CakNun.com

Reportase Kenduri Cinta Maret 2013: Asongan Akherat

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 18 menit

“Dulu saya bikin Komite Reformasi beranggotakan 45 orang. Untuk supaya tidak kelihatan seperti kudeta, ada 3 orang Orba yang dilibatkan di dalamnya. Ada Pak Harto, Wiranto, dan Akbar Tandjung. Tanggal 20 Mei 98 komite itu ditolak terutama oleh Amin Rais karena masih ada orang Orba.Akhirnya gagal nggak jadi reformasi.Beberapa saat kemudian Wiranto ikut konvensi untuk jadi presiden. Sekarang pun nggak jelas gimana ukuran-ukurannya.”

“Pertama kali kita harus paham dulu dasar-dasarnya, baru nge-jazz. Reformasi tiba-tiba ngejazz, RI pun begitu. Semoga suatu hari nanti ada pembenahan.”

“Arupalaka itu pahlawan atau pengkhianat? Tergantung cara kita melihatnya. Bangsanya dijajah oleh Sultan Hasanuddin. Perkara dia dibantu oleh Belanda, itu ya terserah dia.”

Ketika seorang jamaah menyinggung tentang PKS, Cak Nun menjawab, “Saya harus menjaga etikajuga karena semua masih berlangsung. Karena sudah terlanjur Anda sebut, memang benar beberapa waktu lalu Anis Matta beserta 40 pengurus PKS pusat datang ke Kadipiro. Saya kira tidak baik kalau saya ceritakan semuanya sekarang. Biarkan itu kita proses, karena semua masih punya kemungkinan untuk menjadi baik.Gampangnya, misal Anda maling, tapi ketika desa Anda diserang, Anda ikut membela. Orang bisa punya fungsi bermacam-macam dan itu yang sedang saya upayakan.”

“Kalau kamu berani menjadi trigger sejarah, saya punya tanggung jawab untuk ikut melindungimu dari teror-teror ini itu terhadap keluargamu dan lain-lain. Sementara itu, KPK-nya juga kita dorong-dorong terus. Saya hanya bisa ngomong prinsipnya, nggak mungkin ngomong detil.”

“Ada masalah apapun, yang penting beres dulu di pikiran. Hati itu nggak masalah, diam saja tugasnya, jangan ke mana-mana.Perkara nggak bisa melaksanakan itu nggak masalah.Hampir seluruh Nabi juga mengalami kegagalan. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kalau ada sesuatu yang tidak mampu kamu jawab, berbahagialah karena itu bagian Allah.”

Menyambung uraian dari Cak Nun, Mas Andri menyoroti masalah bahasa sebagai tool untuk memahami, tapi justru bahasa-bahasa yang ada di Nusantara kurang dilestarikan.  Kita tak punya strategi budaya ke depan untuk membangun, sehingga akhirnya kita tak punya karakter. Untuk itulah kita kadang-kadang perlu kembali melihat proses ke belakang, meruntutnya kembali. Dalam proses itu, simbol menjadi makna dan makna menjadi hikmah. Nilai dipegang, dan value harus hadir.

Mas Sabrang menceritakan satu eksperimen yang dilakukan pertama kali di Jepang, lalu dilakukan di Australia dan Inggris. Ini berhubungan dengan mekanisme informasi dan otak. Di Jepang ada jenis monyet yang hidup di pantai. Seseorang iseng melemparkan kentang kecil ke arahnya, ke pasir.Si monyet senang, tapi ketika langsung dimakan ada pasir yang menempel. Harus dicari cara untuk membersihkannya.Ada yang secara tak sengaja memasukkan kentang yang ada pasirnya itu ke air. Awalnya yang tahu hanya satu monyet, kemudian diikuti oleh anaknya. Lama-lama, teman si anak mengikuti cara itu, sampai suatu titik ketika mencapai jumlah tertentu, tiba-tiba semua monyet – bahkan monyet-monyet di lain pulau – menggunakan cara serupa. Semua spesies monyet tersebut tiba-tiba paham bagaimana cara membersihkan kentang.

Satu lagi percobaan membawa gambar wajah tersembunyi ke suatu kelas SMA di Australia. Kebanyakan mampu menebak ada 9 sampai 12 wajah, padahal total gambar ada 40. Pada waktu bersamaan, gambar yang sama disiarkan di TV kabel di Australia, ditunjukkan 40 wajah tersembunyi dalam gambar tersebut. Setelah itu rata-rata siswa SMA yang disuruh menebak mampu menebak sampai 40 gambar wajah.

