Maiyah, Edy, dan Pendidikan Kita
Nampaknya hampir sembilan puluh persen Maiyahan di berbagai tempat dijadikan oleh Allah sebagai “media” pembelajaran bagi mereka yang mau iqro’ dan mendapat ilmu dariNya. Seperti halnya Maiyahan di Demak 26 Maret 2014 lalu, tiba-tiba muncul anak yang (dianggap) gila oleh masyarakat dan naik ke atas panggung. Tentu saja panitia tidak mau menanggung “malu”, dan anak itu diusir.
Namun seperti biasa, Cak Nun memiliki mata batin yang tajam, anak itu dipanggil untuk naik ke atas panggung dan dipeluknya dengan mesra. Ditanya namanya, alamatnya, siapa orang tuanya, dan sebagainya. Anak itu menjawab dengan bahasa ngoko, namun sangat tepat menjawab pertanyaannya, sehingga orang mulai tertarik mendengarkannya.
Dia mengaku bernama Edy Setiawan, yatim piatu, ikut ayah tiri, dan ketika ditanya menjawab dengan “glenyengan”. Kalau ditanya Allah, kau akan minta apa tanya Cak Nun. Anak itu menjawab minta motor. Untuk apa? Tanya Cak Nun lagi, untuk mboncengkan cewek jawabnya lugu dan tentu saja disambut tawa panjang para jamaah.
Cak Nun lalu menjelaskan bahwa permintaan itu harus yang bermanfaat dan sesuai dengan ketepatannya. Akhirnya anak itu minta HP yang katanya juga untuk SMS-an dengan cewek agar tidak kesepian. Lagi-lagi jamaah dibuat terpingkal. Yang mengejutkan bupati langsung memberinya HP dengan mengirim utusan.
Puncak “teater” skenario Allah adalah ketika anak itu tiba-tiba minta main drum. Tentu orang akan mengira anak ini akan main musik “topeng monyet”. Sekali lagi Allah membukakan mata hati para jamaah. Dan benar, di luar dugaan, anak itu cerdas bermain musik. Ia mampu bermain drum dengan baik (ketukannya dan tingkat keras lemahnya drum). Bersama KK, ia memainkan dua lagu “Kemesraan” dan “Tombo Ati”. Dari titik inilah orang kemudian mulai “ngeh” ada satu pelajaran berharga yang ditunjukkan Allah malam itu.
Pertama, kita menjadi semakin sadar, bahwa selama ini kita selalu tertipu oleh penampilan. Edy yang kita anggap gila, ternyata waras dan cerdas. Sebaliknya para calon pejabat, pejabat, caleg, atau kita semua yang kelihatan penampilannya necis, rapi dan kelihatan cerdas, ternyata malah gila dan bodoh dalam berpikir dan bertindak; Kedua, dunia pendidikan ditantang untuk merumuskan kurikulum, bagaimana mendidik “edy-edy” seperti ini. Selama ini banyak sekolah yang merasa mampu mendidik manusia “unggul”, tapi dengan input calon siswa yang sudah baik dari asalnya. Lalu di mana tantangannya jika asalnya sudah baik.
Bahkan kini di tingkat perguruan tinggi, muncul perdebatan bodoh, yakni apakah Perguruan Tinggi sebaiknya masuk ke Kementerian tersendiri (riset dan teknologi) atau tetap di Kemdikbud. Mereka yang pro masuk kementerian tersendiri berkilah agar dunia riset dapat berkembang pesat di perguruan tinggi.
Meski masih di Kemdikbud, tapi beberapa perguruan tinggi besar kini telah mendeklarasikan sebagai “universitas riset”. Pertanyaannya, tepatkah hal itu? Mestinya orang paham bahwa tugas perguruan tinggi adalah melaksanakan Tri Dharma, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Orang Jawa bilang itu ”telu-teluning atunggal”, karena merupakan “rukun” perguruan tinggi. Coba kita bandingkan dengan rukun Islam misalnya. Kelima rukun Islam itu merupakan satu kesatuan utuh agar seseorang menjadi muslim dan mukmin secara kaffah. Tidak bisa menomorsatukan salah satu rukun, misalnya, saya muslim yang ahli sholat saja, sedangkan puasa saya nomor duakan, demikian pula rukun yang lainnya.
Kelima rukun tersebut harus dijalani dengan sungguh-sungguh untuk membentuk pribadi muslim yang taat. Demikian pula “rukun” perguruan tinggi yang bernama Tri Dharma tersebut, tidak bisa kemudian dipisahkan, bahwa universitas tertentu lebih menomorsatukan riset, dan universitas lain lebih menomorsatukan pendidikan dan pengabdian misalnya.
