Masyarakat Nusantara (dulu), Masyarakat Indonesia (kini)
Tulisan ini adalah catatan elaborasi penulis yang mudah-mudahan bisa menjadi “oleh-oleh” yang lain dari acara Sarasehan Budaya yang diselenggarakan oleh Majelis Masyarakat Maiyah Nusantara dalam rangkaian acara Banawa Sekar di Pendopo Agung Majapahit, Trowulan, Mojokerto, pada tanggal 27 Mei 2014 dan bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1435H lalu.
Bapak Agus Sunyoto, salah satu sejarawan nusantara yang menjadi salah satu narasumber mengawali Sarasehan Budaya itu dengan memaparkan tentang struktur sosial masyarakat nusantara di era Majapahit menurut kacamata antropologi dan sosiologi, dan yang melatarbelakangi Majapahit hingga mampu bertahan sampai sekitar 200 tahun, bahkan sempat mencapai masa-masa kegemilangan.
Struktur Sosial Masyarakat Majapahit
Sebagaimana beliau paparkan, bahwa struktur masyarakat Majapahit saat itu digambarkan terdiri atas 7 lapisan kelompok warga. Adanya pembagian struktur masyarakat seperti ini, sepintas lalu kesannya sangat feodal. Karena ada warga negara yang paling tinggi, yakni kelas 1; dan ada warga negara yang paling rendah, yakni kelas 7. Padahal spiritnya bukan perbedaan kelas atau strata masyarakat sebagaimana yang berlangsung seperti di jaman Hindia Belanda. Tapi lebih merupakan pembagian berdasarkan realitas yang ada berdasarkan ukuran-ukuran nilai yang diyakini saat itu, yang bersesuaian dengan fungsi dan peran kelompok warga dalam negara.
Parameter atau ukurannya pembagian golongan sosial masyarakat ketika itu ditentukan berdasarkan pada kuat tidaknya keterikatan seseorang atau kelompok warga pada materi atau urusan keduniawian. Makin jauh keterikatan seorang atau warga dengan kepentingan materi keduniawian, makin tinggi martabatnya di tengah masyarakat. Dan sebaliknya semakin kuat keterikatannya seseorang pada materi keduniawian dan hasrat-hasrat keduniawian makin rendah martabatnya.
Karena itu lapisan masyarakat tertinggi di Majapahit diduduki oleh kaum rohaniawan yang umumnya juga sekaligus menjadi seorang budayawan, mereka hidup di hutan-hutan, di gunung-gunung, di gua-gua yang jauh dari keramaian dan jauh dari hiruk pikuk perebutan akses dan penguasaan atas urusan duniawi. Seluruh lapisan masyarakat yang ada di bawahnya hormat dan melindungi kaum rohaniawan (Brahmana, Mpu). Mereka inilah yang dianggap sebagai warga kelas satu alias golongan tertinggi, tugasnya membimbing masyarakat yang ada di bawahnya.
Lapis berikutnya adalah golongan Ksatria yang menjadi abdi negara, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kekayaan pribadi, mereka mengabdi pada negara dan hidup dari negara (dalam arti dibiayai kebutuhan makan, pakaian, dan diberi rumah). Termasuk dari golongan ini adalah raja dan keluarganya, para menteri dan pembesar kerajaan, para raja bawahan atau adipati termasuk di dalamnya kalangan tentara kerajaan. Mereka ini jika perang dan berhasil membawa pampasan perang, kekayaan itu bukan untuk dimiliki secara pribadi tapi untuk negara. Jika ada seorang ksatria yang diketahui memiliki rumah pribadi besar, maka dia disebut ksatria panten. Yaitu ksatria yang harus dihindari atau dikucilkan. Masyarakat tidak boleh melayani orang seperti itu. Negara harus bersih dari orang yang mempunyai pamrih pribadi.
