Catatan Sinau Bareng Cak Nun, UIN Sunan Ampel, 30 Desember 2015
Malam ini Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah dimulai. Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya tempat berlangsungnya acara ini sudah dipadati anak-anak muda, sebagian besar adalah mahasiswa, dan jumlah ini semakin bertambah hingga saat ini. Tribun di atas pun telah dipenuhi jamaah. Sementara itu, KiaiKanjeng sudah di tempatnya masing-masing sejak usai persembahan pembuka oleh SB Percussion dari UIN Sunan Ampel. Tetapi alat musik KiaiKanjeng belum dibunyikan, karena Cak Nun terlebih memberikan kloso atau landasan-landasan bagi Sinau Bareng malam ini sehingga para jamaah memiliki frame dalam mengikuti setiap tahap atau pencapaian yang berlangsung.
Cara berpikir yang diintroduksi kepada anak-anak muda ini sangat sederhana, gamblang, dan mendasar. Bahwa memeringati apapun, tahun baru, atau kelahiran seseorang, terutama terletak pada niat dan kemauan untuk memperingati itu sendiri. Contoh, ada yang sedikit memprotes bahwa peringatan Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal tidak pas, karena setelah diteliti dengan sejumlah pendekatan dan metode ternyata lahir beliau bukan pada tanggal tersebut. “Terus kenapa kalau memang betul seperti itu. Nggak masalah beliau lahir tanggal berapa, kita bisa memperingati kelahiran beliau kapanpun, karena yang terpenting adalah cinta kita kepada Beliau. Emang kamu tahu persis kapan tanggal lahir kakek atau nenekmu…,” ujar Cak Nun.
Selanjutnya, anak-anak muda ini ditanya Cak Nun, kalau mau memperingati sesuatu seperti pergantian tahun atau memperingati kelahirah, sebaiknya sifat acara/kegiatannya kontemplatif atau pesta. “Kontemplasi….” serempak jawab mereka. Lalu Cak Nun mengajak mereka memahami arti ta’lim, ta’rif (ma’rifat), tafakkur, tadabbur, dan ta’dib. Intinya, Cak Nun mengajak generasi muda ini kalau bisa menyelenggarakan apapun sebaiknya diproses sebagai ta’dib atau pemberadaban. “Jadi malam ini adalah ta’dib bareng. Sebagai contohnya, musik hanya berbunyi jika sudah disertai dengan rasa dan kesadaran yang jelas. Ta’dib juga mengingatkan kita sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” papar Cak Nun untuk kemudian mengajak semua anak-anak muda ini melihat sudahkah kita semua atau orang-orang yang diberi mandat itu beradab. Ataukah jangankan sudah, berpikir mengenai peradaban pun tidak pernah sama sekali.
Belum genap pukul 22.00, tapi acara sudah berjalan dengan sangat bagus, padat muatan, dan interaksi yang amat hidup. Anak-anak muda yang sebenarnya jarak usianya sangat jauh dengan Cak Nun tetap terlihat mampu mencerna apa-apa yang disampaikan Cak Nun karena beliau sendiri juga sangat mengukur dengan baik pesan, konstruksi ilmu, maupun cara-cara berpikir yang hendak disemaikan kepada generasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Dan tanpa terasa, seluruh ruangan auditorium ini telah padat. Barusan Mas Doni diminta bawakan lagu Maroon 5, yang membuat jiwa muda mereka hidup dan gembira. Sementara itu lagu yang pertama dihadirkan KiaiKanjeng adalah nomor yang halus, Kapan Datang Engkau Menjelang, dan pada momentum berikutnya adalah Gundul-Gundul Pacul.
Menyambung penjelasan mengenai ta’dib, Cak Nun menambahkan konsep “takholluq” (berperilaku/berakhlak) dengan mengacu pada “takhollaqu bi akhlaqillahi” (berperilaku sesuai dengan akhlak Allah). Dan di tengah-tengah menjelaskan ihwal perilaku manusia yang menurut beliau merupakan labirin yang kompleks, Cak Nun mengatakan, “Saya bicara seperti ini, lalu Anda masukkan Youtube, maka sudah beda rasa atau konteksnya. Apalagi kalau Anda memasukkannya dengan Anda potong-potong, Anda bikin seakan-akan saya berhadap-hadapan dengan Habib Syekh atau Gus Nuril, padahal saya tidak pernah berhadapan seperti itu, saya nggak ada urusan dengan mereka. Jadi, jangan diteruskan yang seperti itu.”
Dari situ lebih jauh Cak Nun menjelaskan mengenai akun-akun yang menggunakan nama beliau. “Orangtuaku memberi nama Muhammad Ainun Nadjib itu dengan martabat. Ada doa yang dikandungnya. Ada proses yang ditanamkan di dalamnya. Selain itu nama itu dimaksudkan sebagai tanda atau tetenger buat saya yang membedakan saya dengan yang lain. Maka orangtua saya juga tidak pernah memakai nama saya. Nah kalau Anda menggunakan nama saya untuk akun-akun Anda, perlu diingat faman ya’mal mitsqaala dzarrotin khoiron yaroh, wa man ya’mal mitsqola dzarrotin syarron yaroh (Maka barangsiapa melakukan kebaikan sekecil biji dzarrah pun, Allah melihatnya, dan barangsiapa melakukan keburukan sekecil biji dzarroh pun, Allah melihatnya). Temen, yo! Aku gak muring-muring, aku hanya mesakke karo awakmu. Kalau kalian menggunakan nama saya untuk akun Anda, itu berarti Anda tidak bersimpati pada kebersamaan kita ini,” tegas Cak Nun.
