Universalitas Kalender Hijriyah
Pendahuluan
Setiap kali menjelang bulan Ramadhan ummat Islam di seluruh dunia dihadapkan pada ketidak- pastian bermulanya ibadah puasa. Ummat Islam di Indonesia termasuk yang beruntung, karena sudah terbiasa dengan perbedaan mazhab. Tetapi bagi ummat Islam di Malaysia dan Brunei Darussalam, harus menunggu fatwa “Mesyuarat Raja-raja Melayu”, yang terkadang baru diumumkan di hari terakhir bulan Sya’ban. Pernah pula suatu kali penulis mengalami kejadian yang paling aneh sewaktu di Jerman, yaitu berpuasa Ramadhan 31 hari lamanya, sebagai akibat dari kesilapan fatwa raja Arab Saudi di tahun 1992.
Adakah sebenarnya “kalender Hijriyah” itu? Dapatkah ia dibuktikan secara ilmiah? Kalender adalah alat administrasi dan komunikasi yang sangat penting, di dalam negeri maupun internasional. Satu prinsip dasar sebuah kalender adalah universalitasnya; pada hari yang sama berlaku tanggal yang sama di seluruh dunia. Mengingat hal itu, dapatlah dikatakan, bahwa selama ini kalender hijriyah tidak pernah ada, karena yang dikatakan ada pun tidak berlaku secara universal. Contoh berikut akan menjelaskannya, bahwa suatu hari adalah 30 Sya’ban di Indonesia, tetapi sudah 1 Ramadhan di Arab Saudi. Sebuah fax dikirim dari Arab Saudi bertanggal 1 Ramadhan dan dijawab dari Jakarta bertanggal 30 Sya’ban. Mungkinkah surat jawaban ditulis sebelum surat yang dijawab? Relakah ummat Islam menerima kenyataan pahit ini? Ataukah ummat Islam harus mau mendefinisikan ulang tentang batasan-batasan dalam perhitungan kalender Hijriyah-nya?
Cara memandang sitem perhitungan kalender
Ketiadaan kalender hijri yang berlaku universal ini bersumber dari cara berfikir yang parsial di kalangan para ulama Ilmu Falak, yaitu memisahkan secara tegar antara perhitungan syamsiyah (solar system) dan qomariyah (lunar system), sebagai dua sistem yang tak ada hubungan sama sekali di antara keduanya. Cara berfikir seperti ini harus ditinggalkan, karena melahirkan kontradiksi-kontradiksi seperti terlihat pada contoh di atas.
Panjang hari qomariyah tidaklah tepat 24 jam melainkan sekitar 24 jam 40 menit. Karenanya, dalam sistem kalender qomariyah “garis batas hari” tidak dapat di buat seperti dalam kalender syamsiyah (yang ditetapkan di lautan Pasifik, 180o bujur Timur). “Garis batas hari qomariyah” selalu bergeser sekitar 10 derajat yang ekivalen dengan 1.111 km di katulistiwa, kira-kira sepanjang pulau Jawa. Demikian juga panjang bulan, bukanlah kelipatan dari 24 jam tetapi lebih 12 jam 44 menit 3 detik, sehingga awal bulan baru mungkin bermula di setiap waktu dalam satu hari. Inilah sebenarnya sumber kebingungan ummat Islam dalam membuat kalender Hijriyah. Tidak adakah jalan keluar ? Tulisan ini ditulis untuk mengusulkan jalan keluar, yaitu dengan menegakkan beberapa prinsip dasr kalender universal.
Prinsip Kalender dalam al-Qur’an
Ayat al-Qur’an Surah Yunus: 10: 5 menyatakan dengan jelas, bahwa ilmu Hisab dapat didasarkan pada perhitungan bulan dan matahari. Kedua benda angkasa ini disebut berturutan dalam satu ayat yang sama. Karena itu konsep-konsep dari kedua sistem perhitungan itu sebaiknya dikombinasikan untuk memperoleh kalender Hijriyah yang universal. Konsep hari dari sistem kalender syamsiyah penulis usulkan sebagai fakta alamiah yang harus diterima dalam kalender Hijri. Maka prinsip pertama kalender hijriyah adalah: “Pada hari yang sama, di seluruh dunia berlaku tanggal hijriyah yang sama.”
Lokasi mana?
Sebagai akibat tidak adanya garis batas hari dalam sistem qomariyah, datangnya “hari baru” dan “bulan baru” dalam sistem qomariyah masih tergantung pada suatu tempat. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mengusulkan dipilih satu lokasi standar bagi penentuan kalender, yaitu koordinat Masjidil Haram di kota Makkah, karena inilah “qiblat” ummat Islam sedunia. Dengan demikian, tempat lain di dunia ini, termasuk yang berada di sebelah Timur dari Makkah, mengikuti kalender yang dibuat berdasarkan koordinat Makkah. Sehingga prinsip kedua dalam penyusunan kalender Hijriyah yang diusulkan berbunyi: “koordinat yang digunakan dalam penyusunan kalender Hijriyah ialah koordinat kota Makkah/masjidil Haram.”
Hisab ataukah Ru’yah?
Dalam surah Yunus: 10: 5 diatas digunakan lafal “hisab”. Bagaimanakah sunnah memberitakan perihal ini? Dua buah hadits riwayat Imam al-Bukhary dan Imam Muslim yang dikemukakan berikut ini dapat digunakan sebagai rujukan yang diperlukan dalam pembahasan selanjutnya.
عن أبي هريرة رع عن النبي صلم أنه قال : إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فافطروا فإن غم عليكم .1 فصوموا ثلاثين يوما ﴿رواه مسلم في صحيحه 1081﴾
Hadits yang pertama adalah dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah s.a.w. bahwa beliau bersabda: “Apabila kamu sekalian melihati bulan sabit maka berpuasalah, dan apabila engkau melihatnya lagi maka berbukalah. Maka apabila bulan sabit itu tak kelihatan, berpuasalah 30 hari.” (Hadits Riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih nya no. 1081).
عن ابن عمر رع عن النبي صلم أنه قال: إنا قوم اؤمية لانكتب ولا نحسب. الشهرهآذا هآذا. ﴿رواه .2 البخارى في صحيحه 1801 ومسلم في صحيحه 1080﴾
Hadits yang kedua, dari Ibnu ‘Umar r.a. dari Rasulullah s.a.w. bahwa beliau bersabda: “Kami adalah kaum yang buta-huruf, tidak dapat membaca dan tidak dapat menghitung. Adapun bulan (qomariyah) itu terkadang seperti ini, terkadang seperti itu (29 hari atau 30 hari).” (Hadits Riwayat Imam Bukhari dalam Kitab-Shahih nya no. 1801 dan Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahih nya no. 1080)
Hadits pertama memang sudah sering diketahui umum, dan biasa digunakan sebagai pegangan para ulama dan da’i untuk berfatwa tentang panjangnya sesuatu bulan qomariyah. Sayangnya hadits pertama tidak pernah dikaitkan dengan hadits kedua, dan dianggap final sebagai landasan bagi metoda ru’yat , yaitu menentukan awal bulan dengan kemampuan penglihatan.
Dari hadits kedua di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Rasulullah mengetahui, bahwa penentuan bulan itu memerlukan perhitungan. Jadi, sekiranya Rasulullah saw mampu membuat perhitungan astronomis (hisab falakiyah), maka beliau akan melakukannya. Namun, keadaan beliau di zaman itu adalah dari kaum yang “tidak dapat menulis dan menghitung”. Ummat Islam waktu itu belum memiliki kemampuan untuk melakukan perhitungan serupa itu. Metoda pengambilan kesimpulan seperti ini membawa kita pada kesimpulan, bahwa melakukan hisab adalah lebih utama daripada melakukan ru’yah. Karena itu, prinsip ketiga yang diusulkan dalam penyusunan kalender Hijriyah berbunyi: “hisab adalah alat yang digunakan untuk penyusunan kalender Hijriyah.”
Ufuk mar’i ataukah ufuk haqiqi?
Menurut perumusan hisab falakiyah, bulan baru akan terjadi setelah bumi, bulan dan matahari terletak pada satu garis. Keadaan ini disebut konjungsi atau ijtima’ Pada saat berlangsung konjungsi itu, secara astronomis akan terjadi gerhana matahari, walaupun tidak disadari oleh orang awam.
Setelah terjadi ijtima’, maka bulan sabit atau “hilal” akan terbentuk di langit yang menandai bulan baru. Apabila ijtima’ terjadi cukup tinggi di atas ufuk penglihatan, maka bulan sabit dapat dilihat mata saat matrahari terbenam (“ru’yatul hilal”). Sayangnya, ufuk penglihatan ini tergantung ketinggian tempat dari muka laut. Ufuk mar’i dari gunung tidak sama dengan ufuk mar’i dari pesawat tertbang atau satelit. Dengan kata lain ia tidak universal.