Golongan berikutnya adalah Waisya, yaitu kaum petani. Kaum petani lebih rendah dibandingkan dua golongan yang disebutkan di atas; sebab kaum petani ini dianggap sudah punya keterikatan pada materi keduniawian, sebab mereka punya rumah, punya tanah atau pekarangan, punya sawah, punya ternak, atau dengan kata lain ada kepemilikan atas aset kekayaan yang notabene adalah manifestasi hasrat keduniawian. Meskipun demikian kedudukan mereka dihargai karena merekalah yang menjamin ketersediaan pangan seluruh warga.
Di bawah itu adalah golongan Sudra, yaitu para saudagar, para rentenir, para tuan tanah, atau mereka yang memiliki kekayaan berlebihan. Mereka ini tidak boleh bicara tentang agama. Mereka tidak boleh membahas kitab suci. Menurut pandangan yang berlaku kala itu menumpuk kekayaan adalah manifestasi nafsu atau hasrat akan keduniawian. Dan mereka dilarang bicara agama sebab mental dagang dan mencari keuntungan, maka dikuatirkan mereka akan menjual ayat-ayat untuk keuntungan pribadi.
Di sini perlu digaris bawahi, sebenarnya Islam sudah masuk wilayah nusantara sejak abad 8 Masehi, tapi Islam ternyata tak berkembang. Salah satu alasan yang menyebabkan tidak bisa berkembang agama Islam di nusantara pada awal kedatangannya adalah karena yang menyebarkan adalah kaum saudagar. Di mata penduduk pribumi nusantara profesi berdagang tidak cukup dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Karena itu agama Islam baru berkembang pesat dan bisa diterima penduduk nusantara di abad 14 ketika yang menyebarkannya para tokoh intelektual yang mempunyai wawasan budaya, suci dari hasrat keduniawian, yang tinggi tingkat spiritualitasnya, yakni kalangan Wali Songo.
Berikutnya di bawah Sudra adalah golongan yang disebut Candala, yaitu mereka yang berprofesi sebagai jagal, pembunuh, dan termasuk di dalamnya petugas negara yang tugasnya membunuh, seperti algojo. Mereka ini dianggap lebih rendah strata sosialnya karena untuk hidup saja mereka harus membunuh sesama makhluk. Meskipun dia disahkan oleh negara, tapi hidupnya dibayar atau mendapatkan nafkah dari membunuh orang. Termasuk golongan ini adalah mereka yang kerjanya mengkremasi mayat.
Di bawah golongan Candala ada golongan Mleccha, yaitu orang-orang asing yang tinggal di Majapahit. Sejak jaman Mataram kuno golongan ini sudah ada. Di mana semua orang asing dimasukan golongan wong kiwahan, yang artinya orang rendahan atau pelayan. Karena penduduk asli diberi kedudukan sebagai wong yekti, wong mulia atau orang agung. Jadi orang asing jaman itu jika ada di wilayah Mataram kuno sampai Majapahit, mereka bekerja sebagai pelayan. Dan tidak boleh lebih dari itu. Saat itu jika ada pribumi bekerja sebagai pelayan, akan diadili. Karena tidak boleh pribumi bekerja sebagai pelayan.
Terakhir di bawah golongan Mleccha adalah golongan Tuccha yaitu kalangan pecinta materi duniawi yang tidak mau memahami hak orang lain. Yang termasuk golongan ini di antaranya: para penipu, maling, begal, rampok, dan perompak (termasuk untuk istilah sekarang mereka yang melakukan korupsi, tapi saat itu tak ada korupsi). Mereka ini dianggap paling rendah martabatnya sebab untuk hidup saja melanggar hak-hak orang lain.
Masa Kegemilangan Nusantara
Ketika struktur sosial masyarakat di mana pemegang otoritas tertinggi dalam masyarakat nusantara dan kepimimpinan dalam negara adalah orang-orang yang jauh dari kepentingan duniawi dan hasrat rendahan seperti menumpuk harta, saat itulah Nusantara menuju kebesaran dan meraih kejayaan, bahkan disegani oleh negara-negara lain.
Teknologi maritim berkembang dengan pesatnya, dibuktikan dengan ukuran kapal-kapal dari Jawa yang jauh lebih besar daripada kapal-kapal armada Cina bahkan dibanding dengan ukuran kapal-kapal Eropa termasuk yang dipakai oleh Vasco de Gama ketika sampai di India dan menjumpai kapal-kapal yang datang dari Jawa. Teknologi peralatan militer pun berkembang dengan pesat dibuktikan adanya peninggalan meriam yang bertarikh 1389 Masehi dan berstempel lambang Majapahit, artinya tekonologi meriam sudah ada sejak sebelum Portugis datang ke nusantara, demikian juga teori dan strategi perang.
Ilmu astronomi juga telah dikuasai untuk keperluan pelayaran, selain itu juga telah dikenal sistem kalender yang digunakan oleh bangsa nusantara saat itu sebagai patokan musim tanam. Saat itu juga sudah digunakan kompas, yang ketika itu disebut dengan “pedoman” (diambil dari kata “dom” atau jarum yang digunakan untuk menunjukkan arah). Di jaman Majapahit pun sudah dikenal produk UU seperti KUHP, bahkan di era sebelumnya.
Dikisahkan dalam catatan Cina, bahwa ibukota Majapahit dipagar keliling setinggi 5 meter, dengan penduduk kala itu sudah mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Bangunan pendopo di Majapahit dilaporkan jauh lebih besar ukurannya daripada pendopo kerjaan di bumi Sunda. Pendopo kerajaan Sunda yang dilaporkan sebagaiman catatan Cina memiliki 380 balok tiang penyangga tentunya sudah merupakan pendopo yang sangat besar, tapi itu pun masih lebih kecil di bandingkan dengan ukuran pendopo yang ada di ibukota Majapahit. Artinya disiplin Civil Engineering pun sudah dikuasai oleh leluhur kita, dan ini dengan mudah bisa dibuktikan dengan aneka peninggalan candi yang ada.
Bahkan dari bukti-bukti antropologis dan sosologis, ternyata sebagai bangsa maritim nenek moyang kita sudah berlayar sampai ke ujung barat Samudera Hindia, di mana penduduk Madagaskar yang berkulit sawo matang (baca: tidak berkulit hitam, meskipun dekat dengan benua Afrika) adalah bukti bahwa bangsa nusantara pernah sampai ke sana. Beberapa kosakata asli Hawai, seperti halnya juga di Filipina, ketika berhitung sangat mirip dengan Bahasa Jawa.
Nenek moyang bangsa nusantara memang seorang pelaut dan kala itu belum ada mitos seperti Nyi Roro Kidul. Maka lahirlah jiwa-jiwa pemberani yang mengarungi samudera nan luas.
Pola struktur sosial masyarakat seperti di atas juga berlaku sampai era Demak dan Pajang, meskipun nuansanya berganti ke era Islam. Di mana pemegang otoritas tertinggi menyangkut policy yang terkait dengan kemaslahatan masyarakat, kepentingan bangsa dan negara di pegang oleh mereka yang jauh keterikatannya dari hasrat kepentingan duniawi, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh tokoh-tokoh rohaniawan yang duduk dalam lembaga Wali Songo.
Potret Masyarakat Indonesia Kontemporer
Setelah Majapahit runtuh akibat prilaku elit yang mendahulukan kepentingan sempit dan lebih mementingkan hasrat-hasrat rendah kepentingan duniawi dan kemudian disusul oleh munculnya kesultanan-kesultanan Islam di nusantrara yang kembali hancur akibat prilaku yang sama seiring dengan kedatangan bangsa Eropa, perjalanan sejarah bangsa nusantara makin digelapkan oleh sistem nilai yang dikenalkan oleh bangsa penjajah dan mereka memporak-porandakan sistem nilai yang ada dengan sistem nilai yang lebih mementingkan materialisme.