“Pengetahuan tidak harus berasal dari pengalaman sendiri. Maka ada ungkapan, ‘Wong kang sholeh kumpulono’. Kita memerlukan jumlah tertentu (critical mass) untuk bisa ‘otomatis’ menjadikan kesadaran tertentu sebagai kesadaran bangsa. Sebelum mencapai jumlah itu, prosesnya sangat lambat. Ini bisa juga diterapkan untuk KC,” ujar Mas Sabrang.

Di penghujung acara, semua jamaah diminta berdiri. “Untuk akhir saya kali ini tidak me-recommend indal qiyam karena banyak teman-teman yang tidak pada tradisi itu, juga yang tidak beragama Islam. Religiusitas itu tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan kata-kata, melainkan oleh kesungguhan kita untuk menjalankan amanat Allah. Terutama persembahan cinta Anda kepada tanah, itu juga suatu religiusitas. Jadi saya mohon Mas Beben beserta Ibu untuk ke depan. Tolong pimpin kami untuk menyanyikan lagu apapun yang bisa memasukkan rasa Indonesia ke dalam diri kita.”

“Tadi kita ngomong mengenai asongan akherat. Saya ingin melegitimasi temen-temen KC, kalau bahasa urban mengenal kata ‘asongan’, bahasa agraris punya kata ‘ngasak’. Sekarang ini banyak kelompok-kelompok formal normatif yang merasa dirinya panen akherat, sehingga mereka mantap sekali untuk menjadi pemimpin panen itu. Sementara di KC, semua orang berani datang. Ini kalau mau disebut lemah ya lemah, tapi kalau mau disebut kuat ya kuatnya justru di situ. Di sini semua dekat tanpa batas-batas budaya, Anda bukan santri nggak apa-apa. Dan lagi, sekarang yang disebut santri pun belum tentu santri. Belum tentu yang pakai peci itu santri, dan belum tentu yang pakai jeans itu bukan santri. Para qori’ di Iran berpakaian sangat biasa seperti yang kita pakai sekarang ini, tidak ada yang pakai peci atau sorban. Bahkan ada yang pakai kaos saja ketika qiro’ah resmi di parlemen Iran.”

“Jadi, kalau di mana-mana Anda dianggap jauh dari Allah begitu Anda tidak sholat atau tidak melakukan hal-hal secara normatif, di sini tidak ada yang jauh dari Allah. Allah itu lebih dekat daripada urat lehermu sendiri, cuma Anda saja yang tidak mau menyadari dan menerima kedekatan Allah kepadamu. ‘Inni qorib.. Inni qorib’ – begitu kata Allah.”

“Tadi itu bacaan Alif lam mim saya ulang-ulang, karena kita belum paham benar. Alif lam mim bisa menjadi sarana kedekatanmu dengan Allah supaya Dia menjadi sayang kepadamu sehingga Allah menambah sesuatu yang tidak engkau sangka-sangka dalam hidup.”

“Anda ini memang orang-orang yang ngasak. Tapi, orang yang panen itu insyaAllah justru mereka yang mengaku dirinya ngasak, bukan orang yang merasa dirinya akan panen. Anda yang sudah haji belum tentu lebih baik daripada yang belum haji. Di sana Anda merasa sebagai tamu Allah, lho kok yang dipanggil yang nduwe duit thok? Apa Allah nggak adil? Seolah Allah diskriminatif terhadap yang tak punya biaya ke Mekkah. Makanya, jangan keliru mengartikan itu. bukan berarti sekarang ini Anda bukan tamu Allah. Emang siapa yang bukan tamu Allah, wong setiap hari Anda berhadapan dengan Allah? Saya tidak meremehkan orang yang melaksanakan umroh, tapi Anda juga adalah tamu Allah setiap hari asalkan Anda mau bertamu kepada Allah.”

“Mudah-mudahan asongan Anda ini justru panen. Ada cerita pada suatu musim haji, seorang yang kasyaf justru tidak mendapati malaikat di tengah orang yang sedang thawaf. Karena heran, orang itu terbang ngrogo sukmo, dan di kejauhan tampak malaikat-malakat berkumpul di sebuah rumah. Penghuni rumah itu jelek, tidak dikenal sebagai orang yang rajin secara keagamaan. Lho ada apa? Ternyata orang itu sebelumnya sudah berniat berangkat haji, semua uang sudah terkumpul, tapi tiba-tiba sepuluh menit sebelum membayarkan ongkos haji datang temannya yang sedang sangat membutuhkan uang untuk istrinya yang mengalami kecelakaan. Semua uang itu diberikannya.”

