CakNun.com

Menikmati Kehancuran

Gambang Syafaat
Waktu baca ± 4 menit

Seperti biasa Maiyah Gambang Syafaat bulan Februari dimulai dengan nderes Al-qur’an, yang kemudian dilanjutkan dengan membaca Sholawat Munajat Maiyah bersama-sama. Sekitar pukul 23.00 WIB, Mas Nugoro dan Mas Ali Fatkan membuka diskusi dengan tema “Menikmati Kehancuran”. Dalam diskusi pembuka ini, Mas Agus Wibowo mengatakan, “Bahwa setiap kali kita makan adalah penghancuran. Tidak mungkin langsung ditelan. Pasti melalui proses penghancuran terlebih dahulu“. Beliau juga memberikan kesimpulan bahwa “suatu kehancuran bisa dimaknai sebagai informasi dari Tuhan, kehancuran tidak dipahami sebagai kehancuran, tetapi merupakan suatu petunjuk atau proses jalan menuju wilayah pertumbuhan yang hakiki”. Kemudian diskusi disambung oleh Bapak Saratri dan Bapak Ilyas dan diselingi dengan hiburan Musik Akustik dari salah satu jamaah.

Waktu memasuki pukul 24.00 WIB, tampak Cak Nun sudah hadir ditengah-tengah jamaah didampingi Kiai Marzuki Kurdi dan Pak Mustofa W Hasyim dari Nahdlatul Muhammadiyyin. Usai beramah tamah, Cak Nun beserta narasumber lain segera bergabung di tengah-tengah jamaah dan segera menyampaikan uraian-uraian Maiyah. Terkait dengan tema, Cak Nun mengemukakan terlebih dahulu pemahaman kehancuran secara linier. Kalau kata-kata menikmati kehancuran menurut asosiasi orang banyak bisa diartikan “kenikmatan menyakiti diri sendiri”. Pertanyaannya adalah: Sakit itu baik atau buruk?

Kemudian Cak Nun menegaskan bahwa penderitaan itu penting, sakit itu sangat penting, Sakit sangat diperlukan, Karena pada saat anda sakitlah anda mendapat pencerahan untuk memaknai sehat. Ketika sakit anda bisa mengukur kembali ketangguhan diri anda. Dengan anda sakit anda tahu bahwa anda memiliki kelemahan, akibatnya sangat bagus, anda menjadi tidak akan sombong, serta rendah hati, atau lebih tahu diri. Kalau engkau menganggap kehidupan adalah di dunia saja ya penderitaan hanya di dunia saja. Tetapi kalau anda mengganggap ada kehidupan lain setelah di dunia maka penderitaan akan memiliki makna yang lain.

Selanjutnya Beliau memaparkan makna syair Sholawat Tombo Ati yang keempat, yang berbunyi kaping papat weteng iro ingkang luwe, “Kekenyangan itu tidak baik, orang Jawa kalau lapar tidak bisa berpikir, kalau kenyang malas berpikir. Akhirnya tidak jadi berpikir. Kenyang banget tidak baik, kenyang bisa baik bisa tidak, lapar pasti baik, kalau lapar banget atau kelaparan tidak baik. Jadi weteng iro ingkang luwe neng ojo keluwen. Hidup itu tidak bagaimana caranya kenyang tapi bagaimana caranya tidak kelaparan. Kalau menurut Rasulullah ‘’makanlah ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang”. Semakin anda banyak makan semakin mudah anda terkena penyakit dan badan anda semakin lemah. Kalau kehancuran dipararelkan dengan penderitaan, maka menikmati penderitaan itu yang paling dasar adalah salah satunya menikmati lapar. Orang Jawa tidak bisa dibuat menderita, tidak ada revolusi petani, tidak ada revolusi nasional, dikarenakan mereka tahan lapar, karena mereka tahan menderita. Banyak Petani-petani Filipina dan Thailand sering berdemo karena mereka tidak tahan menderita. Kalau di Indonesia ini tidak apa-apa, karena di sini banyak banget bahan-bahan untuk menikmati kehancuran. Orang Jawa itu mempunyai banyak banget filsafat, kalau marah sama orang tidak bisa membalasnya itu ada filsafatnya Mesti ono dalanne, Gusti ALLAH mboten Sare, tenang wae, becik ketitik olo ketoro, kabeh wong kan ngunduh wohing pakarti. Jadi banyak banget jalan untuk tidak Revolusi. Dari salah satu sudut itu sangat jelek, karena tidak bisa melahirkan pembangunan progresivitas sosial, tetapi dilihat dari sudut ketahanan individu itu luar biasa banget. Bisa diambil contoh ketika ada koruptor yang mencuri uang rakyat begitu banyaknya, kalau anda marah dan anda menuntut koruptor dihukum Itu urusan utamanya karena hartanya dicuri atau soal apa? Kalau anda marah, untuk menghilangkan marah itu kenapa anda harus repot-repot ke Jakarta? Kalau urusan marah itu sebenernya anda iklas atau tidak.”