Wilayah Indonesia saat ini hanyalah sebagian dari penggalan puzzle dari wilayah Majapahit di era kejayaan nusantara, atau lebih sempitnya lanjutan dari teritori Hindia Belanda, termasuk sistem politik dan hukum yang diwariskan (baca: diintroduksikan)
Dan lihatlah tatanan nilai yang berlaku di masyarakat saat ini. Dan tengoklah berbagai fakta emipiris yang bisa kita temukan: niatnya dagang (baca: ingin kaya) tapi masuk jadi tentara, jadi polisi, bahkan menjadi birokrat, politisi, jadi bupati/walikota, gubernur, anggota DPR, menteri bahkan Presiden. Jadi Panglima tapi kerjanya menumpuk harta dan suka pamer kekayaan, ingin menjadi pemimpin modal andalannya harta kekayaan.
Bawah sadar pikiran masyarakat kita telah mewarisi kebiasaan kaum penjajah, dan ini di mulai dari budaya jaman VOC di mana para administrator atau pejabatnya saling berlomba untuk memiliki kekayaan pribadi bahkan dengan cara-cara kotor, lewat korupsi hingga akhirnya VOC mengalami kebangkrutan dan menyisakan penderitaan rakyat yang tak berkesudahan.
Sepertinya bukan dianggap masalah yang serius saat ini, seorang yang ternyata maling atau paling tidak calo proyek bisa jadi menteri bahkan ketua partai, seorang pedagang atau orang yang niatnya berdagang jadi pemimpin nasional, seorang yang harusnya berdakwah kerjanya mengkomersilkan ayat-ayat suci, atau ada yang menjadi bintang iklan dengan memanfaatkan kepopulerannya sebagai figur umat. Bisa dibayangkan kelas masyarakat seperti apa outputnya?
Bukan berarti tidak boleh orang berprofesi sebagai pedagang. Menurut Rosulullah, seorang pedagang bahkan bisa masuk surga dan akan dikumpulkan dengan kaum sidiqqin (orang-orang yang benar), jika berdagangnya jujur, tidak menipu, dan tidak tamak dalam mencari keuntungan. Dan bukan tidak boleh orang mencari nafkah dengan menjadi bintang iklan, tapi secara etika, profesi ini tidak pantas dilakukan oleh mereka yang dengan perannya bisa mempengaruhi pola pikir umat, sebab bagaimana pun iklan adalah perpanjangan dari kepentingan kaum kapitalis yang tak pernah puas ingin menangguk keuntungan sebesar-besarnya.
Demikian pula, bukan tak boleh seorang pedagang menjadi pemimpin. Rosulullah pun tadinya juga berdagang. Tetapi begitu beliau sudah menjadi pemimpin umat, beliau sudah meninggalkan profesinya sebagai pedagang. Demikian semestinya, seorang pemimpin begitu mencalonkan diri dan apalagi jika sudah terpilih menjadi seorang pemimpin, dia harus menanggalkan kepentingan bisnisnya. Sebab dia harus memikirkan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya.
Hal yang sama untuk profesi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dan termasuk menyalahi maqomnya, jika para abdi negara termasuk PNS, penegak hukum, polisi, tentara, birokrat sampai berbisnis atau pun berkolaborasi dengan para saudagar atau kalangan pengusaha. Dan jika tujuannya ingin menjadi kaya raya, paling tidak dia sudah salah jalan, dengan memilih menjadi penegak hukum, menjadi anggota polisi, tentara, ataupun pegawai negeri.
Rosulullah tidak lagi berdagang, ketika sudah mendapatkan mandat untuk mengurus dan memimpin umat. Bahkan semua kekayaannya dicurahkan untuk keperluan perjuangan sampai tak ada kekayaan dalam bentuk harta benda sedikit pun yang ditinggalkan ketika beliau wafat. Karena kepemimpinan sejatinya harus bersumber dari kekuatan moral dan bukan dari hal-hal yang sifatnya artifisial seperti jumlah kekayaan. Dan hanya pemimpin yang mempunyai integritas, etika, moralitas, dan spiritualitas yang akan mampu membawa sebuah bangsa menuju kejayaan.
