Masyarakat Lebah Tidak Individual
Ketika seseorang, komunitas ataupun organisasi bermaksud untuk mewujudkan cita-cita dan impiannya; di mana manusia saling menghargai, menghindari penindasan, terus menerus menumbuhkan cinta kasih, waspada terhadap setiap gejala ketidak-adilan, peka untuk tidak terjerumus ke dalam perilaku diskriminasi, merendahkan sesama manusia atau sebaliknya: menjunjung manusia terlalu berlebihan sehingga men-dewa-kannya. Juga impian untuk membangun peradaban yang lebih baik dan adil, membangun harkat, kepribadian serta kehidupan yang mandiri dan sebagainya….
Ternyata tak semudah diucapkan dalam kata-kata belaka, dibalik itu semua memerlukan berbagai daya dukung antara lain, harus terkandung prinsip, nilai-nilai yang disepakati, diyakini dan dijaga keberadaaannya, syarat serta prasyarat yang harus diadakan, posisi peran yang secara sadar dipilihnya. Tentu harus juga didukung segala piranti yang diperlukan — disisi lain ada pencukupan kebutuhan menyangkut pemahaman dan kemampuan yang jangkep (lengkap).
Pendek kata impian itu tidaklah mungkin akan jatuh dari langit, tidaklah mungkin dapat dicapai melalui jalan pintas, bahkan tak akan terjadi manakala tak melalui proses, ketiadaan sejarah dan peristiwa dalam realitas kehidupan sehari-hari. Percuma saja bila yang terjadi hanya teori yang dihafalkan, sangat sia-sia kalau hanya melakukan ritual tak jelas juntrungnya, dimana salah satunya melalui ikhtiar membangun “kendaraan” yang dinamakan organisasi.
Kalau dalam dunia lebah, organisasi dapat diumpamakan sebagai sarangnya lebah (orang sering menamakan kluthukan, Tolo), agar perkauman para lebah dapat memproduksi madu secara komunal, karena madu yang diproduksi secara individual menjadi tak ada artinya terutama menyangkut masalah volume madu yang harus dihasilkan. Didalam sarang lebah (Kluthukan, Tolo) perkauman para lebah itu, untuk memproduksi madu secara terus menerus dan berkelanjutan, diperlukan tatanan, peradaban. Ada kedisiplinan, ada keteraturan dan tanggung jawab, kewajiban masing-masing anggota perkauman lebah itu.
Belum lagi, untuk menghasilkan produksi madu yang bermutu para anggota perkauman lebah ini akan sangat tergantung dari daya dukung lingkungan sekitarnya, tanaman, tetumbuhan, bunga-bunga apa saja yang tersedia, artinya ada daya dukung eksternal yang tidak bisa diadakan oleh perkauman para lebah ini, bagaimana pertautan antara lebah dan lingkungan disekitarnya juga sangat menentukan keberadaan perkauman lebah pada zaman berikutnya.
Tentu saja lebah bukan manusia, namun kami mencoba untuk mencari padanan yang gambang untuk dimengerti dari segala silang sengkarut kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan kira-kira demikianlah bagi orang-orang biasa yang mendambakan tatanan kehidupan yang lebih baik dan adil. Saya bermaksud pula secara sederhana bagaimana menumbuhkan cita-cita bersama, membangun menejemen gerakan yang sistematis serta mencoba memaparkan berbagai perangkat (ubo rampe) yang diperlukan untuk menjawab perubahan yang kita cita-citakan seperti halnya para lebah yang ingin memproduksi madu bagi kehidupan bersama.
Semoga tulisan ini dapat membantu bagi siapa saja yang tengah berjuang untuk memproduksi “madu-madu kehidupan” yakni; keadilan, menghormati hak-hak manusia, harkat dan martabat dan kemandirian manusia serta menciptakan lingkungan tanpa diskriminasi.