EMHA

Emha adalah satu fenomena menarik. Dia menulis sajak, menulis esai, menulis kolom, menulis kertas seminar, dan dia ada di mana-mana di depan khalayak seminar dan berbicara juga di depan khalayak terbuka. Kadang-kadang dia menulis juga lakon-lakon drama dan sesekali ikut terlibat langsung dalam pementasan. Topik dan tema yang ditulisnya bermacam-macam, bergerak dari kesenian hingga penghayatan kehidupan beragama maupun kejadian sosial aktuil. Semua yang dikerjakannya itu nyaris dikerjakannya dalam satu tarikan nafas panjang.
Bayangkan! Pada satu malam dia masih menulis di depan PC-nya beberapa karangan untuk berbagai media (sembari melayani tamu-tamunya yang tidak kunjung berhenti datang, kadang-kadang mengajak juga bergadang sembari makan gudeg), pada hari berikutnya dia sudah duduk di pesawat terbang yang akan membawanya ke berbagai kota di seantero nusantara ini. Kadang-kadang saya bertanya dalam hati, ajian apa yang dimilikinya maka dia mampu mengerjakan itu semua. Bagi saya, Emha selalu ada dalam kondisi go, go, go, go. Sakit jarang sekali menghampirinya. Demit sepertinya tidak mau men-dulit, syaiton, apalagi, tidak doyan Emha.

Emha menamakan dirinya seorang “pekerja kebudayaan”. Dalam menyatakan itu pun dia embel-embeli dengan perkataan “sekedar”. Juga dia menyatakan bahwa “puisi hanya salah satu metoda kontribusi sosial saya…” dan “…saya memilih untuk mendayagunakan kesenian sejauh ia bermanfaat bagi kerja kebudayaan dan kemanusiaan yang luas jangkauannya.”
Apakah semua pernyataan itu suatu understatement, suatu pernyataan untuk merendahkan prestasinya sebagai seniman? Saya kira tidak. Pernyataan itu pernyataan yang jujur apabila kita mengenalnya sebagai seorang yang dibesarkan dan tumbuh dalam etos kerja budaya muslim. Dialah seorang muslim yang tidak terjebak di dalam rutinitas penghayatan agama yang dangkal, melainkan lebih terpesona dengan memilih peranan sebagai pekerja kemanusiaan dan kebudayaan. Rizki yang diterimanya (yang tidak sedikit itu) tidak menyilaukannya untuk tampil sebagai seorang “dandy”, tapi justru disalurkannya untuk keperluan sosial seperti membangun sebuah pesantren.
Emha, semoga kejenuhan dan kelelahan tidak akan menghampirimu. Semoga produktivitas yang mengagumkan itu tidak pernah kuasa mendangkalkanmu.[]
Dokumentasi Progress: Publikasi oleh Komunitas Pak Kanjeng Yogyakarta berbentuk tabloid Selebaran Tidak Gelap “OJO DUMEH: Dari dan Oentoek Mereka Jang Bertjita-Tjita Merdeka” (1994-1995). Tabloid ini diterbitkan dalam rangka pementasan musik puisi KiaiKanjeng. Pementasan musik puisi ini sekaligus menandai lahirnya KiaiKanjeng. Dan, tabloid Ojo Dumeh yang salah satu isinya adalah tulisan Pak Kayam ini merupakan tabloid yang pertama kali dibuat untuk mengiringi sebuah pementasan.