Emha Ainun Nadjib: Jangan Percaya Saya
Lama tak memperdengarkan kritik-kritiknya yang kocak tapi cerdas, Emha Ainun Nadjib (60) sebenarnya tetap aktif berkegiatan di dunia seni budaya yang sudah puluhan tahun ia geluti. Dengan Kiai Kanjeng-nya, ia tidak hanya rajin keliling Indonesia tapi juga melakukan pengajian hingga ke luar negeri. “Besok lusa saya harus manggung di depan kawan-kawan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hongkong,” kata budayawan yang akrab dipanggil Cak Nun itu.
Banyak hal yang membuat ia memutuskan untuk tidak terlalu sering tampil di media massa. Salah satunya adalah kekecewaan Cak Nun terhadap fungsi sebagian besar media massa yang ia anggap sudah terlalu jauh masuk ke ranah kepentingan materialistik hingga cenderung membodohi masyarakat. “Terlebih di zaman sekarang yang salah satunya melihat ketenaran sebagai kebenaran,” ungkap lelaki kelahiran Jombang, Jawa Timur tersebut.
Lantas bagaimana komentar Cak Nun terhadap situasi kehidupan beragama di Indonesia yang saat ini banyak “dihiasi” dengan aksi kekerasan dan berbagai praktek intoleransi? Dan apa pendapatnya mengenai peran pemerintah dalam mengatasi soal tersebut.
Di rumahnya di kawasan Kadipiro, Yogyakarta, Kamis dua pekan lalu Hendi Jo dari Islam Indonesia dan beberapa rekan dari Mizan Pustaka mendapat kesempatan berbicang tentang hal-hal itu. Berikut petikannya :
Cak Nun, belakangan ini anda termasuk jarang ada di media massa, anda ke mana saja?
Saya ada saja di sini. Tapi bahwa saya jarang bicara di media, itu karena saya melihat sebagian besar media saat ini sudah sangat tidak mengasyikan. Terlebih di zaman yang salah satunya melihat ketenaran sebagai kebenaran. media berkontribusi besar menjadikan kebodohan menjadi milik masyarakat. Dan jujur saja, kenyataan yang terjadi pada media ini menjadikan saya tidak bahagia dan terangsang untuk kembali menulis.
Apa maksud Cak Nun dengan kalimat “ketenaran telah menjadi kebenaran”?
Ya itu memang terjadi pada masyarakat kita hari ini. Dulu orang masih percaya akan nilai-nilai. Sekarang? Orang sudah tidak peduli lagi pada nilai-nilai. Sampeyan sendiri bisa melihat bagaimana tampil di televisi saja sudah menjadi suatu kebenaran bagi masyarakat kita sekarang. Para politisi melihat menang dalam Pemilu menjadi sebuah kebenaran. Bahkan reformasi sendiri, saat ini seolah-olah dipandang sebagai suatu kebenaran. Pokoke semuanya serba materialisme-lah
Itu yang membuat Cak Nun seolah “mengasingkan diri”?
Ya itulah yang membuatnya saya seolah kehilangan motivasi. Akhirnya saya berpikir ya sudah saya sekarang sama Gusti Allah saja. Barangsiapa yang dekat dengan saya, saya “cipratin”, barangsiapa yang tidak, ya saya serahkan semua sama Allah saja. Meskipun demikian, kalau ada formula yang bisa meyakinkan saya, ya saya bisa bergerak juga.
Padahal banyak kalangan yang mengharapkan Anda kembali aktif bicara dan menulis terutama di tengah situasi umat Islam saat ini yang tidak terbiasa lagi dengan perbedaan dan lebih memilih bergaul dengan kekerasan….
Saya pikir seharusnya kita jangan terlalu khawatir soal itu. Mereka itu sedikit jumlahnya. Saya tahu mereka. Yogyakarta itu masih agak ringan dibanding Jakarta dan Bogor. Dengan satu peleton aparat saja mereka bisa lewat kok.
Kalau kita melakukan itu, apa bedanya kita dengan mereka kalau begitu?
Justru itu, saya tidak melakukan hal tersebut dan tidak akan pernah. Waktu kemarin mereka melakukan perusakan beberapa makam sesepuh di Yogya dan Solo, saya utus seorang kiai Madura untuk bicara sama mereka, menanyakan maunya mereka apa dan memberitahu konsekuensi yang terjadi jika mereka terus melakukan aksi-aksi kekerasan. Selama ini mereka sih segan kepada saya, bukan karena saya ini gagah, tapi karena mereka tidak bisa mengidentifikasi saya saja.
Tapi mereka mulai berani menyerang anda di wilayah online….
Ya saya dengar seperti itu dan tidak apa-apa. Habis energi saya kalau harus melayani mereka. Saya memang menyarankan semua rekaman video Kiai Kanjeng disebar di Youtube, tapi saya tak punya waktu membaca komentar-komentar itu. Jangankan yang buruk-buruk, komentar yang baik-baik saja saya abaikan. Saya tak peduli komentar manusia. Soal gimana saya, biar Gusti Allah yang menilainya langsung.
Kelompok-kelompok itu juga menyerukan umat Islam jangan mempercayai anda
(Tersenyum) Saat mereka katakan, jangan percaya sama budayawan yang bernama Ehma Ainun Nadjib, saya “balas” mereka dengan menegaskan kepada orang-orang yang selalu hadir di pengajian saya: “Eh, syarat pertama untuk ikut pengajian ini adalah jangan percaya sama saya ya. Saya datang ke pengajian ini adalah untuk menemani anda percaya kepada Gusti Allah bukan percaya kepada saya.” Jangan qolla Cak Nun, tapi Qolallahu, dong.
Atas dasar keprihatinan terhadap situasi tersebut, bebeberapa waktu lalu, sejumlah tokoh Islam mendirikan Gerakan Islam Cinta, bagaimana tanggapan anda?
It’s good but is not the point. Anda ngomong cinta sama mereka, ya tidak nyambung. Mereka itu tidak ngerti dan pastinya menolak cinta. Jangankan cinta, mereka bahkan tidak mengerti apa yang mereka lakukan kok. Namanya juga al ahmaq (orang pandir), mana bisa diajak dialog.
Masa sih Cak?
Sampeyan tidak percaya? Nabi Isa AS saja “menyerah” dengan penyakit ahmaq ini kok. Beliau bisa saja menyembuhkan lepra, menyembuhkan orang buta, bahkan membangkitkan kembali orang yang sudah meninggal, tapi urusan al ahmaq ini, Nabi Isa “menyerah”, ini sudah urusan Allah. Begitu juga Ali RA, beliau bilang al ahmaq ini merupakan jenis penyakit yang tak ada obatnya kecuali kematian. Orang-orang yang terkena ahmaq ini tidak akan mau diajak berdialog. Mereka tidak tahu bahwa mereka tak tahu. Satu-satunya penyakit yang pengidapnya memutuskan tak mau sembuh ya ahmaq ini.
Tapi secara sosial, persoalan ini tidak bisa didiamkan saja tentunya Cak?
Ya tentu saja. Makanya untuk mengatasi soal ini, diperlukan suatu kepemimpinan Indonesia yang tegas. Bukan saja tegas terhadap kelompok-kelompok itu, tapi juga tegas terhadap negara yang mendukung gerakan mereka. Tidak perlu takut, kita ini punya posisi tawar politik yang kuat. Kita goyang saja mereka dengan ancaman boikot haji, bisa panik mereka. Sayang pemerintah kita sekarang ini enggak ngerti kelebihan-kelebihan itu.Maunya cari untung sendiri.
Sumber : Islam Indonesia