Perkara Lapar
Kalau LAPAR itu pasti akibat tidak atau belum makan. Perkaranya adalah kenapa tidak atau belum makan? Kalau tidak makan disebabkan karena puasa atau diet itu karena unsur niat, disengaja. Ada pula tidak atau belum makan dikarenakan lupa, sangking asyieknya sedang melakukan aktifitas tertentu sehingga pada waktunya makan tidak dilakukannya — hal semacam ini juga tak bisa menyalahkan pihak lain, tidak makan karena kealpaan yang terjadi pada dirinya sendiri itu pasti merupakan kesalahan dirinya sendiri, bisa saja menyalahkan orang-orang disekitarnya, kenapa tidak mengingatkan untuk makan karena sudah waktunya makan?
Yang justru wajib dipersoalkan apabila ada orang kelaparan disebabkan karena memang tidak ada pangan yang harus dimakannya. Ini belum mempersoalkan apa makanan yang dimakan; bagaimana kandungan gizi, nutrisi, higienis — sehat apa tidak? Darimana asal-usul makanannya? Itu makanan pabrikan apa makanan lokal? Makanan import yang penuh dengan bahan pengawet? Atau makanan yang berasal dari bahan-bahan hasil rekayasa genetika yang tidak pernah jelas status keamanannya? Bagi golongan yang anti babi apakah yakin bahwa apa yang dimakan sama sekali tak ada unsur babinya? Karena ada banyak tanaman hasil rekayasa yang menggunakan gen babi. Hal lain lagi, apakah sudah jelas apa yang kita makan sungguh-sungguh berasal dari bahan makanan yang bukan hasil dari penyelundupan? Apakah apa yang kita makan yakin bukan dari hasil colongan (mencuri) bahkan dari hasil korupsi? Masih bisa dideretkan lagi beribu-ribu pertanyaan….
Kembali pada pertanyaan; “Mengapa ada orang atau pihak yang tengah kelaparan, karena tidak ada yang dimakan?” Ternyata untuk menjawab pertanyaan itu ada dua golongan yang berbeda menjawabnya. Golongan pertama menanggapi bahwa kenapa itu terjadi karena orang-orang yang tengah kelaparan itu memang pada dasarnya tingkat pendidikan rendah, maka dari itu mereka miskin ditambah lagi motivasi kerja rendah (boleh dikata malas kerja). Golongan kedua berkeyakinan, mengapa ada orang-orang yang kelaparan itu disebabkan karena ada pihak-pihak yang sangat rakus makan, maka ada pihak lain yang tidak kebagian jatahnya.
Hal di atas sebetulnya bukan hanya melulu soal pangan, coba seandainya “kelaparan” diganti dengan “kemiskinan”, pasti tidak jauh berbeda, karena ini sangat terkait dengan cara berfikir. Padahal cara berfikir yang akan menjadi pemandu tindakan (boleh dikata ini ilmu pasti). Cara berfikir golongan pertama sangat jelas bahwa yang dipersalahkan malah orang yang sedang mengalami kelaparan — sudah jadi korban dipersalahkan pula (blaming the victim), boleh dibilang golongan pertama, sejak dari pikirannya saja sudah menyalahkan korban. Kira-kira cara berfikir semacam ini akan memandu pilihan tindakan seperti apa? Yang pasti apapun pilihan tindakan (tema, metode, strategi), sasaran objeknya adalah si korban. Anggapan bahwa sikorban itu yang bermasalah. Seandainya si korban adalah mobil pasti sudah dibawa ke bengkel untuk diperbaiki. Paling-paling akan ada sekian program untuk orang-orang yang sedang kelaparan itu, misalnya; program training motivasi, dakwah, bantuan makanan, tambahan makanan gizi sesaat dan tindakan karitatif lainnya. Coba Anda bayangkan seandainya yang memiliki cara pandang demikian adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan? Bagi golongan kedua, jelas cara pandangnya terbalik dari cara pandang golongan pertama.
Golongan kedua sama sekali tidak berani menyalahkan mereka yang tengah kelaparan, atau kaum miskin pada umumnya. Namun melihat dengan seksama; “apa yang keliru, kenapa ada seseorang yang tidak kebagian jatahnya?”, “apakah ada aturan main yang mempermudah pihak-pihak dengan leluasa mengambil jatah orang lain?”
Mengambil jatah orang lain dalam ukuran besar bisa disebut menguasai, mencuri, korupsi. Menguasai sumber daya alam, mengkorup anggaran untuk kesejahteraan rakyat, menimbun barang-barang kebutuhan masyarakat. Golongan ini tidak melihat bahwa kelaparan atau kemiskinan pada umumnya terkait dengan pendidikan rendah, dengan rendahnya motivasi. Yang mendasar bahwa ada sistem yang tidak adil yang mempermudah para pencuri sehingga melahirkan kelaparan dan kemiskinan masyarakat berkepanjangan. Maka bagi aliran ini; kelaparan ataupun kemiskinan adalah akibat dari ketidakadilan, akibat dari sistem yang mempersilahkan orang-orang atau pihak-pihak leluasa untuk mengumbar hasrat keserakahannya, membiarkan akhlak “perilaku makan” kanibalisme — makan tidak sederhana sekadar mengisi perut karena lapar. Namun kepentingan makan ternyata dipengaruhi oleh nafsu kerakusan untuk menguasai kehidupan manusia.
Kembali Urusan Pangan
“Sangat jelas bahwa persoalan kelaparan bukan disebabkan karena kekurangan bahan pangan, namun lebih pada ketiadaan akses atas bahan pangan, terutama bagi kalangan penduduk miskin”. Statemen yang dilontarkan pada tahun 1982 oleh Institute for Food & Development Policy yang berbasis di Oakland, California lalu diterbitkan dalam buku karya Frances Moor Lappe, Peter Rosset dan Joseph Collins dengan judul: World Hunger: Twelve Myths (Kelaparan Dunia: Dua Belas Mitos).
Masalah pangan menjadi topik penting dalam agenda kebijakan ekonomi dan politik dunia, sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai urusan “teknis pertanian” belaka. Singkat kata, persoalan pangan dan kekurangan pangan — serta kelaparan, kekurangan gizi, kematian yang diakibatkannya — adalah persoalan politik-ekonomi yang lebih banyak ditentukan di belakang meja para politisi dan pembuat kebijakan, ketimbang di laboratorium atau di ladang-ladang percobaan para pakar pertanian. Di belakang mereka semua adalah para pemilik modal raksasa, penguasa industri pangan dan kimia pertanian yang membiayai mereka, termasuk dalam rangka mengembangkan tentang mitos kelangkaan bahan pangan.