CakNun.com

Jewish is Old Islam and Islam is New Jewish

Prayogi R. Saputra
Waktu baca ± 4 menit
Rav. Menachem Ali Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim
Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim

Demikianlah salah satu poin akhir yang disampaikan Rav. Menachem Ali, MA. pada Kajian Sejarah Islam bertema “Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim” yang diselenggarakan Jamaah Maiyah Malang bersama dengan Rumah Inspirasi, Resist dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Selain Rav. Menachem Ali, kajian tersebut juga ditemani oleh Pradana Boy ZTF, PhD. dosen jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang.

Sebagai filolog, Rav Ali yang mengajar di Fakultas Humaniora UNAIR mengawali paparannya dengan menyandingkan teks Al Quran dengan terjemahan Al Quran yang berbahasa Ibrani. Rav Ali menyampaikan temuan-temuan arkeologi bahwa Ibrahim dan Ismail bukanlah nama dari bahasa Arab, melainkan nama dari Bahasa Akkadia/Aram kuno yang dituturkan di Mesopotamia, tempat tinggal Ibrahim.

Saat itu, bahasa Akkadia menjadi bahasa perdagangan Internasional (lingua franca) yang dibuktikan dengan surat-surat dagang yang ditemukan di Palestina dan Mesir yang berbahasa Akkadia. Bahasa Akkadia menggunakan huruf paku (cuniform). Jadi, Ibrahim bukan penutur bahasa Ibrani, apalagi bahasa Arab. Maka, ketika Ibrahim menyeberang ke Mesir, Ibrahim bisa berbicara dengan Firaun (Raja) Mesir zaman itu dengan bahasa Akkadia. Ibrahim pun dinikahkan dengan Hajar. Hajar bukan budak, sebab salah satu teks kuno yang dikemukakan Rashi — seorang Rabi — menyebut Hajar adalah putri Raja Mesir zaman itu (Hagar bath Par’o hayetah). Dari Hajar inilah kemudian lahir Ismail. Sementara dari Sarah — istri pertama Ibrahim — lahir Ishaq. Ishaq memiliki anak Yaqub yang oleh Allh dipanggil Israel. Anak turun Yaqub inilah yang kelak disebut sebagai Bani Israel.

Gen Ismail kelak akan menurunkan Muhammad bin Abdulllah. Sedangkan gen Ishaq kelak menurunkan Musa dan Isa. Musa adalah pembawa risalah Torah (Taurat) yang agamanya disebut Yahudi. Isa membawa risalah Injil yang agamanya disebut Nasrani. Sedangkan Muhammad sebagai Nabi akhir zaman membawa risalah al Quran yang agamanya disebut Islam. Sehingga baik Musa, Isa maupun Muhammad bukan hanya penerus Ibrahim secara teologis, tapi juga secara genetis.

Titik Temu dan Titik Tengkar

Dalam 3 agama yang berinduk pada monotheis Ibrahim tersebut, ditemukan titik temu dan titik tengkar. Apalagi dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik  serta iklim politik global, maka titik tengkar diperluas dan diperbesar sedemikian rupa. Sedangkan titik temu dikubur dalam-dalam. Seperti dikemukakan oleh Rav. Ali, titik-titik temu itu dalam aplikasi di masyarakat bisa ditemukan dengan mudah. Misalnya di Eropa, jika seorang Yahudi membutuhkan daging halal atau makanan yang halal, maka dia akan  pergi ke toko muslim. Demikian juga sebaliknya. “Dalam al Quran juga disebutkan, sembelihan orang Yahudi juga halal untuk muslim, demikian pula sebaliknya,” begitu Rav. Ali. Bahkan, saat ini di Eropa banyak orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka pun menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa Ibrani. Contoh Quran dengan terjemah Ibrani ditampilkan oleh Rav. Ali sebagai data primer.

Selain itu, ada lagi ajaran-ajaran Yahudi yang tidak berbeda dengan ajaran Islam, misalnya soal mandi junub. Atau soal larangan minum khamr. Banyak hal dari agama Yahudi yang persis seperti apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun dalam beberapa hal ada titik-titik yang menjadikan orang Yahudi dan Islam bertengkar. Namun, sejatinya orang Yahudi merasa lebih memiliki jarak terhadap orang nasrani dibandingkan dengan Islam. Salah satu indikasinya adalah orang Yahudi menyebut orang Nasrani sebagai penyembah berhala. Bahkan di Hebron, ada satu bangunan yang bangunan itu berfungsi sekaligus sebagai Masjid dan Synagog.

