Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Baturan, 24 Okt 2014
Malam ini Cak Nun memenuhi undangan masyarakat Desa Baturan Colomadu Karanganyar Surakarta untuk maiyahan dalam rangka Grebeg Suran dan menyambut tahun Baru 1 Muharram 1436 Hijriah di lapangan desa Baturan. Acara berlangsung di tempat yang sama dengan pasar malam yang memang merupakan bagian dari Grebeg Suran.
Panggung acara berada di tengah-tengah lapangan. Di belakang panggung, para penjaja dan pedagang pasar malam tetap melayani pembeli tetapi tidak ada satu pun yang ramai membunyikan suara untuk memberikan penghormatan kepada puncak acara Grebeg Suran ini. Di depan panggung, ribuan hadirin dan jamaah sudah berada di tempat sejak pukul 19.30 menanti kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Sebelum acara, KiaiKanjeng transit di rumah Pak Martoto tak jauh dr lokasi. Beliau adalah sesepuh dan tokoh masyarakat desa Baturan. Beliau sangat kental tradisi Islamnya, sangat dekat dengan tradisi istighasah, shalawatan, dan ratiban. Suasana di rumahnya sangat menggambarkan hal itu. Beliau sangat ramah dan menghormati rombongan KiaiKanjeng yang ragam latar belakang budayanya. Bahkan beliau menuangkan sendiri minuman untuk KiaiKanjeng. Sangat terlihat bahwa KiaiKanjeng sangat dimuliakan.
Tiba di lokasi, Cak Nun segera disambut dengan terbangan shalawat Badar, orang-orang berebut menyalami Cak Nun sedikit membuat pergerakan menuju tempat duduk tamu utama agak terhambat, tapi Cak Nun tetap dengan penuh cinta melayani mereka.
Beberapa sambutan telah disampaikan. Acara Maiyahan dimulai. Dan selalu merupakan pembukaan yang magis setiap kali KiaiKanjeng memainkan semua alat musiknya khususnya gamelan dan bonang pada nomor Pambuko dan Shalawat an-Nabi. Semua hadirin terbawa pada kekuatan bunyi musik yang lain daripada lain.
Meneruskan atmosfer yang telah dimulai KiaiKanjeng, Cak Nun naik ke panggung, menyapa para jamaah, dan mengajak semuanya terlebih dahulu bareng-bareng menyapa Allah Swt dan Rasulullah Saw. “Apa artinya hidup tanpa Allah dan Rasulullah,” tegas Cak Nun.
Berbicara di depan masyarakat luas bukan hal yang mudah bagi Cak Nun, bukan karena soal komunikasinya, tetapi karena sesungguhnya di dalam diri beliau terkumpul bermacam kesadaran: kesadaran sebagai hamba, kesadaran sebagai khalifatullah, kesadaran sebagai warga negara, kesadaran sebagai teman bagi sesama masyarakat, dan kesadaran-kesadarn lainnya. Semua kesadaran tersebut ada kewajiban dan tanggung jawabnya. Dan tidak semua orang siap dan berada dalam kesadaran yang sama. Maka dalam setiap kesempatan Cak Nun selalu memiliki keputusan untuk manakah porsi kesadaran yang diaksentuasikan untuk menjadi ilmu, muatan, dan pesan-pesan. Idealnya, semua tanggung jawab tadi bisa ditunaikan, tetapi sering kita terpuruk sebagai khalifatullah, dan malangnya kita kerap tidak sadar akan keterpurukan ini.
Pada bagian awal ini, Cak Nun langsung menuju tema yang diusung penyelenggara soal Suran sebagai tradisi dan budaya. Cak Nun langsung menegaskan jangan mengkonfrontasikan agama di satu sisi dan budaya di sisi lain. Konfigurasinya tidak seperti itu. Ada di dalam agama yang implementasinya membutuhkan budaya. Dan ada budaya yang (sebaiknya) bersumber dari ilham agama. Karenanya ada yang disebut ibadah mahdhoh dan ada ibadah muamalah. Ada sesuatu dari agama yang tinggal langsung dilaksanakan seperti shalat, puasa, dan rukun Islam lainnya. Tetapi, ada perintah agama yang penerapannya membutuhkan formulasi budaya, misalnya perintah untuk berbakti kepada orangtua atau larangan mengucap “ufff” pada orangtua.
Mungkin Maiyahan di Baturan ini adalah acara menyambut 1 Suro atau 1 Muharram yang lain daripada yang lain. Tradisi di Keraton Solo malam 1 Suro adalah mengeluarkan Kerbau Kiai Slamet dari Keraton dan mengaraknya sampai ke Jalan Slamet Riyadi sebelum kembali ke Keraton. Di Jogja, ribuan masyarakat akan berjalan kaki mengelilingi komplek Keraton Yogyakarta sambil berdiam atau tidak berbicara. Sementara itu ribuan masyarakat Baturan keluar dari rumah menuju lokasi Maiyahan untuk ngangsu kawruh dan berdoa bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk menyambut 1 Suro dan 1 Muharram 1436 H. Dengan cara dan metode Maiyahan, semua masyarakat di sini pelan-pelan diajak memasuki butiran-butiran ilmu hidup dalam kebersamaan dan kemesraan.
Pesan pertama Cak Nun soal tahun baru Hijriah tanpa terduga dikaitkan dengan soal pemberantasan buta huruf. Selama ini, kalau disebut buta huruf adalah tidak bisa membaca huruf latin. Itu semua karena kita sudah telanjur dekat Barat. Sementara kalau tidak bisa membaca huruf Arab, alif ba’ ta’ dan seterusnya, tidak disebut buta huruf, dan tidak ada kesadaran tentang hal itu.
Maka, pertanyaannya seberap buta huruf kita akan hal-hal menyangkut Hijriah, dan seberapa jauh kita menyadari bahwa kita buta huruf.
Untuk memulai gerakan pemberantasan buta huruf ini, Mbak Via yang malam ini turut hadir bersama KiaiKanjeng, diminta Cak Nun membawakan nomer Ai bi ci di yang mengeja dan menderet nama-nama hari dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan nama-nama dalam kalender Jawa, untuk menunjukkan bahwa boleh jadi buta huruf kita masih sangat banyak. Baru melek huruf atau abjad Latin jangan lantas merasa sudah melek semuanya.
Yang kedua, Cak Nun menekankan bahwa kalender Hijriah yang dihitung sejak Rasulullah hijrah ke Madinah mengandung pelajaran bahwa apa yang dikerjakan atau diperjuangkan itu lebih penting diwarisi dan dijadikan tonggak. “Dan bahwa sebenarnya hikmah dan makna 1 Hijriah itu seluas kandungan makna Hijrah Rasul itu sendiri,” tegas Cak Nun.
Mbak Fauziyah, seorang jamaah, yang berpartisipasi menemani Mbak Via membawakan ABCD, tiba-tiba menjadi pemantik pembahasan mengenai Sunnah Nabi. Intinya, Mbak Fauziyah minta dijelaskan mengenai menjalankan sesuatu dalam kaitannya dengan ada tidaknya contoh dari Nabi. Dengan penuh semangat tapi juga kesel dengan keahmaqan banyak orang, Cak Nun menguraikan lagi prinsip-prinsip dalam ibadah mahdhoh dan muamalah dengan contoh-contoh yang konkret sehingga masyarakat gamblang dalam memahami. Termasuk soal contoh Nabi, tidak semua hal yang kita lakukan di zaman ini harus ada contohnya dari Nabi. “Tolong dicatat, Nabi memberikan contoh substansi, bukan contoh budayanya,” terang Cak Nun. Contoh-contoh yang diberikan Cak Nun selain menggamblang poin-poin pemahaman, kerapkali mengundang tawa hadirin, membuat mereka dapat ilmu tapi juga gembira, merdeka dan dekat satu sama lain.
Di ruang transit tadi, Cak Nun juga sempat menjelaskan kepada tuan rumah dan panitia, dengan mengutip pendapat Sabrang bahwa budaya itu budaya itu kebiasaan atau perilaku manusia yang sudah teruji dan terbukti baik. Karena, tidak semua kebiasaan itu baik. Maka budaya itu bukan sekadar tradisi, tetapi tradisi yang baik. Tidak benar bahwa korupsi itu budaya sehingga ada sebutan budaya korupsi. Itu tradisi.
Mbak Fauziyah bertanya, banyak di antara kita yang owel dalam beragama. Ada yang bilang kalau kita mau mengikuti semua perintah Allah atau Sunnah Nabi nggak akan pernah cukup. Cak Nun langsung menukas, “Nggak cukup ya biarin. Emang menurut siapa juga cukup atau tidak cukup itu? Allahlah yang akan mencukupkan kita. Bukan mereka. Hasbunallah wa nikmal wakil. Allah yang mencukupkan kita.” Kemudian Cak Nun menyarankan agar kita tidak gampang ikut arus pertanyaan orang yang sebenarnya tidak mau srawung, yang cuma melarang-melarang saja. Jangan gampang tertekan. Layani saja yang bisa dilayani. Dan sesekali perlu dilayani dengan cara yang cerdas dan out of box.
Cak Nun juga menjelaskan bahwa kekisruhan dan kebodohan dalam memahami agama dan budaya adalah adanya pandangan bahwa ada yang bernama dan masuk ke dalam wilayah agama dan ada yang masuk wilayah budaya. Jadi, sekularisme sebenarnya. Itulah yang terjadi. Kita seakan beragama, tapi sebenarnya sedang menjalankan sekularisme. Kalau mau konsisten, jika protes terhadap shalawatan, seharusnya juga protes kepada musik-musik lainnya.
Sudah kita mengerti bersama, bahwa padatnya ilmu yang dikembarai di dalam Maiyah tidak berbanding lurus dengan kesepanengan atau “dahi yang berkerut” tetapi malahan bisa diramu dengan komunikasi dan dialog yang segar dan penuh nuansa. Demikianlah yang sejauh ini berlangsung di Maiyahan Grebeg Suran malam ini. Mbak Via menghangatkan suasana dengan membawakan nomor Sebelum Cahaya-nya Letto.
Di sisi panggung, tampak teman-teman ADiTV standby di tempat masing-masing, dan senantiasa setia merekam Maiyahan dari tempat ke tempat. Merekalah para prajurit yang turut serta mendekatkan dan menaburkan Maiyah kepada masyarakat luas di wilayah DIY dan Jateng. Mereka tak cuma bertugas, sesungguhnya mereka ikut menimba ilmu di Maiyahan. Mereka ikut khusyuk, menyerap ilmu, tetapi juga bisa ikut tertawa lepas. Sesuatu yang barangkali tak ditemukan oleh kru-kru media televisi lain.
Waktu sudah pukul 00.20 WIB. Usai nomor Melayu “Rasa Cinta”, acara sampai pada puncaknya. Cak Nun mengajak semuanya berdiri, bersungguh-sungguh dan khusyuk melantunkan shalawat Indal Qiyam diiringi pukulan-pukulan terbang KiaiKanjeng.
Semua jamaah merapat di panggung, tanpa batas, kanan kiri panggung dikepung jamaah yang semuanya berdiri, menjadikan proses Indal Qiyam terasa sangat sakral.
Doa penutup dibawakan oleh salah seorang Kiai dari masyarakat setempat. Di penghujung acara, Cak Nun berpesan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam masa pancaroba. Ada orang-orang yang bergerak ke masa lalu dan senja hari, tetapi anda semua yang berkumpul di sini dan selalu melakukan kebaikan-kebaikan akan digiring menuju fajar dan akan disambut oleh matahari pagi. Demikian pula anak-anak anda. [Teks: Helmi Nugraha/Progress]