Lebih menukik lagi, Cak Nun menandaskan, “Kalau urusan duit, silakan di dunia ini ambil semua itu harta yang ada di Indonesia, Allah masih kaya, tidak masalah. Kalau ada kemungkaran itu bukan urusan dari apa yang dicuri dari kemungkaran itu, tetapi Allah marah pada kemungkaran, dan marah bila kita tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran akhlak. Nah, di Indonesia tidak ada korupsi diberantas berlandaskan ahlak, maka kehancuran kita semakin bermacam-macam.”

Selanjutnya memasuki sesi tanya jawab, ada beberapa jamaah yang menanyakan tentang persoalan sosial budaya, kelaparan, dan pertanian kaitannya dengan kepemimpinan saat ini. Kemudian Cak Nun merespon pertanyaan-pertanyaan dari beberapa jamaah tersebut. Pada intinya, Cak Nun menggambarkan bahwa sawah sekarang ekosistemnya sudah rusak, tikus itu tidak bisa tiba-tiba datang, karena ada putaran ekosistem yang sudah dilanggar oleh kehancuran pertanian dan pemerintahan kita selama ini. Begitu banyak simbol-simbol terhadap penghormatan terhadap makhluk yang baurekso (dalam bahasa Jawa) dianggap sebagai syirik. Di sinilah menurut Cak Nun salah satu faktor yang menyebabkan pertanian kita menurun adalah karena sekarang kita tidak menghormati makhluk yang baurekso di kawasan sawah tersebut.

Selain itu Cak Nun juga menceritakan bahwa Cak Nun dan Kiai Kanjeng berencana untuk mengadakan sebuah acara di Pendopo Mojopahit Trowulan pada tanggal 27 Rajab/27 Mei yang bertepatan dengan hari kelahiran Cak Nun. Acara itu dinamakan Banawa Sekar. Banawa artinya perahu dan sekar artinya bunga. Cak Nun menjelaskan kepada jamaah alasan nama ini karena dulu pada zaman Majapahit, nusantara ini sangat kuat karena menjadikan sumber Maritim dan Agraris sebagai sumber utama dan satu kesatuan.

Pada kesempatan ini Cak Nun tak ketinggalan menjelaskan kriteria pemimpin yang termaktub dalam Al Qur’an Surah At-taubah ayat 128 yaitu عزيز عليه ما عنتم (yang hatinya berat kepada kaum yang lemah), حريص عليكم (yang selalu menjaga apa yang menjadi amanatnya), رؤوف (Dermawan, santun), رحيم (Kasih Sayang). Cak nun berpendapat pemimpin sejati itu di dalam dirinya ada manunggalling kawulo lan Gusti. Artinya ketika di dalam  diri pemimpin  ada rakyat dan Tuhan maka dia tidak akan menghianati Tuhan karena akan menyengsarakan rakyat dan tidak akan menghianati rakyat karena Tuhan akan murka. Cak Nun menambahkan Revolusi tidak harus dilakukan secara nasional. Syarat utama revolusi adalah kita sendiri harus menjadi revolusioner bagi diri sendiri. “Sadarilah kebesaran Negaramu bukan untuk menyombongkan diri, tapi supaya kita sadar bahwa kita memiliki harapan besar untuk masa depan Negara ini,” pinta Cak Nun.

Sementara itu, Habib Anis menambahkan tentang menaknai kehancuran yang pertama yakni bahwa setiap 6 tahun sekali tubuh kita mengalami kehancuran, sel-sel dalam tubuh kita mengalami kehancuran untuk diganti sel-sel yang baru. Awalnya pertumbuhan dari bayi, remaja, kemudian dewasa dan seterusnya.

Di bagian terakhir, Cak Nun menambahkan sedikit pengertian dari اني جاعل في الأرض خليفة. Allah menciptakan khalifah di bumi. Jadi Allah menciptakan Adam di bumi bukan di surga. Nah, sekarang yang bertugas menurunkan Adam dari surga ke bumi adalah iblis. Sekarang iblis tidak mau menyembah Adam karena iblislah yang memindahkan Adam dari surga ke bumi atas kehendak Allah. Secara eksploratif Cak Nun menafsirkan, kalau anda dilempari sesuatu yang membuat anda sedih, maka anda harus segera memohon kepada Allah, “Ya Allah yang membawa kesedihan kepadaku bukan siapa-siapa kecuali sejatinya atas izin-Mu. Kalau engkau yang “melemparkan” kesedihan kepadaku maka ubahlah menjadi kesejahteraan.”

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Maiyah Gambang Syafaat diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun. [Red/GambangSyafaat]

Lainnya

Exit mobile version