hukumnya, tetapi pada saat yang lain juga bisa halal hukumnya. Kyai Muzammil juga menekankan bahwa terminologi ini juga berlaku pada hal-hal yang lain yang tidak tercantum dalam Al Qur’an, bukan kemudian dengan mudah setiap orang menyatakan sesuatu hukumnya haram hanya karena tidak dicantumkan dalam Al Qur’an.

Menurut Kyai Muzammil, hukum musik itu ada 5; wajib, halal, mubah, makruh dan halal. Setiap hukum tersebut silahkan dianalisis masing-masing untuk menentukan hukumnya terhadap musik itu sendiri, dan juga dapat diimplementasikan pada hal-hal yang lain yang ditemui setiap hari. Kyai Muzammil bercerita ada beberapa Kyai-Kyai yang memiliki kemampuan untuk topo ngrame, yaitu sebuah kemampuan yang mampu fokus dalam kondisi ramai sekalipun. Cak Nun kemudian menambahkan pemaparan Kyai Muzammil ini dengan pengalaman pribadinya, bahwa Cak Nun ketika menulis sebuah tulisan tidak pernah bergantung pada situasi dan kondisi keramaian atau kesepian di sekitarnya ketika menulis, tidak jarang Cak Nun menulis sebuah tulisan ketika Gamelan KiaiKanjeng sedang berlatih di Kadipiro.

Melengkapi pemaparannya, Cak Nun kemudian kembali menjelaskan betapa aqidah merupakan sebuah wilayah yang sangat privat bagi setiap individu manusia. Allah sendiri menjelaskan dalam Surat Yunus ayat 99-100, bahwa dijelaskan dalam ayat tersebut dimana Allah sangat mungkin untuk membuat seluruh manusia di dunia ini beriman kepada-Nya, tetapi apakah kita akan menunggu hal itu terwujud untuk mampu mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia?. Sehingga dalam Maiyah tidak ada istilah pemaksaan bagi jama’ah untuk mengambil suatu keputusan yang sifatnya sangat prinsip. Begitulah Maiyah mengajarkan kedaulatan dalam diri setiap individu yang hadir. Yang disepakati dalam forum Kenduri Cinta dan Maiyahan lainnya adalah setiap individu bersepakat untuk saling mengamankan, saling membesarkan hati dan saling membimbing untuk menuju Rahamatan lil ‘alamiin. Benar adanya bahwa agama tidak sama antara satu dengan yang lainnya, yang harus difahami satu sama lain adalah bahwa agama merupakan wilayah keimanan seseorang dimana hanya Allah yang berhak menjadi hakim untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Setelah Inna Kamarie bersama Gamelan KiaiKanjeng membawakan sebuah nomor milik Siti Nurhaliza yang berjudul Cindai, Syeikh Nursamad Kamba kemudian bercerita sedikit pengalaman perjalanan Gamelan KiaiKanjeng ke Mesir pada tahun 2003 silam. Pementasan yang dilakukan di Masroh Al Jumhuriyah saat itu bisa dikatakan sebagai pementasan yang sangat fenomenal di Mesir. Pementasan yang publikasinya sangat minim, tetapi publik yang menonton pementasan tersebut ternyata melebihi dari yang diperkirakan sebelumnya. Nomor-nomor Umi Kulstum yang dibawakan benar-benar berhasil memukau publik Mesir yang hadir saat itu. Sebuah hal yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh mereka bahwa nomor Syukaro ternyata bisa sampai ke Indonesia bahkan diaransemen ulang dengan apik oleh Gamelan KiaiKanjeng. Dan Cak Nun bersama rombongan Gamelan KiaiKanjeng saat itu dijamu melebihi tamu negara, dan disambut oleh barisan militer.

Cak Nun bersama personel Gamelan KiaiKanjeng juga sempat masuk ke dalam sebuah ruangan di Masjid Syikh Imam Badawi dimana beberapa peninggalan Rasulullah SAW disimpan didalamnya. Inilah salah satu kelebihan Gamelan KiaiKanjeng ketika hadir di suatu tempat, yang pertama kali dilakukan adalah pendekatan secara kultural untuk menciptakan suasana komunikasi yang kondusif sehingga tidak merasa asing meskipun sedang pentas di negara lain.

Gamelan KiaiKanjeng kemudian membawakan sebuah nomor Musikalisasi Puisi Al Qur’an yang diawali dengan pembacaan cuplikan beberapa ayat dalam surat Al Hasyr oleh Cak Nun. Jama’ah tampak masih merasa belum puas pada Kenduri Cinta kali ini yang memang dikhususkan untuk menggali Gamelan KiaiKanjeng, dan memang masih banyak lagi ilmu-ilmu yang masih bisa didapatkan dari sebuah pintu bernama Gamelan KiaiKanjeng ini. Tepat pukul 4 dinihari Kenduri Cinta edisi spesial Gamelan KiaiKanjeng of The Unhidden Hand dipuncaki dengan do’a bersama yang dipimpin oleh Kyai Muzammil. [Red KC/Fahmi Agustian]

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Rahmatan lil ‘Alamin-nya Mannna?

Setelah diawali dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan lantunan beberapa sholawat, Cak Nun langsung naik ke panggung bersama dengan beberapa sahabat-sahabat lama yang aktif di Persada Studi Klub (PSK) yang dua hari sebelumnya mengadakan acara peringatan 47 tahun PSK di Rumah Maiyah Kadipiro.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta