CakNun.com

Kelas Menengah Islam, Di Mana Kau?

Saratri Wilonoyudho
Waktu baca ± 5 menit

Dalam memperingati Maulid Rasulullah Muhammad SAW di Gambang Syafaat 25 Januari 2013 ini (dan juga di tempat lainnya), nampaknya ada satu hal penting untuk didiskusikan, yakni tentang seberapa jauh sih peran kelas menengah (Islam) di negeri ini? Pertanyaan ini cukup relevan, terutama setelah sebelumnya dalam Orasi di Taman Ismail Marzuki 15 Januari 2013 yang lalu, Cak Nun juga meragukan kuatnya kelas menengah di negeri ini. Padahal mereka diharapkan menjadi penggerak sejarah dan perubahan sosial politik di tanah air. Lalu apa hubungannya dengan Maulid Nabi? Nanti kita diskusikan di bawah ini.

Dari sejarah panjang negeri ini memang menunjukkan bahwa kita sampai saat ini belum memiliki kelas menengah yang kuat. Melacak lewat sejarah masa lalu nampak bahwa kelahiran kelas menengah di jaman kolonial seperti Sarekat Islam, Indiche Partij, Sarekat Dagang Islam, NU, Muhammadiyah dan sebagainya dilatarbelakangi oleh beebagai faktor diantaranya lahirnya diskriminasi dan tekanan kaum penjajah Belanda atas masyarakat pribumi saat itu.

Dengan kata lain, pengertian kelas menengah di tanah air memang bukan berakar pada pengertian kelas menengah Eropa Barat sebagai penggerak kapitalisme akibat Revolusi Industri. Kelas menengah kita lahir dari tekanan politik, dan mereka hanya dapat didefinisikan terdiri dari para intelektual, kaum pedagang, ulama, dan kelompok professional lainnya.

Bersamaan munculnya ideologi lain yang berkembang saat itu seperti liberalisme, Marxisme, sosialisme dan Islam moderen, dst, kelas menengah saat itu terus berkembang dari organisasi sosial menjadi organisasi politik dan tumbuh kesadaran untuk melepaskan diri menjadi bangsa yang merdeka. Nampak bahwa mereka masih memiliki idealisme yang cukup bisa diharapkan, karena mereka memiliki musuh yang jelas, yakni kaum penjajah.

Namun selepas penjajahan, kelas menengah Indonesia justru mengalami reduksi, karena mereka hanyalah kelas menengah semu. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Kolonial Belanda melahirkan kelas menengah karbitan. Terlebih pelibatan diri Indonesia pada kapitalisme global sejak tahun 1967, menempatkan negeri ini berada dalam genggaman kapitalisme inti dan kita hanya ada di kapitalisme pinggiran. Artinya meskipun modal, keahlian, pengetahuan, dan buruh juga memegang peranan penting untuk mengeksploitasi sumberdaya alam untuk menjadi barang produksi, namun keuntungan dan modal disedot habis-habisan ke pusat kapitalisme inti, yakni negara-negara industri maju.

Mulai saat itu muncul pula istilah kelas menengah birokrat, terutama akibat Dwi Fungsi ABRI, dan mengantarkan anggota ABRI untuk menguasai seluruh posisi strategis, mulai dari pemerintahan (Lurah, Bupati, Gubernur, Sekjen, Dirjen, Menteri) sampai memimpin di berbagai BUMN penting.

Singkat kata, di tanah air ini yang muncul adalah kelas menengah semu karena lahir dari ”karbitan” dan produk kapitalis semu pula (pseudo capitalism). Mereka bukan penggerak utama pembaruan dan demokrasi, namun hanya karena keturunan, penunjukkan dan lobby-lobby penting lainnya. Puncak kekecewaan umat Islam adalah kelas menengah (Islam) juga produk Orde Baru, yakni ICMI, dan tidak memiliki peran yang berarti.

Dari titik inilah menganalisis peran kelas menengah kita mau tidak mau harus berangkat dari analisis politik, terutama yang terkait dengan struktur sosial-ekonomi dan munculnya grup-grup politik sehingga muncul kaum menengah intelektual karbitan lainnya.

Dalam kaitan ini nampak bahwa negara masih sebatas sebagi alat untuk melanggengkan kuasa dan harta, melalui pemaksaan individu dan kontrol sosial politik yang ketat. Negara belum berfungsi sebagai entitas otonom yang menyelamatkan tiga hal: nyawa, harta dan martabat rakyatnya.

Peran Rasulullah

Dari perbincangan singkat di atas wajar pula jika kelas menengah kita mlempem dan memble. Mereka hanya sosok yang banyak merepoti rakyat dan bahkan banyak yang hanya menjadikan negara sebagai sapi perahan bersama elit di ”kapitalis inti” yang ada di negara-negara industri maju.

Sekarang bandingkan  dengan Rasulullah SAW. Kalau menilik kemampuan Rasulullah yang komplet (ya negarawan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, intelektual, sekaligus dermawan, dst), maka dalam definisi sekarang, beliau adalah ”maha kelas menengah”. Kalau boleh dikatakan, Rasulullah adalah contoh konkret pemimpin yang sanggup menggerakkan perubahan sosial melalui peran nyata. Kalau kita rajin mendengarkan sholawat sebelum adzan subuh, nampak jelas bahwa Rasulullah dipuji sebagai pemimpin para pejuang (mujahidin), penolong kebenaran, dan bersama Jibril langsung berhadapan dengan Allah sebagai penuntun perjalanan spiritual beliau. Alhasil, beliau tidak hanya mengimami umat manusia yang masih hidup, namun seluruh roh yang ada di alam semesta ini.

Di Madinah nampak bahwa perjuangannya tidak untuk menumpuk harta dan kuasa (padahal kesempatan itu terbuka luas), namun justru ”mengorbankan” harta beliau untuk umatnya. Bandingkan dengan para kelas menengah kita yang berjuang justru untuk kepentingan harta dan kuasa pribadi. Kalau kelas menengah kita, jika mendengar ada bencana alam, maka yang ia tancapkan adalah bendera partainya, dan bukan menolong karena keikhlasan. Kalau kalah dalam pilkada, atau pencalegan, maka harta yang telah diberikan kepada rakyat akan ditarik kembali.

Yang menarik pula, Rasulullah adalah negarawan ulung yang menerapkan demokrasi secara total. Selama ini orang merasa gagal mencari nilai-nilai demokrasi dalam Islam dan kalaupun ketemu, maka hanya dihadapkan secara diametral atau selalu dipertentangkan. Ini terjadi karena mereka malas iqro’ dan malas berpikir. Rasulullah mempelopori lahirnya Piagam Madinah, dan dari piagam ini jelas mengajari demokrasi berdasarkan Qur’an sebagai landasan utama untuk menggerakkan perubahan sosial.

Prinsip-prinsip demokrasi memang tidak diterangkan secara eksplisit, namun muncul dalam beberapa surat dan semuanya dipraktekkan Rasulullah di Madinah. Prinsip itu diantaranya: saling mengenal satu dengan yang lain. Di Al Qur’an prinsip ini disebut ta’aruf . Di surat Al Hujurat (49) ayat 13 diterangkan bahwa demokrasi di titik ini tidak hanya berdasarkan akal pikiran manusia, namun berlandaskan perintah Allah. Manusia diciptakan bersuku dan berbangsa agar saling mengenal. Ini artinya ada prinsip kemerdekaan, kasih sayang, komunikasi dialogis, persamaan, dan keadilan.

Demikian pula dalam Surat As Syura (42) ayat 38 dijelaskan adanya prinsip musyawarah. Jika mengacu Al Hujurat, musyawarah harus berlangsung dalam semangat persamaan, keadilan, kemerdekaan dan kasih sayang yang semuanya dikembalikan kepada otoritas obyektif Allah SWT yang telah menciptakan kita. Mengapa harus kembali kepada Allah? Jelas sekali karena apa daya kita tanpa Allah SWT? Pasti kita tidak ada apa-apanya, sehingga dalam prinsip musyawarah tidak boleh mementingkan ego pribadi.

Jika telah saling mengenal dan bermusyawarah, maka ada semangat untuk bekerjasama (ta’awun) sebagaimana dijelaskan di surat Al Maidah (5) ayat 2. Dalam kerjasama ada hal prinsip yang harus dijunjung yakni kepentingan bersama dan menomorsatukan Allah SWT.

Jelas jika semua prinsip tersebut dijalankan maka akan berujung kepada hasil yang saling menguntungkan (maslahah) dan adil sebagaimana ada di surat An-Nisa (4) ayat 58 Al An’am (6) ayat 152. Prinsip ini juga menguatkan “kewajiban asasi” dan bukan “hak asasi”. Bagaimana mungkin manusia hanya menuntut hak sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas ijin Allah SWT? Apa hakmu atas rambut, tangan, kaki, otak dan seluruh tubuhmu?

Selama ini orang hanya mementingkan haknya (ada Komnas HAM, Kementerian Hukum dan HAM, Piagam HAM, dst) dan banyak manusia yang lupa memenuhi kewajibannya. Inilah prinsip yang diajarkan Baginda Rasulullah SAW di Madinah, bahwa setiap orang dianjurkan untuk menomorsatukan kewajiban. Jika itu dilakukan, maka Allah SWT pasti akan menolong kita.

Dari titik inilah pertanyaan kita yang penting adalah: untuk apa kita selalu memperingati kelahiran Rasulullah, padahal beliau tidak pernah merayakan ulang tahunnya? Apakah itu hanya bersifat seremonial belaka? Ingat bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya Rasulullah lah harapan kita untuk kita “gondheli” (istilah Cak Nun Gondhelan Klambine Kanjeng Nabi).

Berbeda dengan kelas menengah kita, sebaliknya seluruh hidup Rasulullah SAW hanya diabdikan untuk kita semua, dan karenanya, kita hanya bisa berharap menjadi makmum beliau dunia akherat, dan berharap mendapat syafaatnya. Karenanya kita mesti semangat untuk selalu ingat posisi cinta segitiga kita, antara Allah, Rasulullah dan kita. Kalau pingin Allah SWT ridlo kepada kita, pasti kita harus mencintai kekasihNya secara total.

 Sholawatan adalah salah satu cara untuk mengukuhkan cinta kita kepada Baginda Rasulullah SAW, dan ini tidak harus diwujudkan dengan “bernyanyi”, (misalnya), namun harus selalu ingat dan menyadari secara sungguh-sungguh cinta itu.

Sialnya banyak orang yang kini tidak sadar sedang dijauhkan dengan Rasulullah dengan alasan yang kelihatannya “Islami”. Lebih sial lagi, mereka banyak yang percaya. Buktinya mereka malahan memuja Michael Jackson, Super Junior, atau memuja Ibu Kita Kartini. Sementara bernyanyi memuja nabi dianggap bid’ah.

Saratri Wilonoyudho
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat. Esais. Peneliti dan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version