Dengan kata lain, agar pendidikan bisa berjalan baik dan bermutu, harus didasari penelitian yang bermutu pula. Pendidikan dan penelitian kemudian diabdikan kepada masyarakat agar bermanfaat. Demikian proses itu berjalan siklis dan sinergis, tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Dunia pendidikan mestinya merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang tidak lepas dari nilai-nilai historis sebagai sumber identitas dan kesatuan nasional, misalnya adanya misi untuk mengembangkan pendidikan yang berorientasi dimensi kultural-religius bagi produk-produk teknologi, informasi, dan seni. Dari titik ini diharapkan ada sumbangan nyata yang berujud informasi, materi, serta karya ilmiah yang menguntungkan peradaban masyarakat, baik secara biologis, kultural, psikis, sosio-ekonomis, ekologis.
Dari fenomena Edy tersebut, mestinya dapat dikembangkan pendidikan anak yang memiliki keunikan. Pendidikan mestinya menjadi kebudayaan masyarakat (Indonesia khususnya) yang membina dan mengembangkan secara intensif, keterampilan (khusus) hidup, nilai-nilai hidup, dan pandangan hidup seseorang untuk mengembangkan peradaban, disamping memenuhi kebutuhan pembangunan dan profesionalisme.
Tidak ada salahnya kalau ada keinginan untuk mengembangkan dan menghasilkan tenaga profesional, ilmuwan-ilmuwan kaliber pemikir-perencana, perancang-teknologi dan seni, agar bangsa ini mandiri. Ini artinya, pendidikan tidak sekadar terlibat dalam kegiatan rutin pengajaran sesuai level dan jejangnya, dan di tingkat pendidikan tinggi ada penelitian dan pengabdian masyarakat untuk mengembangkan tidak saja ilmu-ilmu terapan, namun juga mengembangkan ilmu dasar, seni, dan inovasi teknologi.
Fenomena Edy mengajarkan bagaimana Kemendikbud harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Kurikulum tidak dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku, namun juga aktif mengembangkan kajian ipteks interdisipliner; agar lulusannya memiliki wawasan interdisipliner. Dalam istilah Cak Nun adalah lulusan yang “”universiter” dan bukan “fakultatif”.
Selanjutnya mengembangkan budaya keterbukaan, kejujuran dan berorientasi kepada pencapaian prestasi akademik, menjadi kewajibannya. Budaya akademik tersebut harus dijiwai nilai-nilai kebenaran yang tidak hanya berorientasi kepuasan ilmiah-intelektual namun sebagai bagian tanggungjawab moral akademik terhadap lingkungannya.
Selama ini nampak bahwa peran sekolah — disadari atau tidak — juga melegitimasi dominasi elit sosial, bahkan sekolah merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu. Ini artinya sekolah merupakan salah satu bagian dari supra struktur masyarakat. Karenanya dapat dipahami jika kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan. Meski penelitian di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tidak ada perbedaan yang signifikan, baik antara orang kaya dan orang miskin.
Namun ketika proses membesarkan anak mulai berjalan, kekurangan gizi maupun sarana pendidikan, menjadikan anak dari golongan miskin makin jauh tertinggal. Orang kaya sanggup “menghadirkan” sekolah di rumahnya. Dipanggillah guru les piano, les bahasa Inggris, les komputer, ataupun membeli perlengkapan sekolah seperti buku, internet, atau jaringan komunikasi lainnya.
Umumnya anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan yang kumuh, terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah, maupun karena rasa percaya diri (self confidence) yang rendah menjadikan anak miskin cenderung agresif, mudah terprovokasi, mudah tersinggung, apalagi jika dirangsang oleh tantangan di luar yang tidak adil.
Fenomena tersebut sangat bertentangan dengan teori dan gagasan tentang pendidikan multikultural. Kalau anak bersekolah sudah dikotak-kotak oleh batasan etnis, agama, kebudayaan, strata sosial, dan sebagainya, maka akan terjadi “pembutaan” mata batin dan wawasan pengetahuannya. Anak dikhawatirkan menjadi konservatif, fanatis sempit, dan mudah terprovokasi dalam konflik. Padahal menurut Islam, pendidikan harus dimulai dari “muradan” berkehendak untuk iqro’ (alimul ghoib) dan berfikir, kemudian dilalui dengan “tarbiyah” kepengasuhan yang rahman dan rahim, untuk menumbuhkan manusia yang siap berjihad sosial (bekerja keras) agar fungsi kekhalifahannya maksimal.
Sayang, yang muncul adalah pendidikan transaksional yang berorientasi laba, dan wajar bagi kaum muslimin yang berpendidikan kemudian tidak memiliki kemampuan jihad sosial. Pelampiasannya adalah menyombongkan diri dan merendahkan yang lain.