Tapi belakangan ini yang namanya ukuran kepantasan memang sepertinya makin tidak dimengerti dan dihayati, atau paling tidak makin mengalami penyempitan aplikasi, hingga dikira hanya menyangkut urusan mode atau pakaian, dan disangka tidak ada hubungannya juga dengan tindakan atau prilaku. Padahal dalam khasanah budaya nusantara, misalkan dalam budaya Jawa, ada kosakata “gak ilok” atau dalam budaya Sunda ada kosakata “pamali” yang fungsinya memberi garis batas pada hal-hal yang menyangkut sesuatu yang semestinya tidak dilakukan karena pertimbangan kepantasan. Kata “ilok“ berpadanan dengan kata “elok“ dalam Bahasa Indonesia, yang artinya “indah“. Misalkan: meludah ke sumur, itu “gak ilok”; melawan orang tua, itu juga “gak ilok”, mempermainkan orang buta, itu “gak ilok”; dan lain-lain. Dalam masyarakat yang beradab, batasannya bukan lagi aturan yang sifatnya baku dilarang atau tidak, tapi ukurannya adalah lebih menyangkut “rasa”, atau lebih tepatnya sedap dipandang mata atau tidak, santun atau tidak, bermartabat atau tidak. Sebab manusia nusantara memiliki bahwa manusia itu makhluk yang memiliki rasa, karsa, dan karya.
Dan jika dirujuk dari literatur keagamaan pun (Islam), sebenarnya jika kita ingat pada salah satu cerita tentang umat Nabi Musa. Di mana dikisahkan ada salah seorang yang demikian kaya raya, yang bernama Qorun. Dan dari kata qorun ini kemudian dikenal istilah harta karun sebagaimana yang kita pahami maknanya sekarang ini. Dalam kisah ini ada pelajaran berharga tentang bagaimana kesudahan orang yang mendewakan kekayaan duniawi, dan jika diekstrapolasi ceritanya bagaimana kesudahan dari sebuah kepemimpinan yang “men-Tuhan-kan” dan mengandalkan kekuatan harta kekayaan, walaupun hal itu sempat menggoyahkan keyakinan sebagian umat Nabi Musa ketika itu.
Epilog
Di bagian akhir tulisan ini, ijinkan penulis menyampaikan pertanyaan, “Mengapa seorang Kaisar Jepang atau seorang Raja di negeri tetangga kita Thailand sampai saat ini, begitu dihormati rakyatnya?” Bahkan tokoh politik dan militer tak berani mengusik apa pun gejolak yang terjadi di negeri itu. Jawabannya, karena mereka bisa memerankan diri sebagai pemimpin rakyat, terlepas siapa pun Perdana Menteri yang memegang pemerintahan di negeri itu. Dan mereka tidak terperangkap untuk melakukan tindakan di mata publik yang terkesan mengutamakan kepentingan pribadinya.
Era kolonialisme dengan cara merebut teritori dan memakai kekuatan militer untuk menguasai bangsa dan negara lain tidak mungkin lagi dilakukan, kecuali oleh pemimpin negeri imperialis-kapitalis yang konyol. Tapi bukan berarti substansi penjajahan benar-benar sudah terhapus dari muka bumi. Bahkan nafsu kapitalisme makin merasuk ke semua sisi dan lini peri kehidupan secara multilateral. Dan cara yang paling efektif, adalah menyerang pertahanan pola pikir penduduk suatu negara termasuk lewat media informasi, dengan mengemas ideologi yang memuja materialisme semenarik mungkin, dengan demikian masyarakat negeri yang menjadi target bisa dijadikan pasar alias konsumen, termasuk para pemimpinnya.
Selama cara pandang masyarakat yang keliru tadi belum didekonstruksi, rasanya sangat sulit bangsa Indonesia bisa mencapai masyarakat adil-makmur dan meraih kembali era kejayaan Nusantara. Dan forum-forum Maiyah, selama ini tidak lain adalah ladang penyemaian nilai-nilai dan penyadaran agar kita mengerti peran dan tugas kita selalu warga masyarakat, warga negara, dan sekaligus selaku khalifah-Nya yang ditempatkan di bagian bumi nusantara ini.
5 Juni 2014