CakNun.com

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Semarang, 31 Okt 2014

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 8 menit

Acara Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiaikanjeng malam ini bertempat di depan Masjid Al-Hikmah komplek perumahan Aryamukti Barat IV Pedurungan Semarang. Warga masyarakat perumahan yang berjumlah sekitar 700 KK ini sangat ragam dan heterogen. Mayoritas muslim, yang juga beragam background aliran-alirannya, termasuk yang aliran ekslusif. Ada juga warga Cina dan nonmuslim. Latar belakang profesinya pun bermacam, ada yang berpendidikan tinggi, ada yang bekerja di Militer, tapi juga ada yang bekerja sebagai buruh. Mereka semua akan hadir di acara spesial malam ini. Bahkan masyarakat Desa Pedurungan Lor yang sudah bersatu dengan warga perumahan juga akan datang.

Acara menyambut datangnya tahun Baru Muharram ini merupakan yang ketiga. Sore tadi, telah digelar parade drumband dari Mranggen dan Meteseh. Malam ini juga ada diberikan santunan kepada 18 anak yatim piatu serta fakir miskin.

Melalui acara malam ini, warga masyarakat ingin ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, khususnya dalam upaya bagaimana menjaga ukhuwah, silaturahmi, keguyuban, dan kebersamaan. Selain itu, panitia juga berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan bagaimana agar masjid bisa ramai dan regeng, yakni masjid di mana setiap muslim apapun aliran dan madzhabnya bisa memiliki masjid secara bersama-sama dalam roso andarbeni nduweni masjid.

Berarti ini sekarang ekonominya bukan Islam atau Syariah ya sehingga perlu dihijrahkan ke Syariah atau Islam?
Kita terlebih dahulu menyapa Allah dan kekasih-Nya Muhammad Saw. Apapun yang Anda lakukan haruslah Allah audiens utamanya.

Keseluruhan harapan dan tematik tersebut kiranya dapat diletakkan dalam bingkai menyambut tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1436 H di mana Cak Nun juga dimohon memberikan hikmah-hikmahnya. Acara malam ini diselenggarakan oleh Yayasan Dian Insani yang merupakan wadah masyarakat perumahan Aryamukti ini menyelenggarakan wujud pengabdian dan pelayanan sosial secara mandiri. Program kegiatan mereka adalah pendidikan TPQ (berpusat di masjid Al-Hikmah), menemani dan melayani masyarakat manula dan janda (berpusat di masjid Al-Furqon), dan pembinaan anak-anak asuh (berpusat di masjid At-Taubah).

Bertempat di halaman depan Masjid Al-Hikmah, dengan cuaca langit yang cerah, malam ini masyarakat perumahan Aryamukti Barat IV dan desa Pedurungan Lor Semarang berkumpul semuanya dalam rangka mengikuti Ngaji Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng.

Begitu tiba di lokasi, Cak Nun segera disambut penuh penghormatan dari para panitia dan pemuka warga setempat. Sembari bergerak menuju rumah tempat transit dengan dikawal beberapa banser, orang-orang menyapa dan berebut menyalami beliau. Juru foto sangat sibuk berkali-kali mengabadikan sosok Cak Nun dari berbagai angle. Di ruang tamu itu Cak Nun beramah tamah, dan kemudian briefing dengan KiaiKanjeng.

Dari ruang transit terdengar MC segera mempersilakan Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk naik ke panggung. Seperti pada maiyahan-maiyahan sebelumnya, Cak Nun mempersilakan terlebih KiaiKanjeng membawakan satu nomor, yaitu Bisy-Syahri yang dilantunkan oleh Mas Islamiyanto.

Pemilihan nomor ini bukan tanpa pertimbangan. Sebelum KiaiKanjeng, telah tampil sebuah grup hadroh bernama Al-Barado yang membawakan beberapa nomor lagu Timur Tengah Balasikan, dan juga sempat membawakan lagu “Sukaro” Ummi Kulsum. Cak Nun memuji dan mengapresiasi kualitas musik maupun vokal dari grup ini. Pemilihan atas menu atau nomor-nomor apa yang akan ditampilkan oleh KiaiKanjeng, terutama nomor-nomor awal, selalu berangkat dari pembacaan atas situasi dan atmosfer saat itu di lokasi, di panggung, dan suasana jamaah secara keseluruhan, termasuk grup Al-Barabo yang telah tampil sebelumnya.