“Jadi Anda jangan minder, soal kedekatan dengan Allah itu rahasia masing-masing orang. Setiap orang mendekat kepada Allah dengan diri dan rahasianya sendiri; tidak ada yang bisa mengklaim siapapun. Salah kalau ada orang yang menuduh, mengkategorikan, menyusun-nyusun ini santri itu abangan. Dalam dunia thariqat, kesejatian itu kemurnian dan keikhlasan itu dipantulkan oleh kaca sangat bening yang bernama Khidir alaihisalaam.”

Ada sebuah cerita, di mana seorang santri menyatakan keinginannya untuk bertemu Nabi Khidir kepada sang kiai. Lalu Kiai itu memerintahkan santri untuk pergi ke pantai, wiridan mulai tengah malam sampai Shubuh – kalau tidak malam itu, mungkin lusa, atau malam berikutnya. ‘Sabar saja’, pesan Kiai.

Tiga malam berturut-turut si santri tidak bertemu dengan siapa-siapa. Shubuh berikutnya malah ada anak muda naik motor dengan sembarangan, ngegas-ngegas berisik di depan santri. Marahlah santri kita ini. Dengan putus asa, dia pulang ke kiainya sambil mengeluhkan pengalaman tidak enaknya.

“Lho itu memang Khidir,” jawab sang kiai.

“Kok Khidir naik motor?”

“Soalnya kamu tidak senang dengan anak naik motor, tidak senang dengan anak kurang ajar, nah Khidir mewujudkan diri menjadi orang yang tidak kamu sukai.”

“Makanya,” pesan Cak Nun, “Bebaskan dirimu dari kebiasaan tidak menyukai. Carilah ilmu dan rahasia dari semua yang tidak kamu sukai, maka engkau akan menemukan kesejatian. Apa yang kamu pikir tidak menyenangkan dan kamu benci, jangan-jangan sesungguhnya dia mengandung kebaikan yang kamu perlukan. Atau siapa tahu sesungguhnya apa atau siapa yang sangat kamu sukai dan sangat kamu inginkan justru mengandung keburukan-keburukan yang akan mencelakakanmu. Allah telah mengingatkan hal ini kepada kita dengan jelas.”

Dalam Al-Qur’an ada lima macam kebaikan, masing-masing pada tempat yang berlainan konteksnya. Khoir artinya kebaikan yang universal, yang masih cair; misalnya sifat menyukai keindahan. Ma’ruf itu kebaikan yang sudah dirumuskan, diuji, dan sudah diarifi. Ihsan itu kebaikan yang lahir murni dari diri setiap orang. Anda tidak harus menolong tapi Anda rela langsung menolong tanpa diminta, itulah ihsan. Yang berikutnya birrun, ini rahasia kebenaran yang ada di dalam jiwa Anda, dan urusannya sangat privat hanya dengan Allah. Maka jenis kebaikan ini digunakan untuk melekati hubungan sangat mendalam antara orang yang naik haji dengan Allahnya – menjadi seorang haji mabrur. Haji mabrur itu spesifik dan otentik.

Kebaikan jenis terakhir disebut sebagai sholeh.  Sholeh itu kalau sesuatu sudah Anda sikapi dengan jernih dan adil, dan sudah disimulasikan manfaat dan mudharatnya. Orang yang sholeh ketika mau berbuat baik dia hitung dulu sampai matang  sehingga unsur mudharatnya sekecil mungkin – karena kebaikan itu belum tentu baik. Dia juga harus dilaksanakan dengan benar. Kebenaran belum tentu benar, dia harus dilaksanakan dengan kebaikan.”

“Jazz sudah merupakan kepulan-kepulan gelombang yang mengandung ketiga-tiganya : kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Maka saya minta kepada Mas Beben dan Mbak Inna untuk memimpin kita malam ini.”

Berdua, Mas Beben beserta istri memimpin jamaah melantunkan lagu Padamu Negeri dalam gaya jazz, menyudahi perjumpaan kebaikan-kebaikan di Kenduri Cinta pada malam ini.  [Red/KC]

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Topik