Telah dibingkai bahwa malam ini adalah malam ta’dib. Hal yang relevan pula dengan tema yang diusung oleh penyelenggara “Harmoni dan Resolusi Akhir Tahun”, yang pada prinsipnya adalah upaya “melihat ke dalam”. Cak Nun sendiri mengingatkan hendaknya kita tidak menghitung kepala dengan mengabaikan organ-organ lain. Bahwa hati tidak bisa berdiri sendiri. Ia tetap membutuhkan keberadaan akal-pikiran. Sesuatu yang sayangnya di kampus dipisah-pisah. Kampus menjadi tidak kuliah (menyeluruh), tapi juziyyah (parsial).
Sampai kemudian selepas lagu Kapan Datang Engkau Menjelang, Cak Nun ingatkan tentang beda antara anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya. Tetapi, orang dewasa siap mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai keinginan/seleranya, tapi tetap dilakukan dengan pertimbangan kebenaran atau kematangan jiwa. “Coba Anda lihat bagaimana peradaban manusia saat ini dengan perspektif ini.”
Anak-anak muda ini lantas diajak melihat potensi orang-orang Indonesia. Mereka mentalnya kuat. Kerja keras dan kerja berat apapun siap, di manapun, terutama di luar negeri. Ibaratnya, orang Indonesia itu sudah tidak mikir urip, karena saking beraninya. “Nah yang sulit adalah manajemen ke dalam. Di situlah bangsa kita gagal. Nggak pernah tafakkur. Nggak punya akurasi dalam memandang ke depan, menetapkan proyeksi atau tujuan, serta tak punya keseimbangan dengan manajemen sosialnya. Tahun 2016, Anda semua harus belajar memimpin diri maupun Indonesia Anda. Dan kalau kita atau Anda memimpin, itu bukan sama dengan menguasai apalagi menjajah. Sebab naluri kita adalah menjunjung orang, mengasuh (ngemong), maka kita belajar dari surat an-Naas (Robbin Naas). Makanya, kalau bikin negara, harus dipikir dengan benar-benar konsepnya, jangan hanya tunduk dan mengekor kepada orang lain.”
Sekali lagi Cak Nun mengingatkan bahwa manajemen diri itulah yang sulit. Dan Indonesia ini sesungguhnya adalah negeri kasih sayang. Pendekatan atau approachment-nya juga kasih sayang. Itu merupakan sisi manajemen juga. Jika dikaitkan dengan harmoni, maka wujudnya adalah tidak membesarkan identitas. Misalnya Anda punya sesuatu yang bernama Islam Nusantara atau Islam apapun, jangan lantas Anda daftarkan kepada Allah “ini ya Allah Islam Nusantara…”, sebab dalam tinjauan ta’dib yang paling penting adalah perilaku kita, bukan identitas kita, bahkan identitas-identitas itulah yang gampang dimanipulasi buat bertikai, karena ketika satu identitas ditonjol-tonjolkan, orang lain yang tidak berada dalam identitas itu merasa terancam, dan harmoni jauh dari terwujud. Jika kita berfokus pada perilaku, maka kita berada pada posisi substansial, dan dari situ harmoni dapat dimulai.
Bila dikonversi ke dalam SKS, pertemuan malam ini, yang dihadiri tak hanya oleh mahasiswa UIN Sunan Ampel tetapi dari kampus lain, bahkan ada yang dari luar kota, volumenya bisa sangat ber-SKS-SKS karena kelengkapan dimensi dan ilmunya, terutama oleh cara-cara berpikir yang tak ada di kampus yang disampaikan Cak Nun di sini. Ini juga semacam kuliah yang diwarnai oleh masuknya kesegaran-kesegaran jiwa pada diri mahasiswa. Mereka tertawa lepas, tersenyum lebar, kadang terpingkal oleh kejutan-kejutan logika dan humor Cak Nun, banyak kosakata-kosakata baru yang dipersegar maknanya, sementara mungkin di kampus term-term kadangkala jadi tersempitkan maknanya. Kepada mereka, Cak Nun berpesan agar mereka menatap masa depan dengan optimisme dan penuh harapan, dengan kerja keras, dan yang terpenting adalah “jangan sampai mereka tidak menjaga kesehatan”.