Hal yang perlu diperjelas juga adalah batasan-batasan dan pemilahan yang tegas antara Yahudi sebagai agama, Israel sebagai kaum/bangsa dan Negara Israel sebagai proyek Zionisme. Menurut Rav. Ali, orang-orang Yahudi Ortodoks sangat tidak suka dengan Zionis Israel. Orang Yahudi yang hidup di Negara Israel adalah migran yang memiliki luka di Eropa dan pindah ke Israel. Sedangkan Yahudi yang tidak dari Eropa, mereka justru tidak mendapat tempat di Israel sendiri. “Bagaimana Yahudi Ortodoks akan menyukai Negara Israel jika disana homoseksual legal, khamr legal.” Bukankah itu bertentangan dengan ajaran Yahudi sendiri.

Islam dan Jawa

Dalam isu Islam dan Jawa, Rav. Ali menunjukkan satu buku terjemah Qoeran Djawen Al Juz al-Sadis yang dijawakan oleh Moehammad Amin bin Ngabdoel Moeslim, seorang Guru agama di Sekolah Mambangoel Ngoeloem Surakarta. Buku tersebut diterbitkan tahun 1933 oleh Bhoekhandel Ab. Siti Sjamsijah Solo. Sebuah penerbitan Muhammadiyah. Terjemah tersebut menggunakan bahasa dengan aksara Carakan, bukan aksara latin. Hal ini menunjukkan bagaimana Muhammadiyah sangat “jawa” sekali dalam dakwah Islam.

Rav. Ali juga menunjukkan sebuah buku Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma: Sekar Sari Kidung Rahayu karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang diberi kata pengantar oleh KH. AR. Fachruddin. Buku tersebut tergolong baru karena diterbitkan pada tahun 2003 oleh Bentang Budaya dan Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bahkan menurut Rav. Ali, Muhammadiyah lebih terbuka terhadap Jawa dibanding NU. Sebab, karya-karya yang diproduksi NU umumnya menggunakan huruf pegon meskipun berbahasa Jawa. Sebagai contoh adalah karya KH. Bisri Musthafa Al Ibris li Ma’rifati Tafsir al Quran al Aziz bi al Lughah al Jawiyyah.

Dengan berbagai variasinya, Al Quran telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa bahkan dengan huruf lokal. Kemudian mengapa melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan ritme Jawa menjadi perdebatan sengit? Orang menjadi tertutup atau menutup diri sebelum benar-benar memahami apa yang ditolak. “Di Maroko,” kata Rav. Ali, “yang saya pernah tinggal di sana  dan di Afrika Utara, membaca al Quran ya dengan langgam lokal. Tidak dengan langgam Arab.”

Satu lagi fakta yang dibuka oleh Rav. Ali. Apakah al Quran kita menggunakan angka Arab dalam penulisan halaman? Ternyata tidak. Angka yang menunjukkan halaman dalam Al Quran adalah angka Hindi. Sementara kita mengenal angka latin yang sejatinya adalah angka Arab. Di Maroko dan Afrika minimal bagian Utara, kata Rav. Ali, halaman-halaman Al Quran ditulis dengan angka Arab atau kita mengenalnya sebagai angka latin.

Ternyata banyak hal yang kita yakini sebagai kebenaran merupakan kepercayaan-kepercayaan yang belum terkonfirmasi secara ilmiah. Dan malangnya, kita meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran yang harus dipegang teguh hingga menitikkan darah. Peradaban selalu saling pengaruh mempengaruhi. Tidak ada peradaban yang jatuh dari langit. Kalau ummat Islam menjadi tertutup dan curiga terhadap pihak diluar Islam — apalagi diluar madzhab yang dia peluk — padahal tanpa disadari dia menggunakan produk-produk peradaban diluar Islam sejak lama.

Prayogi R. Saputra
Jamaah Maiyah, Penulis Buku Spiritual Journey Emha. Sedang terdampar mengais pengetahuan pada program Doktor di Universitas Islam Internasional Sultan Abdul Halim Muadzam Shah, Malaysia.
Bagikan:
Exit mobile version