Ufuk lain yang digunakan secara internasional adalah ufuk haqiqi, yaitu garis perpotongan antara bola dunia dengan bidang datar yang melalui pusat bumi dan pusat matahari serta tegak lurus (perpendicular) terhadap bidang lintasan bulan. Karena melalui pusat bumi, maka ufuk jenis ini bersifat universal.
Untuk menentukan bulan baru, ada kalangan yang berpendapat bahwa hisab perlu dilakukan tetapi dengan menggunakan ufuk mar’i. Artinya, bulan baru bermula apabila ijtima’ terjadi pada saat bulan masih berada di atas ufuk mar’i waktu matahari terbenam. Pendapat ini menggunakan hadits pertama di atas sebagai dasar, karena yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. adalah melihat bulan sabit saat matahari terbenam (maghrib). Menurut hemat penulis pendapat ini kurang tepat karena tidak mempertimbangkan hadits kedua serta metoda pengambilan hukum dari kedua hadits tersebut seperti telah dibahas di muka.
Penulis berpendapat, metoda hisab yang mendasarkan ijtima’ terjadi saat bulan masih berada di atas ufuk haqiqi waktu matahari terbenam adalah lebih baik, mengingat ufuk ini bersifat universal. Dengan demikian, berkaitan dengan penyusunan kalender Hijriyah penulis mengusulkan prinsip keempat yang berbunyi: ”ufuk yang digunakan dalam hisab penyusunan kalender Hijriyah adalah ufuk haqiqi.”
Kapankah hari kita bermula?
Ada lagi masalah yang perlu dipertimbangkan berhubungan dengan kalender Hijriyah ini. Telah dikemukakan di atas, bahwa perhitungan untuk ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam (“ijtima’ qablal ghurub”) dengan menggunakan ufuk haqiqi kota Makkah adalah pilihan yang sangat bagus dan masuk akal. Namun demikian, bulan baru dalam Islam berhubungan erat dengan ibadah puasa dan haji, yang bermula saat fajar (shubuh). Karenanya muncul pula pendapat yang menyatakan, bahwa bulan baru dihitung dengan cara hisab berdasarkan pada ketentuan konjungsi yang terjadi sebelum subuh (“ijtima’ qablal fajar”). Dengan ketentuan ini, bila ijtima’ terjadi sebelum subuh, walaupun sesudah maghrib, maka mulai waktu fajar berikutnya adalah bulan baru. Pendapat ini secara tidak langsung menggunakan asumsi bahwa hari dimulai sejak fajar.
Pendapat yang terakhir ini telah pula menyebabkan lahirnya pendapat alternatif lain, yaitu “ijtima’ sebelum tengah malam”, yang mengasumsikan bahwa hari dimulai sejak tengah malam, yang lebih universal. Kedua pendapat yang terakhir ini berbeda dari kebiasaan dalam masyarakat Islam yang telah menerima hakikat “hari bermula dari saat matahari terbenam”. Perbedaan ini harus pula diselesaikan.
Penutup
Penulis dengan ini mengajukan usul kepada ummat Islam, yang diwakili oleh fihak-fihak dan lembaga-lembaga yang berkenaan dengan penetapan kalender Hijriyah untuk menetapkan prinsip-prinsip standar dari sistem kalender Hijriyah sbb: pertama, mengakui diperlukannya satu sistem kalender Hijriyah yang berlaku sedunia; kedua, menggunakan koordinat Makkah sebagai dasar perhitungan kalender Hijriyah; ketiga, menerima sistem hari dari sistem syamsiyah diberlakukan untuk sistem hijriyah; keempat, menggunakan hisab untuk penentuan bulan baru; kelima, menggunakan ufuq haqiqi sebagai ufuq standar perhitungan.
Disamping itu penulis mendesak kalangan yang berkompeten untuk segera menyelesaikan perbedaan pendapat yangberhubungan dengan konsep hari dalam kalender Hijriyah yang bermula saat matahari terbenam, atau tengah malam atau saat fajar.
Demikianlah tulisan ini dibuat, semoga bermanfaat bagi kita semua. Segala kritik, saran dan komentar berkenaan tulisan ini akan penulis terima dengan suka cita.