Di sinilah KiaiKanjeng selalu diuji kesigapan, kecerdasan, dan ketepatan pilihannya, dan di sini pulalah peran Cak Nun sangat besar. Cak Nun membawa hadirin terlebih dahulu untuk khusyuk dan hikmat kepada Allah dan Rasulullah. Nomor Bis-Syahri menjadi jalan menuju ke sana. Musik balasikan Timur Tengahan yang penuh pukulan dan intensi yang padat menciptakan suasana yang ramai. KiaiKanjeng mengalihkan suasana menuju kekhusyukan, sesuatu yang ternyata sangat bagus dan diperlukan untuk mengantar pada tahapan suasana dialogis selanjutnya dengan jamaah. Para jamaah diajak Cak Nun untuk bersama-sama melantunkan surat al-Fatihah, Ayat Kursi, dan dilanjutkan dengan beberapa bagian awal Maulid Simtut-duror beserta shalawat Sidnan Nabi dan Sholli wa Sallimda. “Kita terlebih dahulu menyapa Allah dan kekasih-Nya Muhammad Saw. Apapun yang Anda lakukan haruslah Allah audiens utamanya,” tegas Cak Nun.

Seraya mengantarkan kepada wirid awal ini, Cak Nun menjelaskan sejumlah hal mendasar dalam memahami agama. Bahwa ada dua hal dalam agama: satu, ada yang dari Allah untuk kita, dan kedua, ada yang dari kita untuk Allah. Yakni ibadah mahdhoh dan ibadah muamalah. Dasar inilah yang diperlukan untuk menilai dan menetapkan apakah kenduren, shalawatan, dan tradisi-tradisi lain itu boleh atau tidak, dan di mana letaknya dalam konfigurasi pemahaman hukum Islam.

Sekitar 10-an menit, semua jamaah–bapak-bapak, ibu-ibu, remaja-remaja, dan anak-anak, diajak berkonsentasi berdzikir. Mentransisi situasi menuju lebih dekat kepada Allah dan Rasulullah, sekaligus dekat satu sama lain di antara semua yang hadir malam ini, antara yang di panggung dan yang duduk lesehan memadati pelataran Masjid ini. Kebetulan panggung tidak terbuat dari kayu atau level, melainkan langsung lantai konblok halaman masjid yang jaraknya dengan audiens hanyalah bidang landai dari lantai tersebut sekira 19-an derajat sehingga nyaris tanpa jarak tinggi-rendah dengan jamaah.

Sesudah jamaah khusyuk dan terfokus, nomor Sholli wa sallimda berakhir, Cak Nun mulai menurunkan konsentrasi, musik berhenti dan dialog dengan jamaah dimulai. Cak Nun meminta salah seorang anak untuk maju. Ilham nama anak kelas 3 SD itu diinterview dan diajak ngobrol oleh Cak Nun tentang ngajinya, digali pengetahuannya tentang nama-nama hari, nama bulan dalam tahun Hijriah, dan ternyata Ilham hapal nama-nama bulan tersebut, yang tak semua orang dewasa selalu ingat. Puncaknya ternyata Ilham bisa nyanyi. Sebuah nomor dibawakannya dengan gayanya yang lepas, lugas, dan penuh percaya diri. Sekarang, dia sedang kolaborasi dengan Doni KiaiKanjeng membawakan lagu ABCD. Sangat asyik, mesra, penuh cinta kepada anak-anak merupakan atmosfer yang kemudian tercipta.

Semua hadirin tertuju perhatiannya ke panggung, baik yang berdiri di sisi panggung dan di balik pagar, maupun yang tidak kebagian tempat duduk lesehan. Panggung sendiri terlihat sangat lapang dan tinggi atapnya seakan menjelma wadah yang siap menampung berkah ilmu, keindahan, dan kebaikan yang dipancarkan Allah melalui Maiyahan malam ini.

Cak Nun terus memberi ruang dan mengolah anak-anak, meminta mereka membawakan satu lagi yang dikuasainya, dan sekarang diiringi musik KiaiKanjeng mereka diajak nyanyi bareng-bareng lagu Gundul-Gundul Pacul.

Dari lagu ini, Cak Nun kembali menguraikan bagaimana memahami hakikat hukum di dalam diri manusia. Hidup bukanlah pisau yang pasti fiks hukumnya sejak awal, tetapi akan bergantung akan dipakai apa pisau itu, dan dari situlah hukum muncul. “Dan aslinya, hukum itu ada di dalam dirimu. Kemudian karena orang tidak menggunakan akal sehatnya, maka pada tingkat selanjutnya agama datang dengan memberikan batasan dan pagar,” kata Cak Nun. Lebih jauh beliau menjelaskan, memang ada hal-hal yang akal manusia tidak mampu menjangkau, dan disitulah kita membutuhkan informasi Allah melalui agama. Tetapi hal-hal dasar dan sederhana seperti ibadah puasa misalnya haruslah dipahami tidak saja dalam konteks perintah, tetapi perlu dikaitkan dengan pemahaman akan kecenderungan manusia untuk makan melulu, maka Allah perintahkan untuk puasa. Memahami hukum secara dialektis.

Kalau bekerja jangan lupa shalat, jadi shalatnya berposisi sekadar “jangan lupa”.
Cak Nun memberi ruang dan mengolah anak-anak, meminta mereka membawakan satu lagu yang dikuasainya.

Demikianlah selanjutnya Cak Nun menguraikan posisi dan konfigurasi agama, peradaban, kebudayaan, dan kesenian dalam cara yang sederhana dan dengan contoh yang hidup. “Maka, siapa yang mengharamkan musik, dia berhadapan dengan Allah,” tegas Cak Nun setelah memaparkan bahwa musik itu terdiri atas bunyi, nada, dan irama, dan ketiganya mustahil kita terhindar darinya. Jangankan bermain musik, berbicara saja ada nada dan iramanya. Jadi tidak masuk akal bahwa musik itu pada dasarnya haram atau tidak boleh. Yang tidak boleh atau haram, atau tidak pantas, adalah soal kapan, bagaimana, dan di mana musik itu dibawakan. Asalkan dibawakan pada saat yang tepat, dengan cara yang menjaga syariat dan martabat, dan di tempat yang diperbolehkan, maka musik bukan saja tidak boleh, tapi baik dan memberikan manfaat yang baik pula bagi manusia. Kanjeng Nabi pun pernah berjalan dan mendengarkan suara seseorang memainkan suling. Sesaat suara itu hilang. Rupanya pemain suling ini khawatir Nabi tak berkenan. Nabi lantas mencari-cari, “di mana suara seruling tadi, aku ingin mendengar suara Kakekku Nabi Daud lewat seruling yang ditiupkannya.”

Setelah ini, KiaiKanjeng menyuguhkan Gundul-Gundul Pacul yang telah diaransemen secara khusus sehingga sangat kuat ekspos musikalitasnya bahkan pada setiap alat musiknya. Gundul-Gundul Pacul ini pula yang dibawa KiaiKanjeng ketika perjalanan tur luar negeri di Finlandia dan disuguhkan kepada dunia internasional. Sebuah upaya bukan saja nguri-nguri kabudayaan, tapi mendekatkan publik antarbangsa untuk mencicipi kayanya musik dan filosofi bangsa Indonesia.

Sudah menjelang pukul 23.00 WIB, jamaah makin terserap dalam asyiknya kebersamaan dan ngaji di malam ini. Cak Nun makin dalam menuangkan pembabaran. Kali ini menukik ke soal sikap dan pemikiran sekular. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya dan susah menghadapinya dibanding orang kafir atau orang musyrik. Sebab, sekularisme berangkat dari pemikiran fragmentaristik, sedangkan agama mengajak pada pendekatan yang bulatan dan terkait satu sama lain.

Karena itu, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk memiliki kritisisme di tengah parahnya sekularisme yang ada di masyarakat. Penekanan berlebihan kepada syariat, dalam pendidikan, bisa saja berangkat dari kadar tertentu sekularisme. Yang pertama yang sebaiknya ditanamkan kepada anak-anak prinsip-prinsip moralitas, sedang syariat aslinya buat jaga-jaga sebagai pagar ketika seseorang akan melanggar kebenaran dan kebaikan.

Kemudian Cak Nun memberikan beberapa contoh moralitas yang dipraktikkan dan dicontohkan Kanjeng Nabi kepada para Sahabat-nya, dan dilanjut dengan pemahaman sederhana tapi mendasar atas rukun Islam, di mana rukun Islam merupakan satu sistem ilmu dan metodologi hidup.

Kebersamaan yang erat, yang tak terpisah di antara semua yang hadir dan terlibat dalam acara ini, sangat terasa, dan sekarang sesudah menyusuri butir-butir keilmuan, Cak Nun meminta KiaiKanjeng mengendorkan syaraf semua hadirin dengan mempersembahkan sebuah nomor Melayu “Beban Kasih Asmara” yang dibawakan oleh Mas Imam Fatawi yang kemudian berkolaborasi dengan salah seorang Ibu. Tak cukup satu nomor, kolaborasi ini pun dilanjutkan dengan “Rasa Cinta”. Sungguh sangat indah kebersamaan ini.

Di langit, bulan (Muharram) yang baru memasuki angka 7, dengan warnanya yang kekuning-kuningan, seakan turut menikmati acara malam ini. Menyaksikan dari tempatnya, dan mungkin mengabarkan kepada bintang-bintang tentang acara yang indah di permukaan bumi yang dipantulinya cahaya.

Sebuah pesan penting kemudian disampaikan Cak Nun agar kita selalu punya kemesraan, kemurnian/kepolosan, dan penuh rasa syukur. Pemahaman keagaaman jangan membuat kita kehilangan kemesraan. Sebab, kemesraan adalah bagian dari naluri manusia yang diberikan langsung oleh Allah, sebagaimana bayi langsung bisa menyusui ibunya, tanpa diajari dan pasti sulit diajarkan secara kognitif kepada bayi yang baru lahir procot untuk begini caranya menyusu. Allah mengajarinya langsung. Ada bagian-bagian tertentu dalam hidup yang Allah mengajarinya langsung, atau mentakdirkannya pada keadaannya seperti saat ini. Sehingga yang diperlukan tinggal rasa syukur kepada-Nya. “Melihat gigi tidak dipanjangkan sampai jauh ke bawah saja harus membuat kita bersyukur. Apalagi punya tiga masjid yang kompak dengan pembagian tugasnya masing-masing,” tutur Cak Nun.

Dari samping panggung, Mas Islam dan Ibu yang tadi berpartisipasi bernyanyi, terlihat sudah berdiri dan bersiap duet membawakan lagu “Perdamaian”-nya Nasyida Ria yang berasal dari Semarang. Tetapi terlebih dahulu Cak Nun memberikan tikar pemahaman dan sedikit pembacaan kritis atas pop-isasi lagu ini seperti dibawakan oleh grup band Gigi. KiaiKanjeng membawakannya secara “ndeso” dan original saja tetapi dengan perangkat musiknya KK di antaranya gamelan, sehingga nomor Perdamaian ini hadir dengan nuansa yang apik. Lebih penting lagi, semangat KiaiKanjeng membawakan lagu Nasyida Ria ini adalah menjunjung dan menghormati orang atau kelompok musik yang telah berjasa memberikan lagu-lagu yang baik dan berkekuatan awet-abadi, sebagaimana penghormatannya kepada M. Mashabi, A. Kadir, dan Ida Laila yang mungkin tak lagi dikenal generasi sekarang. Semangat penghormatan itu juga mesti diimplementasikan pada bagaimana KiaiKanjeng membawakan lagu-lagu dari legend-legend tersebut.

Acara terus bergulir menuju pergantian hari, dan setiap kali jamaah ditanya, apakah atau kapan acara harus disepakati diakhiri, serempak mereka menjawab, “Teruuuusss. Terus.” Cak Nun kemudian memproporsionalkan untuk boleh tambah tapi jangan kebanyakan. Satu jam saja ke depan kita jajaki, sembari semua sepakat untuk benar-benar tidak pulang sampai satu jam ke depan.

Dalam uraian-uraian selanjutnya, Cak Nun menyampaikan kepada jamaah, khususnya tentunya diserap oleh para pengurus Yayasan Dian Insani yang berkecimpung dalam kegiataan keagamaan dan pelayanan sosial, bahwa menerapkan kebenaran hendaklah dibarengi dengan cinta. Keduanya dimanage secara seimbang dan proporsional, justru agar moralitas dan esensi agama dapat tersampaikan dengan baik.

Melengkapi pencapaian ngaji malam ini, Cak Nun menambahkan agar kita belajar kepada peristiwa batalnya wudlu di mana kita dapat esensi pelajaran tentang apa yang disebut sebagai peristiwa jasad dan peristiwa martabat. Ngaji seperti ini juga merupakan bagian dari upaya menjaga dan menegakkan martabat diri kita sebagai manusia dengan selurut dimensi yang melekat padanya.

Give Me One Reason barusan dibawakan oleh Donni KK. Mengantarkan lagu ini, Cak Nun menjelaskan prinsip yang dipegang oleh KiaiKanjeng dalam mengembarai jagad musik. KiaiKanjeng mengeksplorasi semua jenis musik. KiaiKanjeng terbuka terhadap semua khasanah. Semua bisa dijajagi dan diserap. Meskipun demikian, KiaiKanjeng menerapkan batas-batas syariat dalam eksplorasi dan penyuguhan musikalnya. “Silakan dinikmati nomor ini sebagai peristiwa musik dan peristiwa keluasan wacana,” antar Cak Nun kepada jamaah.

Memuncaki perjumpaan malam ini, Cak Nun mengajak para jamaah bareng-bareng melantunkan lagu Syi’ir Tanpo Waton. Teman-teman hadroh Al-Barado diajak serta berdiri bersama para vokalis KK untuk membawakan lagu ini.

Dan, terakhir seperti biasanya, acara diakhiri dengan Indal Qiyam, dan dengan seluruh yang dialami dalam majelis ini Cak Nun berharap agar Allah bukan saja menganugerahkan ilmu kepada semua jamaah tetapi juga fadhilah dan ma’unah. Semakin khusyuk dalam doa usai indal qiyam ini, Cak Nun melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an surat An-Nuur 35. Nuurun ‘ala Nuur. Semua wajah merunduk dan hati rebah kepada Allah.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik