A Silent Note
Dear Maiyah,
Thank you for sharing this silent path with me. I observed, I listened, I felt, I tasted and I smelled what the sense of this movement is about.
It’s about the people. It’s about you. It’s about the connection of you and me. It’´s about togetherness and divine inspiration. This movement picks up today’s zeitgeist. Within this it is possible to break down the conflicts that occur in this world and it helps to be aware and reflect upon issues on a personal level. Usually we leave the routine of Mocopat Syafaat and take home a piece of enlightenment. Maybe we have only changed the way of looking at the issue that we carried in our heart. Maybe we were able to laugh out loud, all together, until the tension of unsolved problems was gone.
There has been quite a long tradition of contradictive opinions weather music in Islam is distracting from the pure spiritual path or weather it can help us to go online. Already the melodic recitation of Al-Qur´an shows us how the power of music can be used in a spiritual way. When I look at Kiai Kanjeng I can see a Muslim Javanese reality, which is embracing the diversity of our society and uses the power of music in a conscious and fitting way. Thus all the seemingly contradictive aspects start to melt into a harmonious song. Thanks to the different backgrounds of Kiai Kanjeng members with their many talents, inputs and spontaneous outcomes, the music gets a certain flexibility. The innovation of the multiuse Gamelan Kiai Kanjeng, gives a new character to different musical genres that I call “kanjengish”. It’s what you hear and can’t describe, but you know it is typical for Kiai Kanjeng. It is not rigid but floating and flowing; sounds that are “More than Music that you know”.
The diatonical doorway of this Gamelan connects not only musical genres but also cultures. The meaning of Kiai Kanjeng music is not only non-restrictive, sacred and all encompassing at the same time, but also social problem solving. Through this music we can hand over frustration, happiness, peace or whatsoever to the transcendental world. Than it’s up to Allah what he does with this manusia. Javanese life seems to be a constant negotiation of give and take. So is this musical communication between the horizontal and vertical. Between us, the people, and our supervisor.
My stay of six months in Java, can be described as a constant learning process. There was never a one way communication. With time I felt more and more comfortable in the new surroundings, I learned Bahasa Indonesia to have at least some basic conversations, started enjoying Lotek, got familiar with the sounds of Javanese and the melodic prayer of the Muezzin and even the smoke of the Kretek at the gatherings became part of my nostalgic memories. I enjoyed and appreciated learning about the Javanese culture and customs. The religious sphere turned out to be very open-minded, connected to daily life and human challenges. We can assume that the cultural meaning of this movement is negotiating day in and day out and has to be redefined in each situation. Hybrid forms of religion, culture and music arise. If we learn about Cak Nun and Kiai Kanjeng then we start to understand who we are as human beings. Thank you for broadening my mind and soul.
I am already on my way back to Germany in order to share my experience about humanism in Java. Whereby the kanjengish sounds shall accompany me in order to make people feel what Islam really is about. It’s diverse.
Selamat diperjalankan my friends!
Matur Nuwun.
Eva-Maria
Versi Indonesia
Catatan Sunyi
Teman-teman Maiyah yang tercinta,
Terima kasih kalian telah berkenan untuk berbagi jalan sunyi ini dengan saya. Saya mengamati, mendengar, merasakan, mencicipi, dan membaui apa yang menjadi makna dari gerakan ini.
Jalan ini adalah tentang manusia satu dengan yang lain, adalah tentang kalian, adalah tentang hubungan antara kalian dengan saya. Ini adalah tentang kebersamaan dan inspirasi suci. Gerakan ini telah menjadi semangat zaman di masa ini, yang di dalamnya ditawarkan kemungkinan untuk meruntuhkan berbagai konflik yang terjadi di dunia ini dan hal-hal yang membantu kita untuk menyadari dan merefleksikan berbagai persoalan yang terjadi di tataran pribadi. Kita biasanya akan meninggalkan rutinitas Mocopat Syafaat dan pulang ke rumah dengan sekeping pencerahan. Mungkin kita hanya bisa merubah cara kita memandang persoalan yang menggelisahkan hati. Atau, mungkin kita bisa tertawa lepas, bersama-sama, hingga semua ketegangan yang diakibatkan berbagai masalah yang tidak terselesaikan menjadi sirna.
Telah ada suatu perdebatan cukup panjang tentang apakah musik dalam Islam menjauhkan kita (menyimpang) dari jalan spiritual murni atau apakah ia justru membantu kita untuk terhubung langsung (online) dengan Yang Maha Pencipta. Terlepas dari perdebatan ini, sebenarnya irama dalam lantunan pembacaan Al-Qur’an telah menunjukkan bagaimana kekuatan musik dapat digunakan secara spiritual. Ketika saya melihat Kiai Kanjeng, saya melihat realitas Muslim Jawa, yang mampu merangkul keragaman dalam masyarakat kita dan mengkaryakan kekuatan musik secara sadar dan terasa pas. Cukup dengan melihat ini semua aspek yang saling bertentangan seolah kemudian cair dalam sebuah lagu yang penuh harmoni. Berkat keragaman latar belakang anggota Kiai Kanjeng dan juga berbagai bakat yang mereka miliki, juga input dan olahan yang spontan, musik mereka memiliki semacam kelenturan. Inovasi Gamelan Kiai Kanjeng yang multiguna juga memberikan suatu karakter baru pada berbagai genre musik yang saya sebut “kanjengish”. Ini hanya apa yang kita bisa dengar tanpa bisa menjelaskannya, tetapi kita tahu bahwa itulah kekhasan Kiai Kanjeng. Musik yang mereka bawakan tidak kaku, tetapi melayang-layang dan mengalir; bunyi-bunyian yang “Melebihi musik yang pernah Anda tahu”.
Pintu diatonis dari Gamelan ini tidak hanya terhubung dengan berbagai genre musik, tetapi juga budaya. Makna yang dibawakan musik Kiai Kanjeng tidak hanya tidak mengekang, suci, dan sekaligus mencakup semua, tetapi juga bersifat mampu menyelesaikan masalah. Melalui musik ini kita bisa memasrahkan rasa frustasi, kebahagiaan, kedamaian, atau apapun pada suatu dimensi transendental. Daripada menyerahkan kepada Allah apa yang Dia kehendaki dengan manusia ini, kehidupan masyarakat Jawa lebih seperti negoisasi memberi dan menerima. Jadi ini adalah tentang komunikasi antara dimensi horisontal dan vertikal. Antara kita, manusia dengan yang mengawasi kita.
Masa tinggal saya selama enam bulan di Jawa dapat digambarkan sebagai suatu proses pembelajaran yang terus-menerus. Tidak pernah saya rasakan komunikasi yang hanya satu arah. Seiring waktu, saya merasa semakin merasa nyaman dengan lingkungan baru ini, saya belajar Bahasa Indonesia setidaknya di tingkat saya bisa bercakap-cakap, mulai menikmati lotek, mulai merasa akrab dengan bunyi-bunyian Jawa dan lantunan suara Muadzin, dan bahkan rokok kretek di acara-acara kumpulan akan menjadi bagian memori yang tak akan pernah terlupakan. Saya menikmati dan sangat senang belajar tentang budaya dan adat istiadat Jawa. Ranah keagamanaan masyarakat Jawa ternyata punya pandangan yang sangat terbuka, yang terhubung dengan kehidupan sehari-hari dan tantangan-tantangan kehidupan manusia. Kita dapat berasumsi bahwa makna kultural dari gerakan ini adalah tawar-menawar (negosiasi) yang terus-menerus dan harus didefinisikan kembali dalam setiap situasi. Dan muncullah perpaduan antara agama, budaya, dan musik. Jika kita belajar tentang Cak Nun dan Kiai Kanjeng, maka kita mulai memahami siapa sebenarnya kita sebagai makhluk hidup. Terima kasih telah memperluas cakrawala nalar dan jiwa saya.
Saya dalam perjalanan pulang ke Jerman untuk membagikan apa yang saya alami tentang kemanusiaan (humanisme) di Jawa, di mana alun bunyi-bunyian kanjengish akan menemani saya untuk membuat orang merasakan bagaimana Islam itu sesungguhnya. Islam itu sangat beragam.
Diterjemahkan oleh Helmi Mustofa (Progress) dan Penya Adinugraha