Itu sebabnya, Cak Nun lantas meminta Mas Islamiyanto bawakan lagu yang halus tapi penuh seruan untuk tidak bersedih melalui nomor La Tahzanu ya Habibie, dan diperhangat dengan dangdut Imam Fatawi yang menyuguhkan Beban Kasih Asmara. Inilah kuliah umum yang tak hanya lewat kata-kata, melainkan melalui bangunan suasana lewat musik untuk mempelancar jalannya ilmu tersampaikan. Sementara di ruang-ruang kuliah di kampus, karena keterbatasannya, ilmu berjalan linier. Energi Maiyah atau kebersamaan seperti ini nyaris tak terbendung, sampai seorang kameramen pun ikut tersenyum manakala terjadi adegan yang mengundang tawa. Tak hanya para mahasiswa itu, tapi siapapun yang berada di gedung ini semuanya menyimak, semuanya mendengarkan, semuanya menyerap ilmu yang terbagikan melalui Sinau Bareng Cak Nun malam ini. Semuanya adalah audiens yang aktif dan sungguh-sungguh.
Hampir separuh waktu lebih dari durasi acara ini telah terisi dengan paparan-paparan ilmu yang padat dan beberapa nomor lagu dari KiaiKanjeng, lalu saat Cak Nun buka interaksi dialog atau tanya-jawab, Cak Nun tinggal memberikan respons atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara menjawab yang lugas, tangkas, to the point, tapi dengan logika yang tetap solid, seringkali mengejutkan, dan ini sepertinya beliau maksudkan untuk langsung dapat memberikan efek yang menetap di hati dan bisa langsung mengubah pikiran atau sikap mereka. Pertanyaan-pertanyaan mulai soal bagaimana menyikapi kuliah, soal ketuhanan, soal perintah dan larangan, dan konsep penghambaan kepada Allah. Semua dijawab dengan tuntas, ringkas, dan berdasarkan pengalaman Cak Nun sendiri. Misalnya, terkait dengan apa yang dilakukan seorang hamba, Cak Nun mencontohkan pilihan alasannya adalah “rasa bersalah kepada Allah” atau “membayar hutang kepada Allah”.
Separuh dari pertanyaan-pertanyaan itu rupanya memang berkaitan dengan ketuhanan (rohaniah). Cak Nun memaparkan struktur manusia sebagai makhluk hidup, lalu dari makhluk hidup pada posisi dasar ini di atasnya adalah posisi sebagai insan, lalu Abdulllah, lalu khalifatullah. Jadi, di atas kemanusiaan terdapat kehambaan. Sesi tanya jawab menjelma pendalaman atas apa yang sudah disampaikan Cak Nun, meskipun untuk dibutuhkan kesabaran karena pertanyaan-pertanyaan itu disampaikan dengan emosi, perasaan, dan dinamika khas anak muda yang penuh rasa ingin tahu sekalipun kadang artikulasinya tidak selalu matang, tetapi Cak Nun secara penuh sabar, tartil, dan tetap berpijak pada ilmu menjawab masing-masing pertanyaan.
Dari jawaban-jawaban Cak Nun, terjelaskan bahwa musuh utama kita saat ini, apalagi berbicara dari sudut ketuhanan, adalah sekularisme dan materialisme. Tanpa sadar Anda membayangkan Tuhan dalam frame fisik, mengharapkan surga dengan harapan yang berpijak dari beban-beban hidup dunia, dan kita suka “meregulasi” Allah dengan regulasi sesuai bayangan kita sendiri.
Malam ini, anak-anak muda yang memiliki kegelisahan akan positioning dirinya dalam memahami logika-logika ketuhanan yang selama ini telah tertanam dalam diri mereka, telah mendapatkan jawaban atau respons dari Cak Nun. Suatu cara berpikir yang esensinya menyeret mereka keluar kotak mapan menuju kesadaran yang lebih akurat, baik sebagai manusia, hamba, maupun khalifatullah. Dan sekarang mereka semua diajak masuk dalam semesta spiritual dengan melantunkan bersama shalawat shalatun minallah wa alfa salam. Duduk mereka sudah ditata sedemikian rupa supaya kompatibel dengan bimbingan dan rahmat Allah. Bersila, badan tegap, tetapi wajah menunduk penuh tawadhu dan kerendahan hati, sementara Cak Nun melafadhkan doa, shalawat, dan memohonkan harapan-harapan baik bagi mereka. Bergantian para vokalis membawakan nomor-nomor shalawat dalam rangkaian kekhusyukan di bagian akhir acara: Ya Allah Ya Adhim, Sidnan Nabi, dan shalawat lainnya. Suara magis Cak Nun muncul di sela-sela shalawat itu, melangitkan doa dan permohonan, sementara itu para player KiaiKanjeng pun memainkan alat-alat musik dengan konsentrasi kekhusyukan yang sama.
Anak-anak muda mahasiswa yang jiwanya progresif dan bergolak ini dibawa masuk ke dalam diri, mata mereka diminta terpejam sejenak, hati mereka dilembutkan, dan mereka mengamini doa-doa penutup dari Cak Nun. Acara pun sudah berakhir, tetapi tampak banyak dari mereka yang seakan tak ingin segera beranjak pulang. Untunglah KiaiKanjeng adalah musik pelayan. Untuk mereka, masih disuguhkan beberapa lagu dari Mbak Yuli, Mas Islam, Mas Imam, dan Mas Doni. Mereka juga manfaatkan kesempatan ini dengan bersalam-salaman di antara mereka. []