Reportase Re-Legi Januari: Bangkit dari Reruntuhan
Maiyah Rebo Legi Januari lalu menyoal tumbuh sekaligus tumbangnya grup-grup Sholawat di Malang. Menurut data yang dihimpun pada awal dekade 2000 an, grup-grup sholawat di Malang Raya yang menduplikasi model KiaiKanjeng dan menyatakan diri sebagai bagian dari Maiyah ada 314 kelompok. Itu pun masih terus berkembang dan diperkirakan mencapai jumlah hingga 400an kelompok. Tapi, kelompok-kelompok itu sekarang seperti lenyap musnah ditelan bumi. Mengapa ratusan grup sholawat yang baru tumbuh itu pada akhirnya bertumbangan? Itulah yang menjadi perhatian Maiyah Relegi kali ini.
Dipandu oleh Cak Madjid, Maiyahan semakin menarik dengan kehadiran Cak Fuad, Cak Dil, dr. Kriss dan Jamaah Maiyah yang memberikan cara pandangnya masing-masing. Berikut butir-butir pemikiran yang disampaikan baik oleh Cak Fuad, Cak Dil, dr. Kriss maupun Jamah Maiyah di Misykat Art Space, Malang.
Karakteristik Simpul Maiyah
Setiap simpul Maiyah mempunyai karakter masing-masing. Simpul Maiyah di Jakarta memiliki karakter yang berbeda dengan simpul Maiyah di Jogja dan Jombang. Demikian halnya simpul Maiyah di Surabaya berbeda karakter dengan simpul Maiyah di Semarang.
Pengalaman sepanjang mengikuti Maiyahan di tahun 2006, Malang oleh Cak Nun selalu di sebut-sebut di berbagai Maiyahan sebagai salah satu simpul Maiyah dengan potensi kelompok sholawat yang jumlahnya sangat besar. Hal ini kemudian bisa dibaca sebagai fakta bahwa karakter kuat Maiyah di Malang adalah kelompok sholawat.
Tumbuh dan semaraknya grup sholawat memiliki pengaruh pada kehidupan sosial dan individu. Sebagai contoh adalah anak dr. Kriss. Sejak berada dalam kandungan, anak-anak dipersentuhkan dengan sholawat. Sehingga, hingga saat ini anak-anaknya suka sholawatan dan cenderung tidak suka pada televisi.
Tentu ini menjadi sebuah keuntungan saat acara-acara televisi yang tidak berkualitas bukan saja tidak bisa membangkitkan karakter pada anak, bahkan cenderung merusak perkembangan positif anak. Persentuhan dengan sholawat — menurut pengalaman dr. Kriss — mampu membangkitkan karakter anak.
Melihat salah satu potensi sholawat yang demikian itu, alangkah baiknya jika kelompok-kelompok sholawat kembali ditumbuhkan. Masyarakat Malang sudah memiliki basis budaya. Tentu akan lebih mudah membangkitkan dan menyemai kembali grup-grup sholawat di Malang Raya.
Materialisme dalam Sholawat
Menurut Jamaah Maiyah yang turut bergaul dengan semarak tumbuhnya grup-grup sholawat, ada beberapa poin yang menyebabkan grup-grup itu kemudian mati. Namun, diantara penyebab-penyebab itu, ada satu poin yang paling kuat, mendominasi dan menjadi gejala umum, yaitu: munculnya kesadaran panggung pada grup-grup sholawat.
Dimulai dari adanya undangan-undangan untuk pentas, segera saja grup-grup sholawat itu berubah orientasi. Jika sebelumnya mereka sholawatan dengan orientasi kesenangan, hobi, pengisi waktu luang dengan kegiatan yang mengandung nilai religius. Setelah mulai ada undangan-undangan pentas, mereka berubah orientasi dari hobi ke dagang dengan menjadikan sholawat sebagai komoditas.
Namun, ada contoh menarik seputar kelompok sholawat yang bisa dijadikan referensi seperti diungkapkan oleh Cak Dil, yaitu kelompok-kelompok terbangan ISHARI yang masih eksis mulai tahun 50an hingga sekarang dan tidak goyah terkena “wabah penyakit materialisme” seperti di Malang.
Sementara grup-grup sholawat di Malang yang trend pada awal dekade 2000an rontok. Pada saat yang sama kita melihat ada model-model sholawatan yang masal. Dari sudut pandang lain, kita bisa melihat perbedaan antara kesenian jamaah dan kesenian panggung. Kalau kesenian jamaah cenderung otentik, tidak memiliki kecenderungan untuk show. Sementara kesenian panggung lebih berorientasi pada show. Itulah yang terjadi pada gerakan sholawat saat ini. Gerakan sholawat bukan merupakan peristiwa cinta, tapi adalah gerakan musik bergenre sholawat.
Diluar fenomena majelis sholawat massal yang berorientasi show, sejatinya di berbagai daerah di Malang masih banyak ditemukan jamaah jidor. Jidor adalah kesenian yang melantunkan sholawat diiringi oleh rebana dan semacam bedug kecil. Mereka lebih murni, bebas dari kepentingan pentas dan masih berorientasi pada aktualisasi diri. Gerakan Sholawat di Indonesia tahun 70an adalah sebuah hal yang kurang trend. Dalam perjalanan berkebudayaan di masyarakat yang saling berebut dominasi dan pengaruh publik, sholawat menjadi arus besar. Sayang, aktivitas pernyataan cinta kepada Rosulullah itu kini menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Rekomendasi dari Cak Dil adalah perlu dipikirkan untuk meng-create kembali jamaah kecil-kecil dengan orientasi non panggung dengan menumbuhkan kembali rasa rindu saat kumpul jamaah sholawatan. Hal itu bisa dimulai dari sendiri dan keluarga. Ada baiknya juga jika menciptakan kreasi yang agak berbeda, misalnya dengan memberi makna dan pemahaman pada syair sholawat yang dilantunkan. Tugas berat memang melakukan pemuliaan kembali tradisi sholawat yang lebih esensial, agar tidak terjebak pada ritual yang berlebihan. Bahkan sampai mengalahkan ibadah mahdloh.
Sejarah Tumbuhnya Sholawatan
Cak Fuad memberikan wawasan sejarah dan latar belakang ihwal yang sekarang dinamai dengan sholawat. Menurut Cak Fuad, istilah sholawat merupakan istilah yang muncul baru-baru ini. Sebelumnya, masyarakat lebih mengenal istilah diba’an, terbangan, dll. Ada kerancuan sedikit mengapa ada yang keberatan memusikkan sholawat? Karena memang sholawat itu istilah yang kental dengan ibadah dan dasarnya adalah perintah Al Qur’an, yaitu: supaya kita ber-Sholawat kepada Rasulullah. Artinya, kita mendoakan Rasulullah.
Sedangkan yang beredar pada diba’an, terbangan, sholawat pada intinya berisi syair-syair pujian-pujian kepada Rasulullah saw. Tapi kalau di Arab bukan musik sholawat. Tapi namanya musik puisi pujian kepada Nabi atau Madah Nabawi. Madah Nabawi ada sejak zaman nabi masih hidup. Para penyair Arab penentang Islam membikin pusi-pusi penghinaan kepada Rasuulullah dan dibalas dengan puisi pujian kepada Muhammad oleh para sahabat. Jadi, puisi-puisi pujian pada Nabi sudah ada sejak zaman Nabi hidup. Tapi tidak semua disebut Madah Nabawi karena latar belakang dan tujuan penciptaannya, bermacam-macam. Ada puji-pujian yang sebenarnya bukan tulus sebagai ungkapan perasaan cinta kepada Nabi.
Setelah Nabi wafat, pada zaman Ali, lahir puji-pujian kepada Nabi dan diteruskan pujian-pujian kepada Ali dan anak turunnya yang disebut ahlul bait. Kemudian, lahirlah kaum sufi dan ini menambah kental pujian kepada Nabi. Madah Nabawi lahir dari komunitas pendukung Ali dan komunitas tasawuf sampai pada zaman Abasyiah. Salah satu yang terkenal adalah Syech Busyiri dengan Al Burdah. Al Burdah dianggap sebagai puncak puisi Madah Nabawi dan menjadi acuan Madah Nabawi atau puisi pujian nabi.
Sementara pasca era Abbasiyah, kaum muslim mengalami distorsi dan setelah itu semua puji-pujian meniru Burdah. Bersamaan dengan itu, lahir tradisi maulid. Sebelum zaman Sholahuddin, sudah lahir tradisi maulid Nabi dari kaum tasawuf. Sehingga, adanya maulid menjadi wadah pujian kepada Nabi.
Pengertian sholawat di Indonesia sekarang ini adalah jamaah sholawat berarti jamaah pembaca puisi-puisi pujian kepada Nabi. Madah Nabawi ada juga sholawatnya untuk Nabi. Sholawat adalah doa. Sementara Al Barzanji oleh Ad Daiba’I adalah sejarah yang ditulis secara puitis tentang Nabi yang dibaca hampir menyerupai membaca Al Quran. Maka, sewaktu diba’an perlu diberi pemahaman dan kreasi-kreasi yang lebih lagi untuk meningkatkan kualitas sholawat sehingga tidak hanya menjadi ritual .
Didalam sejarah Al Barzanji, ada 40 kisah yang ditulis dan banyak diantaranya mengandung khurofat sehingga ada pro dan kontra. Kalangan sastrawan mesir berpendapat bahwa isi Al Barzanzi itu merupakan sebuah imajinasi yang ingin menggambarkan kecintaan kepada Rasulullah. Sementara kalangan ahli menyatakan bahwa Al Barzanzi bercerita tentang Rasul tapi tidak realistis. Bahkan ada bagian-bagian yang meletakkan Rasulullah sedikit menyerupai Tuhan. Maka dari itu, kita harus terbuka untuk memahami orang yang tidak mau menerima sholawatan, barzanzi, dll. Sementara tugas utama kita adalah menjaga agar sholawat tidak dieksploitasi menjadi komoditas komersial.* (Red Relegi/Faqih Qodril dan Muhammad Saputra)